Malam Keempat, Kesepuluh

981 226 33
                                    





Taksi kuning berhenti di depan rumah Seungyoun. Dia yang sedang asik sebat di halaman rumah bingung, siapa orang gila yang bertamu tengah malam?

Pamannya? Tidak mungkin. Paman belum keluar penjara.

"Seungyoun, buka pintunya. Jangan rokok terus," suara ibu negara terdengar dari dapur belakang. Seungyoun malas-malasan membuka gerbang.

"Kenapa sih, kak? Rumah kakak," Seungyoun menunjuk ke rumah coklat di sebelah, "itu lho. Belum jauh. Masih muda jangan malas."

"Ya ampun. Tidak rindu?"

"Wooseok tuh, rindu setengah mati."

"Tapi nanti aku ditampar mesra sama Jinhyuk."

"Ya silakan, sekalian mati saja."

"Seungyoun!"

Mami dari dalam memunculkan separuh kepalanya, "Ayo, Seungwoo. Masuk sebentar."

Seungyoun tidak suka. Bukan karena maminya memanjakan Seungwoo, bukan. Tapi karena dia harus membawa koper Seungwoo ke kamarnya.

Mami memaksa Seungwoo menginap. Sialan. Seungyoun harus berbagi kasur dengan orang tua. Dia tidak suka.

"Jangan mepet-mepet tidurnya. Malas cium bau kak Seungwoo."

"Kamu rindu kan, sama aku?"

"Mana ada."

"Ada."

"Yang rindu Wooseok. Aku sudah bilang."

"Ya, dia rindu kakaknya ada pawang."

"Sialan," Seungyoun membelakangi Seungwoo. Ia malas meladeni ucapan Seungwoo yang makin melantur, entah faktor umur atau memang sudah teler kelelahan.

"Tidur, kak."

"Ini tidur."

"Tangan."

"Kenapa?"

"Lepas," Seungyoun menyingkirkan tangan Seungwoo yang melilit perutnya. Dia tidak suka.

"Kau harus terbiasa, Youn."

"Untuk apa? Aku tidak akan tinggal denganmu."

"Tidak tinggal tapi akan menikah denganku, ya?"

Seungyoun menggeleng. Dia bangkit, menyeret kursi santai dan menyiapkannya senyaman mungkin di balkon. Balik lagi ke kamar, mencomot sekotak rokok dan pemantiknya. Serta asbak yang sudah kosong lagi.

"Mau apa?"

"Bakar rumah."

"Ya ampun, Youn."

"Mata kakak masih bagus, tahulah aku mau apa," Seungyoun mengambil rokok baru dan menyulutnya.

"Bagi dong."

"Punya sendiri."

"Seungyoun," Seungwoo merampas rokok di mulut Seungyoun. Ia pakai saja rokok yang itu, biar sang adik tetangga pakai yang lain.

Mampus.

"Ya sudahlah, tidak usah merokok aku. Mumpung bintang bagus, bulan tidak malu, awan tidak kurang ajar."

"Bintang yang itu, bagus."

"Siapa namanya?"

"Cho Seungyoun?"

"Sialan," Seungyoun memajukan pemantik api yang menyala ke depan wajah Seungwoo.

"Calm down, babe."

"Aku bukan babi."

"Memang. Siapa bilang?"

"Han Seungwoo."

"Mana ada?"

Seungyoun memilih tidak menjawab. Dia memandang lagi langit gelap yang tidak berganti latar, tetap dengan bintangnya yang sesekali mengerling manja-genit.

"Aku mau menikahi bintang."

"Hah?"

"Bintang yang tadi, yang bernama Cho Seungyoun. Aku mau menikahinya."











Kecapi dan Sendawa Malam. [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang