Luka Hati

15.5K 3K 194
                                    

Iis duduk di pintu tenda setelah memastikan beberapa anak muridnya yang mengikuti perkemahan sabtu minggu di halaman sekolah telah terlelap.

Iis mengulas senyum mengenang masa lalu, dulu ia juga pernah jadi anak pramuka, di usia itu yang ia tahu hanya memperbanyak teman dan belajar.

Boro-boro mau mengenal cinta, di usia itu Iis bahkan tidak bisa membedakan mana sabun mandi mana sabun muka. Anak pramuka sekucel dia mana mau ditaksir laki-laki?

"Hhhh coba ya dulu gue ngerti skincare, bisa dandan, dan dapet uang jajan lebih. Pasti gue dapet pacar, bisa aja kita langgeng sampe nikah," Iis menghela nafas berat atas angan-angannya.

"Kita pasti bahagia karena sama-sama cinta. Tapi apa boleh buat? Gue jomblo sampe-sampe dijodohin."

Iis kembali teringat sang suami di rumah, baru ditinggal sebentar meskipun Kaffi bersikap seperti itu sebagai Istri, Iis juga merindukannya.

Gadis yang tidak mengenal cinta, tiba-tiba dijodohkan, bibit cinta itu benar tumbuh dengan sendirinya, Iis cinta Kaffi, dan itu tulus tanpa paksaan meski mereka dijodohkan.

Entahlah dengan Kaffinya, Iis sama sekali tidak bisa menyelam lebih dalam ke hati Kaffi untuk mengetahui isinya.

"Bu? Bu? Bu Iis?" Beberapa panggilan Yuris terabaikan, Iis sibuk dengan pikirannya sendiri hingga akhirnya tersadar karena tepukan pelan Yuris di pundaknya.

"Oh! Astaga!" Iis terperanjat kaget, namun bukannya prihatin Yuris malah tertawa kecil melihat ekspresi rekan kerjanya itu.

"Pak Yuris ngagetin tau!"

"Hahaha, maaf maaf. Habis bu Iis ngelamun, hati-hati loh sekolah ini katanya bekas kuburan, nanti bu Iis kesambet." Iis memutar bola matanya malas.

"Semua sekolah kayaknya punya rumor kayak gitu, bekas kuburanlah, bekas rumah sakitlah, bekas sumurlah," Iis mendongkak menatap Yuris.

"Ada apa pak Yuris?"

"Patroli memastikan anak-anak tidur, sekalian ngeliat rekan kerja saya. Lukanya gimana?" Tanya Yuris.

Iis membuka kedua telapak tangannya yang tergores, memang luka kecil namun perih karena kulit luarnya tergores aspal, belum lagi lututnya yang terasa nyut-nyut.

"Mau dibalut gak? Saya ambilin kotak P3K dulu," Yuris baru akan beranjak namun seketika ditahan Iis.

"Bareng aja ngambilnya, sekalian saya mau ngobrol sama pak Yuris biar pak Yuris gak salah paham sama keadaan saya tadi." Meski ragu, pada akhirnya Yuris mengangguk paham.

Apanya yang salah paham? Sungguh Yuris tahu keadaan Iis yang rapuh dan penuh masalah.

Tapi biarlah perempuan itu beracting sok kuat mengatakan semuanya baik-baik saja dan tersenyum mesti sebenarnya tidak.

Lorong sekolah temaram, hanya diterangi beberapa lampu hingga ruang UKS di ujung dekat musollah, Yuris dan Iis berjalan berdampingan meski Iis agak tertarih mengikuti langkah Yuris.

Mau Yuris gandeng, tapi takut juga, istri orang katanya.

"Mau ngobrolin apa Is? Sekarang anggap aku temen kamu, bukan rekan kerja, kamu bisa senyaman mungkin buat cerita sama aku." Buka Yuris.

"Temen-temen ku pernah nanya, kapan lawan jenis membuat kalian berdebar kencang?" Tahu gak aku jawab apa di dalam hati?" Yuris menggeleng.

"Pas dia bilang pengen punya istri kayak gue. Dia yang saya maksud itu kamu Ris," Tidak diminta-minta rasanya Yuris senam jantung mendengarnya.

"Aku cukup berdebar saat kamu bilang gitu tapi," Iis menggantungkan kalimatnya dan tersenyum santai, senyuman yang membuat Yuris ikut tersenyum bersamanya.

"Bukan karena aku suka sama kamu, cuma aku mikir, ada laki-laki yang bilang mau punya istri kayak aku, berarti aku cukup ideal buat jadi istri, pasti aku punya kelebihan yang membuat kamu ingin punya istri seperti aku. Kan?" Iis meminta konfirmasi Yuris.

Sembari mengusap tengkuk, Yuris membalasanya. "Iya, jujur aja kamu cantik, ramah, baik, sabar, pengertian. Apalagi yang tidak membuat kamu ideal jadi istri?"

Bukannya tercengang atau bereskspresi canggung, Iis malah terkekeh.

"Kalau laki-laki lain berpikir begitu, kenapa suami ku tidak ya Ris?" Pertanyaan Iis seketika menghentikan langkah Yuris, pemuda itu berbalik melihat Iis yang masih bisa terseyum mengatakannya.

"Aku sudah merasa melakukan semuanya, tapi sejak menikah kami tidak pernah seakur itu, kami atau lebih tepatnya aku tidak pernah bahagia. Aku cinta suami ku kok, tapi hanya aku yang cinta Ris." Saksinya Lorong sekolah yang sepi dan lampu redup di atasnya Iis meneteskan air mata setelah menyelesaikan kalimatnya.

"Aku jujur aja memang merasa ada yang aneh dengan hubungan kalian, ditambah saat hari anniversary kalian yang aku liat chatnya, aku makin yakin kalian ada sesuatu. Tapi akukan cuma teman, apalagi lawan jenis takutnya dikira ikut campur dan malah makin runyam."

Iis mengehela nafas, mendongkak dan menghapus sisa airmatanya.

"Kayaknya semua orang akan perlahan sadar Ris. Tiga guru di sini hampir deketan semua tanggal pernikahannya dengan aku, mereka dijemput suami, dianterin, hamil, dan bahkan udah ada yang melahirkan, sedangkan aku Cuma pura-pura semuanya baik di depan mereka. Capek sih terkadang, tapi beban hidup ku bukan beban hidup mereka, aku tidak harus membaginya." Iis kembali melanjutkan langkahnya menuju ruang UKS.

"Dari pada kamu simpen sendiri, frustasi dan stress sendiri mending kamu cerita. Setidaknya sama sahabat-sahabat kamu Is," Yuris mengejar Iis yang sudah melangkah duluan.

"Mereka punya masalah masing-masing Ris,"

"Kalau gitu sama aku, cerita sama aku." Iis kembali berhenti, mendongkak menatap ekspresi tulus dan senyuman lebar Yuris.

"Aku pendengar yang baik. Jadi cerita aja kayak tadi Is, kalau kamu punya kesulitan, apapun. Sebagai teman, aku bakal usahain buat bantu. Kalau ga dengan pesan, yah pelukan mungkin? Aw!" Yuris meringis di akhir kalimat karena hadiah cubitan kecil dari Iis.

"Jangan dibahas lagi, aku malu tau!" Memalukan mengingat ia yang menangis di pinggir jalan dengan lecet dimana-mana dan peluk Yuris sampai tenang.

"Tapi Terimakasih, coba aku punya adek atau kakak yang lajang, bakal aku kenalin sama kamu. Kamu pria yang baik, semoga jodohmu juga orang yang baik ya Ris." Harap Iis tulus.

"Kata orang jodoh cerminan dirikan? Kamu baik Is, suami mu enggak. Laki-laki yang tidak menghargai istrinya sendiri itu bukan lelaki yang baik. Artinya dia bukan jodoh mu, harusnya jodoh mu juga pria baik. Kan?"

Rasanya kalimat itu ambigu, jantung Iis kembali berdebar sama seperti saat Yuris guru Bahasa Jepang itu bilang ingin punya istri sepertinya, namun batin Iis menggeleng kencang, ia tidak boleh gede rasa, Yuris hanya ingin bersikap baik padanya.

"Ya udah jangan bengong Is, ayok buruan itu lukanya aku obatin," Yuris memimpin jalan masuk ke UKS, pemuda itu sudah sibuk mengobrak-abrik kotak P3K dan mengeluarkan obat merah, alcohol, serta pembalut luka.

"Emang bisa? Kamu mantan anak PMR emang?"

"Jangankan luka di telapak tangan sama lutut, luka di hati kamu pun bisa aku sembuhin Is."

-To be continued -

Sorry for late update. Next chapter mau couple yang mana?

(Don't forget to touch the stars Button if you like the story 😊 👉🌟)

I DON'T WANNA GET MARRIED!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang