Terhitung bahwa ini hari kedua bunda berada di rumah sakit, tempat yang tidak seharusnya ditempati, tempat yang gemar membuat manusia berada di antara hidup dan mati.
Karena tadi mbak Puput bilang bahwa dia akan pulang sebentar, jadi malam ini adalah tugas Dara untuk menjaga bunda. Tapi, ayah tiba-tiba datang dan bilang ingin menjaga bunda hingga esok pagi. Awalnya, Dara ingin mengusir ayah agar pulang dan menghabiskan waktu bersama istri barunya, tapi tidak bisa karena setiap ingin bicara Dara selalu mengeluarkan air mata terlebih dahulu.
Terlalu perasa adalah resiko menjadi seorang wanita.
Langkah kaki membawanya keluar dari gedung rumah sakit. Saat bingung hendak ke mana, spanduk pecel lele menyapa maniknya. Tanpa menunggu lama ia segera berjalan untuk mampir dan makan, sendirian tentunya.
"Pecel lelenya satu ya, bu."
"Makan di sini, nduk?"
"Iya."
Dara duduk lesehan menghadap jalanan, salah satu pemandangan yang paling ia suka ketika malam.
'Dara, warung pecel lele itu buka saat malam. Kapan-kapan saya ajak kamu ke sana ya? Tapi sekarang disini dulu.'
Helaan napasnya terdengar panjang. Dara merasa jengkel karena semakin ke sini beberapa tentang Sena semakin leluasa bermain dalam pikirannya.
Aku harap kamu berada di sini, menemaniku makan seperti yang kamu bilang, pikirnya.
Tiba-tiba, ponsel yang berada di saku celananya bergetar. Tegar meneleponnya.
"Halo, Gar?"
"Ra, bisa ke kafe Senandika?"
"Untuk?"
"Sebelumnya, kamu sibuk tidak?"
Dara menggeleng, lalu tersadar bahwa Tegar tidak bisa melihatnya maka ia menjawab, "enggak. Ya sudah, aku ke sana sebentar lagi."
"Terima kasih banyak, Ra."
Setelah sambungan terputus, Dara bangkit dan menghampiri si ibu penjual pecel lele. "Bu, maaf. Pecel lelenya di bungkus saja, ya."
***
"Ke sini dengan siapa, Ra?"
Sambutan kali pertama dari Tegar yang Dara dengar saat tiba di kafe Senandika. Dia mengangkat bahu, "seperti yang kamu lihat. Sendiri."
Tegar tersenyum tak enak, "maaf merepotkanmu malam-malam," katanya, lalu melihat kresek yang menggantung di tangan Dara. "Itu apa?"
Gadis itu menyengir, "pecel lele. Aku makan di sini boleh?"
"Tidak ada yang bisa melarangmu." Tegar berkata sambil tersenyum, lalu mengajak gadis itu untuk duduk di meja kesayangannya.
"Ada apa, Gar?"
"Kalau kamu ingin makan, makan dulu tidak apa-apa."
Dara menggeleng. "Kamu suruh aku ke sini untuk apa?"
Sejenak, Tegar menatap para pengunjung yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. "Duduk di sini, sebentar. Akan aku panggilkan seseorang."
Gadis itu menurut, maniknya mengekor Tegar yang menghampiri lelaki paruh baya yang duduk membaca koran. Setelah berbincang sebentar, Tegar mengajaknya menghampiri dan duduk di hadapan Dara.
Sempat ingin bertanya namun urung, karena Tegar lebih dulu bilang, "ini kakek Hari, kakek Sena."
"Oh, halo, kek," sambut Dara sedikit terkejut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Semesta untuk Dara [TAMAT]
Teen FictionSemesta punya beribu cara agar mampu mengembalikan tawa Dara yang telah lama sirna. Dan salah satu diantara seribu, ada satu yang tak pernah sia-sia, yakni dengan mengirim salah satu manusia bernama Sena. ©2019 dorafatunisa