"Aku minta kamu jauhin dia!"
"T-tapi kenapa? Om Danang udah mau berubah, kok. Kenapa kita harus jauhin Om Danang? Ian, dia itu tetap papamu."
"Kamu tahu dari paman, 'kan? Aku yakin paman udah cerita banyak ke kamu. Memalukan. Dia itu laki-laki paling memalukan yang pernah kukenal, aku nggak mau kamu deket sama dia, aku nggak suka!"
"Ian, tolong kamu buka hati kamu. Masa lalu biarlah berlalu, lagi pula, Om Danang berubah jadi seperti itu karena kehilangan wanita yang dicintainya. Dia ngerasa dikhianati, kamu harusnya ngerti gimana perasaannya om. Yang terpenting adalah Om Danang ngakuin kesalahanya dan dia mau jadi orang yang lebih baik. Dia sayang sama kamu, Ian."
"Cukup, Vi! Itu semua omong kosong, lelaki itu tidak akan pernah berubah! Lihat 'kan hasil perbuatannya? Dia yang membuat buta mataku! Dan ini!"
Ian menyeret Fio masuk ke dalam rumah, lalu menutup pintunya rapat-rapat. Lelaki itu melepas kaos tipis berwarna army yang sedang ia kenakan.
"Ian, kamu mau apa?!"
Fio terlihat ingin menghentikan aksi Ian, tapi terlambat. Lelaki itu membuang kaosnya asal dan mempertontonkan bagian tubuhnya yang memiliki bekas luka.
Fio mengerang, pasti sakit. Memiliki luka sebanyak itu selama bertahun-tahun, meskipun sakit secara fisiknya hilang, secara mental masih meninggalkan jejak di ingatan.
"Kamu lihat ini, Vi? Buka matamu! Buat apa kamu memejamkannya? Atau kamu memang sengaja nggak mau melihat kenyataan ini secara langsung?" kata Ian dengan nada menyindir.
Lelaki itu berjalan mendekat ke arah Fio, meraih tangan Fio yang ia gunakan untuk menutup muka. Ian mencengkeram pergelangan tangan Fio dan menariknya lebih dalam, membuat telapak tangan gadis itu menyentuh dadanya yang bidang.
Tak tahu sejak kapan air matanya mengalir. Sejak Ian mempertunjukkan luka-lukanya ataukah sejak Ian memperlakukannya cukup kasar sampai membuatnya kesakitan?
"Buka mata kamu, Vi! Aku mau kamu lihat ini!" ucap Ian. "Aku benci pria itu, yang membuat masa kecilku kelam. Dan aku benci wanita munafik sepertimu!"
Munafik?
Apa yang sedang Ian bicarakan? Kenapa Ian mengatainya wanita munafik? Apa salahnya? Gadis itu hanya mengutarakan apa yang menurutnya benar.
"Iya, kamu munafik! Aku katakan ini, biar kamu sadar," ujar Ian seolah menjawab pertanyaan yang muncul di otak Fio. "Kamu berucap seakan-akan kamu paling benar. Tapi, selama ini, kamu mengingkari kodratmu sendiri, 'kan? Kamu bertingkah bijak, padahal kamu gadis paling keras kepala yang pernah ada. Kamu hanya menuruti hasrat kamu dan tak mengindahkan bagaimana pendapat orang-orang sekitarmu, kamu munafik, Vi!"
Ian melepaskan tangan Fio dengan sedikit dorongan. Gadis itu hampir terjengkang kalau saja tak menjaga keseimbangan. Kaki Fio melemas, ia pun terduduk di atas sofa dan menangis sesenggukan di ruang tamu sendirian. Ian sudah naik ke kamarnya, menutup pintunya dengan gebrakan. Terdengar suara kunci yang terputar, Ian tak membolehkannya masuk. Padahal, Fio ingin mengambil barang-barangnya yang ada di sana. Seperti pakaiannya yang ia tinggalkan tadi pagi karena harus memakai pakaian ganti dari Megan.
Fio tidak paham maksud kata 'munafik' yang Ian lontarkan. Tapi, mendengar panggilan itu terselip untuknya sudah cukup menyakitkan.
***
Usai meninggalkan rumah Ian tanpa pamit, Fio sekarang berada di dalam sebuah mobil. Di posisi yang sama saat adegan itu terjadi. Aaron duduk di sebelahnya, menyetir seperti biasa.
Fio yang melamun, matanya yang terlihat basah dan kemerahan, langsung menyita perhatian Aaron. Lelaki itu menebak, sesuatu pasti telah terjadi pada sepupunya.
Aaron menghentikan mobilnya, ia menyentuh pundak Fio, gadis itu tersentak.
"Kakak mau apa?" tanyanya sedikit panik. Takut kejadian itu terulang.
"Kamu habis nangis?"
