"Menetralkan kecewa atas luka,
dan menghilangkan jejaknya
adalah dua hal yang berbeda"---------------------------------
-SRI-
Tepat di hari ketujuh aku di rumah Ummi, Mas Rahman datang berkunjung bersama Hafidz juga Haikal. Tak lupa ia membawakanku martabak keju, kebiasaannya beberapa tahun belakangan ini.
Ia menemui Abah juga Ummi, dan itu kali pertamanya ia bertemu dengan mereka setelah pertengkaran hebat denganku malam itu.
"Rahman banyak salah sama Abah juga Ummi, Rahman minta maaf yang sebesar-besarnya" ujarnya pada Abah dan Ummi di ruang tamu, sementara aku hanya menguping dibalik pintu. Jujur aku belum sanggup menemui atau ditemuinya.
"Maafkan Rahman, jika bersama Rahman, Sri lebih banyak menelan kecewa dibanding Rahman buat bahagia" tukasnya lagi.
Aku mendengar suaranya sedikit sengau.
"Yang sudah, ya wis biarlah. Ambil ibrohnya, bahwa dalam rumah tangga penting sekali mendiskusikan semua hal dengan pasangan saat akan mengambil keputusan" nasihat Abah.
"Dan kedepannya, Ummi harap kamu tak buat Sri kecewa lagi, Man" tambah Ummi.
"Insyaallah, Ummi"
Dan malam itu, aku ingin belajar pada Ummi juga Abah perihal lapang dada yang tak pernah dipelajari di sekolah, juga perihal memaafkan yang tak mudah.
***
Minggu pertama di rumah Ummi semuanya terasa berat. Aku harus membiasakan banyak hal baru disini. Mengubah rutinitas sehari-hari menyesuaikan dengan keadaan di rumah Ummi. Jika pagi-pagi di rumahku aku terbiasa menyiapkan sarapan, di rumah Ummi kebiasaan itu tak bisa lagi aku lakukan, semua sudah dihandle Bi Tini, asisten rumah tangga di rumah ini. Jadilah aku setiap pagi setelah memberi makan ikan di kolam belakang rumah, menghabiskan waktuku disana dengan secangkir macalathe, teh hijau kesukaanku. Dan jujur kebiasaan itu semakin membuat aku mengingat Mas Rahman dan luka itu.
Minggu kedua di rumah Ummi semua masih sama seperti minggu sebelumnya. Semua kini terasa asing bagiku. Bahkan kepada diriku sendiri, aku seperti tak menemukan diriku yang dulu. Aku menjadi lebih pendiam dan lebih suka menyendiri. Sehebat itu rupanya dampak patah hati.
Setiap genap satu minggu, Mas Rahman selalu menyempatkan membawa Hafidz dan Haikal kemari. Aku tak pernah berniat menemuinya, luka itu masih terasa berdarah-darah. Saat tak sengaja berpapasan di rumah pun, aku akan menghindar dengan cepat. Dan dia, seperti mencium gelagatku, hanya menatap aku pasrah.
Setiap hari saat aku di rumah Ummi, Mas Rahman tak pernah sekali pun terlewat mengirimi aku pesan berantai. Sadar panggilannya tak mungkin aku jawab, dia menghujani aku dengan pesan-pesan di roomchat whatsapp dengan kalimat-kalimat seperti "Dik jangan lupa makan", "Dik jaga kesehatan", "Dik Mas rindu masakanmu, pulanglah" dan pesan-pesan lainnya. Dan "Dik maafkan, Mas" merupakan pesan andalannya yang akan dia kirim lebih dari 10 kali dalam satu hari. Kadang aku bosan sendiri membacanya, memilih mematikan handphone. Egoiskah aku ini?
***
Tak terasa, aku sudah memasuki minggu ke empat di rumah Ummi. Hari ini genap sudah pernikahanku dengan Mas Rahman 22 tahun. Pernikahan yang entah akan berakhir seperti apa di usianya yang tak lagi muda ini. Aku mendesah pelan demi mengingatnya. Semua ini membuat aku gusar.
"Mbak semakin tidak baik-baik saja setiap harinya" ujar Linda tiba-tiba. Ia memang senang sekali muncul mengagetkan. Kemudian duduk dikursi kosong di sebelahku, aku sedang di taman samping rumah Ummi pagi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf
Lãng mạnTentang sebuah kisah cinta rumah tangga sepasang anak manusia yang bermula saling dijodohkan, hingga akhirnya sama-sama saling menghargai, sama-sama belajar menumbuhkan cinta. Dan saat cinta itu telah tumbuh sekitar 21 tahun dalam biduk rumah tangg...