0.5

490 86 18
                                    

"Lu suka cowok kaya gimana, Jen?"

Dalam sebuah perjalanan dari kafe menuju kost-an Jenar, Deska bertanya dengan santai. Kontras dengan wajahnya yang menunjukkan sedikit gugup dan degup jantungnya yang berdetak tak beraturan. Setidaknya dia bisa sedikit lega. Deru suara mesin motor dan riuhnya jalanan malam dapat menyembunyikan kegugupannya.

Deska jarang menanyakan hal ini. Pembahasan tentang perasaan dan pasangan adalah salah satu yang ia hindari. Namun, setelah pertanyaan Jenar di kafe tadi Deska pun berpikir ia ingin mengetahui pandangan Jenar dan apa yang ia suka. Namun perempuan yang tengah memeluknya dari belakang seperti biasanya itu, nampaknya tidak peduli dan asik menikmati udara malam.

Jenar menggumam sesaat lalu menjawab, "Kalo gue sukanya cowok yang bertanggung jawab, Des. Yang jagain gue. Yang sayang sama gue apa adanya. Yang enggak lihat gue dari gimana penampilan gue. Pokoknya yang cocok sama gue aja."

Deska diam sebentar lalu bertanya, "Dari semua cowok yang deketin, ada yang memenuhi kriteria lu?"

"Enggak," jawab Jenar hanya dalam hitungan detik. Ini bisa diartikan bahwa Jenar memang jujur. Atau bisa jadi Jenar tidak tertarik dan tidak ada niatan untuk dekat dengan mereka yang mendekatinya.

"Emang mereka kenapa? Kan mereka ganteng, rata-rata juga anak orang berada. Terus mereka juga enggak bego. Lumayan untuk ukuran anak kuliahan."

"Emang ganteng sama kaya bisa bikin gue kenyang?" Jenar bertanya sambil mengamati wajah Deska yang bayangannya dapat Jenar lihat dari kaca spion.

Deska hanya terdiam sesaat kemudian berkata, "Setidaknya deretan cowok itu lumayan bisa diharapkan. Lumayan bisa diandalkan."

"Emang tukang pukul, tukang godain perempuan, terus orang yang suka ngerendahin orang lain tuh bisa diandalkan?"

"Maksud lu apa? Emang kita lagi bahas siapa sih, Jen. Kok elu kaya ngegas," kata Deska.

"Bayu, Seno, sama Arya. Mereka yang tadi bikin lu kotor, kan?" Jenar memastikan pelaku yang membuat Deska terlambat menemuinya dan datang dalam keadaan kotor seperti tadi.

Deska diam sejenak. Hampir sampai daerah kost Jenar. Namun ia memilih menepikan motornya di depan sebuah minimarket berlogo lebah.

"Lu tahu dari mana?" Deska bertanya setelah mematikan mesin motornya.

Jenar diam saja. Masih memeluk Deska dari belakang sebelum melepaskannya dengan enggan.

"Enggak penting gue tahu dari mana. Yang jelas gue adalah ancaman buat idup lu. Lu enggak pernah aman kalo deket gue. Iya, kan?"

"Jen, bukan gitu juga. Gue akui deket sama lu sering bikin gue masuk dalam masalah. Tapi sebenernya masalahnya bukan elu tapi mereka." Deska mencoba menjelaskan.

Deska melepaskan helmnya lalu meletakanya pada spion motor. "Gini deh. Singkatnya mereka itu cuma heran kenapa lu bisa deket sama gue ketimbang mereka. Sementara gue cupu dan mereka anak yang kelasnya tinggi. Kenapa gue bisa pergi sama elu sementara elu selalu nolak mereka. Selama ini cuma itu yang mereka cari. Jawaban pasti kenapa mereka enggak bisa deket sama elu sementara gue bisa."

Jenar menatap kearah lain. Memikirkan jawaban yang tepat dari apa yang Deska jabarkan tadi.

"Gue dan mereka beda, Des. Elu dan mereka pun beda." Jenar menatap Deska meski hanya bagian belakangnya saja. "Gue bukan mereka yang bisa membuka hati dengan mudah. Merasa nyaman dengan mudah. Gue enggak bisa, Des. Buat gue untuk dekat sama seseorang meskipun teman harus ada rasa nyaman. Dan kalau sama mereka, rasanya selalu terancam."

Deska menoleh ke belakang. Menatap Jenar tepat di matanya. "Jadi lu nyaman sama gue?"

_______

Jumpa lagi dengan Deska dan Jenar ♡

28 Agustus 2019, Vynvion

Schicksal [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang