XIV

1.2K 158 9
                                    

*AUTHOR's Point of View*

Semejak kejadian 4 hari yang lalu Rezka mengunjungi rumah Dylan hampir setiap hari, dan Dylan harus mengikuti lebih banyak terapi yang menyebabkan Rezka tidak mendapat banyak kesempatan bersama Dylan dan Dylan mendapat banyak kesempatan untuk menghindari Rezka. Rumit memang.

Hari ini, tidak ada jadwal terapi namun alih-alih bertemu Dylan dia hanya mendapati Sadrie di dapur. Ruangan yang bernuansa putih nampaknya cocok sekali dengan kebingungan Rezka.

"Hai, Rez. Cari Dylan, ya?" Tegur Sadrie.

"Iya kak. Sudah berhari-hari gak ketemu." Terang Rezka.

"Dylannya harus terapi biar gak makin parah. Sudah belajar tentang itu, dik?" Sadrie mengambilkan segelas air untuk Rezka lalu duduk di sampingnya.

"Belum kak. Ini pertama kalinya aku ngeliat hal semacam itu." Rezka meminum minumnya, Sadrie tersenyum.

"Itu namanya meltdown. Ingat ya meltdown dan tantrum itu berbeda. Meltdown terjadi kalau si pengidap autisme merasa tidak berdaya, sedangkan tantrum saat mereka merasa terlalu berkuasa. Dua hal itu wajar pada mereka, tapi bisa dikendalikan dengan beberapa cara salah satunya terapi. Dan perhatikan bagaimana dr. Rita nenangin Dylan, itu lagu kesukaannya." Jelas Sadrie.

"Tidak berdaya atas apa, kak? Aku nemuin Dylan sudah dalam keadaan seperti itu." tanya Rezka.

"Dylan kabur dari rumah kemarin itu, dia lari sampai berkilo-kilo meter. Di gelangnya dia aktif in mode running jadi alarm gak bakalan bunyi cuma karena denyut jantungnya ningkat. Dari penjelasan dr. Rita, bisa jadi karena dia jatuh dan dia gak nemu orang yang bisa nolong dia. Dia takut bakteri kan, dia jatuh, luka, berdarah di jalanan yang pasti banyak bakterinya. Kemungkinan itu sih." Rezka terdiam. Di kepalanya berterbangan banyak pertanyaan baru, tapi ada satu kesimpulan yang dia dapat : Hidup dengan Dylan, seorang pengidap autisme, tidak mudah.

"Autisme adalah sebuah kondisi gangguan spektrum di dalam otak. Itu tidak bisa disembuhkan, Rezka. Tapi dia anak yang cukup luar biasa untuk saya. Tidak semua orang bisa menerima Dylan dengan keadaannya yang seperti itu, dan saya ataupun Dylan tidak akan pernah memaksakannya. Kami berdua sudah cukup memiliki satu sama lain. Jadi ..." Sadrie terdiam, membuat Rezka menoleh ke arahnya.

"Kalau kamu mau pergi dari hidupnya Dylan, tolong pelan-pelan dan jelaskan mengapa dengan alasan baik yang bisa dia terima ya." Sadrie tersenyum dengan sangat tulus, Rezka mengetahuinya karena dulu Dylan sering memberikan senyum yang sama kepadanya.

******

"Tidak bisa ditunda?" Tanya Dylan.

Gamar tersenyum sambil menyerahkan kopernya kepada supir yang akan mengantarnya ke bandara, "Udah aku tunda seminggu, hehehe."

"Oh. Maaf tidak sempat menemani selama kamu di sini." Kata Dylan merasa sedih karena Gamar akan kembali berkuliah di Jakarta. Sedang dia tidak sempat menghabiskan banyak waktu bersamanya karena dia kembali mendapat penjagaan yang ketat setelah meltdown terakhirnya.

Mereka berdua sedang berdiri di depan gerbang rumah Gamar. Gamar yang sudah berpakaian rapi, dengan Dylan dengan kaos oblong, celana selutut, kaos kaki dan sandal jepitnya. Dylan tidak diizinkan untuk mengantar Gamar sampai ke bandara, dan sekarang ada sekitar 5 orang yang mengamatinya dari pos satpam rumahnya.

"Kenapa cepat sekali kembali berkuliahnya?" Tanya Dylan yang dibalas senyum oleh Gamar.

"Sebulan lebih kok. Kamu ngerasa cepat karena cuma sekali keluar bareng aku mungkin." Jawab Gamar masih dengan senyum, dia selalu tersenyum ketika berbicara kepada Dylan.

"Boleh aku hubungi kamu sekali-kali?" Tanya Dylan lagi.

Kali ini Gamar lebih tersenyum, "Boleh. Walaupun cuma setahun sekali, juga boleh kok. Bakalan tetap aku balas." Jawab Gamar sambil menyerahkan koper terakhirnya.

Dylan terdiam, tidak tahu harus berkata apalagi dan Gamar berdiri di depannya sambil tersenyum. "Sudah?" tanya Gamar, Dylan mengangguk.

Beberapa detik kemudian diisi oleh suara mobil yang baru dinyalakan saja, mereka berdua diam. "Yaudah aku pergi dulu ya Dylan." Gamar memalingkan tubuhnya menghadap pintu mobil namun Dylan menahan tangannya. Lebih spesifik, jari Dylan mengaitkan diri di antara beberapa jari Gamar. Dylan terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu, membuat Gamar menunggunya namun Dylan diam saja terlihat ragu.

Gamar memeluk Dylan, menyelipkan kepalanya di leher Dylan dan tangannya melingkar di leher Dylan juga. Tidak ada kata yang terucap, tangan Dylan pun tidak memeluk tubuhnya. Perlahan Gamar melepaskan pelukannya, lalu tersenyum ke Dylan yang masih saja terlihat ragu. Tanpa kata-kata lagi Gamar langsung masuk ke dalam mobil. Sebelum mobil jalan terlalu jauh dia menurunkan kaca mobilnya lalu sedikit berteriak ke arah Dylan. "See me!"

*****

Dylan berpapasan dengan Rezka ketika gerbang rumahnya dibuka. Rezka yang berada di dalam mobil tidak berhenti untuk menyapa Dylan yang dicarinya sejak berhari-hari yang lalu. Dylan yang sengaja menghindarinya tentu saja tidak peduli. Dia langsung menuju ke kamarnya.

Di dalam kamar dia memiliki dua pilihan ; Merutuki dirinya karena tidak mengatakan apapun yang berguna kepada Gamar atau mengambil teleponnya lalu menelpon atau mengirimi Gamar pesan. Diputuskannya untuk mengirimi Gamar pesan singkat. Jauh di dalam laci dia meraba-raba, berusaha menemukan telepon genggamnya yang jarang sekali digunakannya.

Ketika dia membuka pola kuncinya, dia teringat terakhir kali dia memegang telepon itu adalah saat dia menghubungi Andrew, tepat sebelum dia melihat kejadian menjijikan itu. Dylan memejamkan matanya, berusaha tenang agar tidak mengalami meltdown lagi. Setelah dia cukup tenang, dia membuka aplikasi pesan singkat. Namun dia mendapati notifikasi lain, beberapa pesan dari nomor yang sama dan panggilan tidak terjawab sebanyak 5 kali. Dibukanya pesan itu.

00.40 : "Dylan, ini Klasika. Maaf aku ganggu malam-malam, aku butuh bantuanmu."

00.57 : "Kalau ada waktu tolong hubungi aku balik, aku butuh bantuan kamu banget."

04.58 : "Ini tentang Diba. Dia berubah. Hubungan kami tidak baik dan tidak terlihat akan membaik. Dia pergi party tiap malam. Kalau pulang dia selalu high. Dia gak pernah segininya. Tolong aku."

05.13 : "Tolong Diba..."

Dylan mengerutkan dahinya. Adiba yang dia tahu tidak akan melakukan hal-hal seperti itu. Lagi pula dia sudah menugaskan Scope untuk mengawasi Adiba. Dylan mulai merasa kesal, tapi dia mengendalikannya secara cepat sebelum dia mengalami tantrum. Dia berlari ke arah kamar Sadrie. Membuka pintunya secara langsung karena Sadrie tidak pernah mengunci pintunya.

Dia menaiki ranjang Sadrie, lalu memeluk Sadrie yang sedang tidur dari belakang. Bagi Dylan ini merupakan salah satu cara untuk menenangkan diri. "Can I go with you tomorrow?" tanya Dylan.

"Ke Amerika ketemu Daddy?" Sadrie bertanya balik, sebenarnya dia memang akan membawa Dylan bersamanya namun dia menunggu Dylan membuat keputusan untuk dirinya sendiri.

"Iya. Dylan gak mau sendirian." Jawabnya.

"Sure. Kuliahnya gimana?"

"Libur." Jawab Dylan singkat.

"Oke, nanti kakak minta bibi yang packing ya."

Dylan mengangguk.

CHILIADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang