Nadin POV
Hari ini aku harus ke coffee shop itu lagi, aku harus mengenal perempuan itu lebih jauh. Entah mengapa sejak awal aku melihatnya, ada rasa yang tak wajar di jantungku. Baru kali ini jantungku dibuat berulah seperti ini. Sudah lama sekali aku tak merasakan perasaan seperti ini pada seseorang. Kali terakhir, hatiku berakhir dengan luka yang dalam. Tapi perempuan ini membuatku ingin terus merasakan getaran aneh pada jantungku.
Pikiran-pikiran dalam kepalaku mengenai perempuan itu terusik ketika aku mendengar suara berisik sahabat, sekaligus rekan kerjaku. "Mana foto cewek kemarin?" tanya Jen padaku segera setelah melihatku memasuki ruang kerjaku. Aku hanya menggelengkan kepala sambil nyengir. "Halah... Payah banget sih, Din. Not cool at all. Boo..," ucap Jen mengejekku. Bukan rahasia lagi di kantor ini kalau Jen suka mengerjaiku dan mengejekku soal pacar. Memang karena aku sudah lama memelihara status single. Hanya suka bermain sana sini, merayu sana sini, tapi tak pernah ada yang serius kujalani. Alasannya? Ya tentu karena aku malas patah hati lagi.
Kuakui memang aku pernah memiliki banyak crush dengan perempuan, tapi semua pacar yang kumiliki selama ini adalah laki-laki. Tak pernah sekalipun terbersit dalam pikiranku untuk memiliki pacar seorang perempuan. Tapi bagi Jen, tak peduli laki-laki atau perempuan, asalkan aku bahagia, dia pasti akan mendukung. Problem utamanya adalah aku tidak merasa bahagia dengan siapapun, kecuali dengan diriku sendiri. Hahahaha.... Bercanda.
"Bu Nadin, ada file yang saya mau tanyakan," ucap Lisa. Dia adalah junior yang belajar di bawah bimbingan Jen. Mereka berdua memang sudah berada di ruang kerjaku begitu aku sampai. Kupikir ada hal penting yang hendak mereka bicarakan, tapi nyatanya Jen malah mau bergosip. Sohib macam apa yang aku punya ini. Ckckck...
"Okay, file yang mana?" tanyaku pada Lisa yang wajahnya tampak merah. Dia memang pemalu, dan tak pernah berani menatapku saat berbicara. Menurut Jen, sebenarnya Lisa memiliki crush padaku. Aku sih tetap menjaga sikap cool dan profesional selama kami di kantor.
Lisa kemudian menunjukkan file yang Ia maksudkan. Memang file ini ada di bawah departemen yang aku kepalai, tapi kebetulan bukan aku yang mengerjakan. Aku menyerahkan file ini pada Denise, juniorku. "Kamu bisa tanyakan perihal kasus ini pada Denise. Setahuku memang client ini mau melakukan perharuan kontrak, agar tidak terjadi kesalahan serupa dengan kontrak yang lama. Kemarin dia hampir saja kalah karena banyak poin dalam kontraknya tidak valid. Jadi aku memang menyarankan untuk pembaruan konsep kontrak yang dia miliki. Tapi detilnya bisa kamu tanyakan pada Denise," jelasku padanya. Dia menjawab dengan anggukan kemudian dia permisi untuk menemui Denise di ruangan lain.
Tentu saja Jen masih duduk manis menungguku. Segera setelah Lisa keluar, dia buka mulut. "Kenapa gak sama Lisa aja sih? Dari pada sama cewek lain yang gak jelas. Gak kenal juga, belum tentu juga dia sebagus Lisa. Lihat aja tuh body Lisa. Asyik yahutt kan."
Aku hanya menggelengkan kepala dan tersenyum manis. Jen selalu jengkel saat aku memberinya respon demikian. "Aku ini sudah gak paham sama cara pikir kamu. Mau sampai kapan single? Padahal banyak yang mau sama kamu. Sudah aku bilang kalau gak mau cowok, gak apa. Cewek juga oke," ucapnya. "Biar kamu bisa ngedate waktu week end, biar itu bibir bisa senyum, biar rambut putih kamu gak makin banyak tuh," omelnya lagi. Aku hanya tertawa mendengar omelannya.
"Udahan ya. Aku mau ke pengadilan lagi hari ini."
"Ada kasus lagi yang sidang hari ini?" tanya Jen dengan heran. Aku tertawa dan menggelengkan kepala. "Terus?" Cengiranku cukup untuk membuat Jen balik menggelengkan kepala. "Emang segitu menariknya tuh cewek? Aku ikutan. Tunggu di lobby, aku mau ambil tas dan dompet. Awas kalau kamu berani tinggal, aku jewer kamu," jawab Jen.
Sembari menunggu Jen, aku mengecek kembali penampilanku di depan cermin yang ada dalam ruang kerjaku. Kemeja putih, celana hitam, dan jas hitam. Okay, ini sudah pas untuk ke pengadilan. Hari ini aku akan mendaftarkan satu dokumen di pengadilan. Sebenarnya aku bisa saja meminta Denise untuk melakukannya, tapi aku sekalian maunya ngintip cewek manis nan jutek itu.
*********
"Pelan dikit lah," ujar Jen yang berjalan di belakangku. "Semangat banget," celetuknya lagi. Aku hanya nyengir kepadanya. "Aku kira kamu itu gak ada perlunya di pengadilan, eh ternyata masih ngurus kerjaan." Salah sendiri mengasumsikan senyumanku sesuka jidatnya. Rasain tuh ke pengadilan menemaniku submit dokumen dan mengantri beberapa jam.
Sekarang aku bergegas mengayunkan kakiku menuju Coffee and You. Rasanya sudah tak sabar ingin melihat barista bernama Lou itu lagi, eh maksudnya menyesap vanilla latte yang dibuatnya. Sejujurnya, kemarin aku hanya mengerjai dirinya. Kurasa tak ada yang salah dengan vanilla latte yang Ia buat, hanya saja berakhir terlalu manis karena aku melihat senyumnya. Hahaha... Tapi ini pendapat jujurku, kalau senyum manisnya sangat pas menghias wajah orientalnya dengan penampilan yang sedikit tomboy. Tidak terlalu manly, tapi juga tak terlalu feminine. It's right on the edge of them. Satu lagi yang kuperhatikan dari penampilannya, yaitu rambut. Rambut dia pasti panjang, karena rambutnya masih tampak menjuntai pada bahu meski telah diikat agak tinggi.
Kubuka pintu coffee shop dan melayangkan pandangan langsung ke arah kasir. Berharap mataku ini menangkap sosok seorang barista jutek yang kucari. Tak ada. Kuedarkan pandanganku ke arah lain, menyapu cepat seluruh area cofee shop. Kecewalah hatiku ini, tak jadi mengerjainya lagi. Tapi ya sudahlah, Jen juga sudah terlanjur mengantri. Sepertinya dia juga tergoda dengan aroma kopi yang begitu wangi menggoda indera penciuman kami. "Mana?" tanya Jen padaku. Kujawab dengan gelengan kepala semata.
"Selamat datang di Coffee and You. Saya Arya akan menjadi barista Anda pagi ini. Mau pesan apa, kak?" tanya seorang lelaki yang menyambut kami di balik kasir. Chinese, rambutnya diikat cepol atas, dan berkacamata bulat. Apron dari kulit yang melekat pada tubuhnya menambah keren penampilan lelaki berkaos hitam itu. Pasti Jen suka lihat cowok ini.
"Ice caramel machiatto satu dan hot vanilla latte satu ya, Arya," ujar Jen dengan manis. Tuh kan, apa kubilang. Dasar cewek genit. Sadar atau tidak, Jen adalah salah satu orang yang membuatku menjadi lebih berani untuk flirting. "Gulanya jangan banyak ya. Soalnya kamu udah manis, nanti takut diabetes," goda Jen lagi. Kali ini barista tersebut tertawa, namun tetap mengiyakan permintaan spesial dari Jen. Barista dengan nama Arya itu kemudian tampak sibuk menyiapkan minuman kami setelah menerima uang pembayaran.
Sejujurnya aku sangat ingin menanyakan keberadaan barista jutek itu padanya. "Jen, kamu duduk aja di sana dulu. Aku bawakan saja nanti," ucapku untuk mengusir Jen dari menguping percakapanku dengan barista bernama Arya itu. Tapi menunggu Arya ternyata cukup lama, barista lain yang melayani customer sebelum aku sudah meletakkan minuman di counter pengambilan. Aku tanyakan sajalah padanya perihal Lou. "Mas, tanya dong," ujarku untuk menghentikan dia dari beranjak melayani customer lain. Saat dia menoleh dan memberikan perhatian padaku, aku langsung melontarkan pertanyaanku. "Barista yang namanya Lou hari ini gak masuk?"
Belum sempat dia menjawab, barista bernama Arya sudah muncul dan meletakkan pesanan Jen di counter. "Dia shift nanti sore," jawabnya menggantikan barista yang kutanya tadi. "Baik, kak. Saya permisi dulu. Sudah ada bos Arya," ujar barista yang kutanya tadi. Aku mengangguk dan berterima kasih melalui senyuman. "Apa ada yang bisa saya bantu? Saya manager di sini, kalau ada masalah dengan staff atau pelayanan kami, Anda bisa langsung menyampaikan pada saya," ujar Arya kembali.
Masalah, tentu ada. Dia membuat sisi usilku bergejolak, dan ingin mengerjainya sampai dia tak lagi jutek denganku. Bertemu orang jutek sepertinya sungguh membuatku gemas, karena tak banyak orang yang bisa menolak pesonaku. "Oh tidak ada masalah. Hanya saja, kemarin aku fikir dia ada masalah. Makanya aku mau memberikan kartu nama, bila dia butuh bantuan seorang pengacara," ucapku menjelaskan sesuatu yang tak nyata. Alias hanya alasan atau modusku saja. "Atau hanya sekedar rindu padaku," imbuhku dengan senyuman lebar.
Arya tertawa kemudian menawarkan untuk menyampaikan kartu namaku pada Lou. Tentu saja aku menolak, karena memang aku hanya ingin menjahili barista itu. "Mungkin Anda bisa meletakkan kartu nama di link board yang kami sediakan. Biasanya Lou selalu mengecek link board dan merapikannya setiap minggu sesuai kategori. Di sana Anda juga bisa menemukan kontak-kontak orang lain sesuai dengan profesi atau kategori tertentu. Siapa tahu kalian saling membutuhkan," jelas manager Coffee and You ini panjang lebar.
Kulihat papan link board yang dia maksud. Hmm... Menarik.
"Okay. Thanks," pamitku padanya dan mengambil minuman yang telah dipesan oleh Jen.
*********
YOU ARE READING
Law of Perfect Cup
RomansNadin, seorang pengacara senior menjadi pelanggan sebuah cafe. Bukan hanya karena kopi yang mereka tawarkan sesuai dengan seleranya, namun juga karena keberadaan seorang barista. Tidak cantik, tapi tidak jelek juga. Mungkin keren adalah kata yang pa...