"Bukan urusan Kakak."
"Nggak bisa gitu, dong, Fi. Kamu tanggung jawab aku, kalau terjadi sesuatu, aku wajib tahu."
"Terus aja kayak gitu, Kak! Kakak mengaturku sepuas Kakak. Aku udah lama nahan supaya nggak membangkang atau membantah perintah Kakak, tapi kali ini ... Kak Aaron bikin aku kecewa dan mulai nggak percaya lagi sama Kakak. Kakak udah nggak pantes atas hidup aku," keluh Fio yang merasa lelah dengan sifat Aaron yang otoriter. "Setelah kejadian itu, aku kehilangan sosok Kakak yang selalu aku percayai."
"Fio ... kamu tahu 'kan, paman minta aku buat jagain kamu di ujung usianya. Aku bersikap begini karena melaksanakan amanah terakhir dari paman."
"Apa ciuman itu termasuk amanah dari papa?" serang Fio pada pernyataan Aaron yang membuatnya muak.
Aaron sudah sering mengatakannya, bahwa ia diminta sang paman untuk menjaga Fio. Yang berarti, Bramantyo menyerahkan tanggung jawab atas Fio sepenuhya pada Aaron. Tapi, Aaron malah menyalahgunakannya. Tidak seharusnya ciuman itu terjadi sebab mereka masih satu keluarga.
"Maaf, Fi. Aku ... khilaf."
Fio mendesah, air matanya yang sempat mengering kini terjun bebas lagi membasahi pipinya. Fio buru-buru menyekanya. Tidak tahu, kenapa sisi buruknya muncul hari ini. Fio sangat marah dan tak bisa memendamnya, Aaron pun jadi pelampiasan. Apa karena sikap Ian yang tak bisa Fio mengerti hari ini?
"Fi, kalau aku bilang, aku ada rasa sama kamu, gimana?"
Kegiatan Fio menghapus air matanya berhenti. Ia menghela napas panjang, ditelannya saliva di mulutnya dengan susah payah. Pertanyaan itulah yang paling ia hindari sejak Aaron menciumnya secara mendadak. Bagi Fio, Aaron hanya sebatas kakak. Lalu, bagaimana jika bagi Aaron, Fio lebih dari sekadar adik? Dan terjawab sudah kekhawatirannya itu.
"Kak, kita harus pulang. Mama udah nunggu di rumah," kata Fio alih-alih menanggapi pertanyaan Aaron yang menjebak.
***
Sesampainya di rumah, tak ada lagi percakapan antara Fio dan Aaron. Mereka benar-benar saling bungkam. Fio yang tak acuh pada Aaron, sementara Aaron yang tiap detik tak pernah lepas pandangan dari Fio. Keduanya seperti orang asing yang tak pernah kenal.
Fio duduk di ruang keluarga bersama Miko. Sudah lama ia tak menghabiskan waktu dengan kucing imut kesayangannya. Aaron tak berani mendekat. Ia hanya memperhatikan sepupunya dari jauh.
Fio terlihat begitu kacau. Gadis yang kesehariannya tak pernah meninggalkan tawa, sekarang tampak sangat murung dan menyedihkan. Kemudian, ingatan Aaron terputar saat melihat betapa merah dan basahnya kedua mata indah gadis itu saat baru masuk ke mobil. Aaron sengaja tak menghampiri gadis itu semalam karena ia tahu, ke mana tujuan Fio singgah ketika ditunggu berjam-jam tidak pulang—ke rumah Ian. Aaron tak mau memperpanjang masalah, Fio butuh waktu untuk menyendiri karena perbuatannya yang keterlaluan. Dan Aaron mengira-ngira, apa yang sudah Ian lakukan pada sepupunya sampai-sampai Fio yang bukan pemarah dan tukang cengeng bisa memiliki kedua sifat itu secara bersamaan hari ini.
Pikiran Aaron teralih. Dilihatnya Fio menerima sebuah telepon dan sedang berbicara serius di sebelah televisi, dekat jendela kaca dengan gorden berwarna cokelat susu.
"Baik, Om. Akan aku usahakan, terima kasih udah ngundang aku buat datang."
Aaron dibuat semakin penasaran. Diundang, kata itu yang membuatnya menajamkan telinga. Sialnya, Aaron tak tahu dengan siapa Fio berbicara. Tapi, petunjuk lain yang ia dapat adalah, Fio akan menyanggupi datang ke undangan itu besok malam.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Imperfection ✔ #ODOCTheWWG
RomanceIan adalah lelaki tampan yang menjalani hobi melukis di tengah ketidakberdayaannya untuk melihat. Tak banyak orang yang menghargai karyanya yang terkesan abstrak. Hingga, seorang gadis muncul dan memotivasi hidupnya, membuat Ian jatuh cinta. Ketika...