Part 2

6 2 0
                                    

Dua minggu sudah berlalu sejak pertemuanku dengan lelaki absurd yang tidak lain adalah sepupu sahabatku sendiri.  Selama itu juga Bang Io selalu melakukan pendekatan padaku. Mulai dari rajin mengirimiku sms, tlp, ngajak hang out bareng bahkan menjemputku pulang dari tempat kursuspun dia lakukan. Sama seperti hari ini, ketika kakiku melangkah keluar menuju gerbang tempat kursusku, mataku langsung menemukan mobilnya terparkir di tempat parkiran. Kulihat tangannya melambai ke arahku dari dalam mobil.  "Hai." Sapanya padaku setelah membuka pintu mobilnya. "Hai,kok ga kasih tau klo mo jemput?" Jawabku disertai pertanyaan untuknya. "Kan udah biasa jemput."Jawabnya enteng sembari memamerkan senyum mautnya. Demi Tuhan, jika hatiku tetap baik-baik aja melihat senyuman itu.  Maka itu adalah suatu kebohongan besar.  Siapapun itu wanitanya, aku yakin jika mereka akan berpendapat sama denganku.  Senyumannya adalah senyuman maut. Yang bisa mematikan hati wanita.  "Kenapa, kok bengong?" seketika suaranya kembali membawa diriku ke alam sadar.  "eh.., eh ga papa kok. He.. He.. " jawabku salah tingkah.
.
.
.
.
.
Hampir satu jam perjalanan kami, tiba-tiba Bang Io menghentikan mobilnya di tempat parkiran umum. "Lho, kok kita berhenti disini?" Namun lelaki itu hanya menjawab pertanyaanku dengan tatapan mata yang dalam. Entah apa yang tengah berkutat di benaknya.  Tapi aku yakin sekali jika dia ingin mengatakan sesuatu dan...  "aku mo ngomong sesuatu sama kamu." dugaanku sama sekali tidak meleset. "Aku sayang kamu, aku mau kamu jadi pacar aku." Lanjutnya kemudian. Seketika aku memutar bola mataku kearah Bang Io karena terkejut mendengar pengakuan cintanya. "Gimana, mau ga?" tanyanya dengan nada yang sedikit gusar.  "Uhm... Iya, kita jalani aja dulu." akhirnya aku berani bersuara. "Makasih sayang." Io tersenyum manis kearahku dan seraya merengkuhku kedalam pelukannya. Kemudian di kecupnya dahiku dengan lembut. Ada perasaaan nyaman di hati ini ketika aku berada di dalam pelukan Bang Io.  Entah sejak kapan, aku mulai merasa kenyamanan itu berbeda dengan mantan kekasihku sebelumnya. 
.
.
.
.
.
Sejak hari jadian itu, aku dan Bang Io semakin menjadi seperti lem dan perangko. Dimana ada aku disitu ada dia. Kami selalu menghabiskan waktu luang bersama-sama. Tiap hari aku selalu tersenyum karena ulahnya. Dia sudah semakin menjadi magnet bagiku.  Aku yang selalu merindukan suaranya di setiap hariku, merindukan pelukannya ketika aku merasakan penat menjalani rutinitas yang padat, merindukan sentuhannya yang membuat aku merasakan kenyamanan,  dan merindukan ciumannya yang membuat aku semakin menggila akan cintanya. "Drrtt.. Drrtt.. " aku meraih ponselku yang bergetar dari dalam saku tas sekolah. "Cinta, hari ini jalan yok." Racau si pemilik suara di seberang telepon. "Ok, tar kamu jemput aku jam 2 siang ya, yank." Jawabku. "Ok, see ya cinta. Mwuachh..." Aku tersenyum simpul mendengar tingkah si empunya suara. Begitulah dia, lelaki absurd tapi begitu aku cintai.
.
.
.
.
.
Tepat jam 2 siang, lelaki bermata coklat muda sudah berdiri di depan pintu rumahku seraya tersenyum manis menatap kearahku.  "Hai, cinta. " Sapanya ketika kami tepat berhadapan.  Aku tersenyum dan meraih jemarinya ke genggamanku.  "Aku kangen kamu" bisikku. Lelaki itu tersenyum lebar saat mendengar bisikanku. "Aku juga, kangeeenn bangett malah." Aku terkekeh mendegar perkataannya. Lagi-lagi lelaki absurd dihadapanku ini membuat aku salah tingkah hanya dengan perkataan dan perbuatannya. 

Ma ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang