Ummu Sabrina

2 0 0
                                    

#Teroris_Internasional
Oleh : Sabrina Ummi Adny

Angin berembus semilir, sejuknya terasa di wajah ini. Sore itu suamiku pulang dari tempatnya bekerja, ketika itu aku duduk di ruang tamu rumah kontrakan kami yang mungil sembari melipat pakaian yang baru saja diangkat. Aku ditemani anak-anak kami yang memainkan apa saja di hadapan mereka. Ya, kami bukan orang kaya yang mampu membelikan mereka berbagai jenis mainan kesukaan anak-anak.

"Apa itu, Yah?" tanyaku ketika melihat ia membawa sebuah bungkusan besar.

Suamiku duduk di hadapan. Kemudian ia membongkar barang yang dibungkus dengan kertas koran dan diikat dengan tali rafia tersebut.

"Ini baling-baling kipas angin dengan sarangnya," Terlihatlah bagian dari sebuah barang elektronik.

"Ah, buat apa barang bekas itu, Yah ... Yah ...?" tanyaku.

"Ya, siapa tahu nanti kita dapat bagian yang lain. Bisa dirangkai biar kita bisa punya kipas. Kipas kita 'kan sudah rusak. Hehehe."

"Ih, Ayah ada-ada aja .... " Aku hanya tersenyum melihat tingkah suami. Terkadang ia memang membawa barang bekas dari mana saja yang dipikirnya masih punya nilai.

Beberapa waktu kemudian pria yang sudah mendampingiku selama dua belas tahun ini mendapatkan bagian demi bagian kipas angin, dan benar ... ia bisa merangkainya hingga kami pun punya kipas angin baru. Tadinya kipas angin di rumah yang ukurannya kecil sudah rusak. Alhamdulillah sudah ada gantinya berkat kreatifitas suamiku. Ia sebenarnya tidak memiliki keahlian di bidang elektronika, tapi terkadang harus menguji kemampuan diri karena dipaksa keadaan.

Pada suatu hari suamiku membawa dua buah ban mobil. Aku kembali bertanya heran, "Ngapain bawa ban bekas, Yah?"

Ia pun menjawab, "Siapa tahu nanti kita bisa punya mobil, Bu. Dimulai dari punya bannya dulu." Seraya tersenyum ia menjelaskan.

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala, tapi tetap saja diri ini menarik bibir ke atas. Beberapa tahun kami hanya mempunyai sebuah motor. Dengan anak empat, tentu saja tidak cukup jika harus pergi bersama. Makanya kami musti bergantian jika hendak silaturahim ke rumah orangtua misalnya.

Bagian demi bagian mobil yang ia dapatkan entah dari mana dibawa ke sebuah bengkel dan berhasil dirakit. Karena suami mendapatkan mobil lama yang mesinnya masih oke, tapi body-nya sudah rusak, diperbaikilah sedemikian rupa. Akhirnya kami pun punya mobil walau sangat sederhana.

Suatu malam aku melihat suami menangis setelah melaksanakan qiyamul lail. Aku yang berada di belakangnya mendekati, merangkul sang kekasih hati. Dengan tubuh yang sedikit berguncang, ia tersedu.

"Kenapa, Yah?" Hatiku sangat terenyuh melihat ayah anak-anakku ini terlihat begitu sedih.

"Beberapa waktu ini ayah lihat di media, saudara kita di Suriah disiksa, dipenjara, dan dibunuhi, Bu. Bahkan wanita dan anak-anak ... ayah nggak tahan .... " Lelakiku itu pun semakin tergugu. Membuat rinai beningku juga ikut berdesakan hendak tumpah.

"Iya, Yah ... ibu juga lihat beritanya, poto-poto serta videonya." Aku mulai terisak. "Kita doakan ya, Yah ... semoga Allah melindungi mereka, memberi kemenangan pada mujahidin yang menolong."

Suamiku mengangguk-angguk dengan air mata yang masih membasahi wajahnya. Kami menangis bersama diselimuti rasa duka yang sangat, karena teringat saudara muslim yang didzalimi.

=======

Di suatu pagi yang sejuk, udaranya begitu segar. Matahari masih malu-malu menampakkan sinarnya. Tetes demi tetes air hujan semalam masih menghiasi permukaan dedaunan. Aku sedang mencuci piring di palataran dapur.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 22, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Teroris Internasional Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang