Tanpa Tergesa |

158 13 34
                                    

Now playing : Tanpa Tergesa - Juicy Luicy

Now playing : Tanpa Tergesa - Juicy Luicy

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan minta jatuh cinta.

Luka lamaku juga belum reda.

——————

"KITA ini apa sih?"

Aku berhenti menyesap Latte. Genggaman cangkirku terhenti di udara. Kutatap lekat pria di hadapanku. Ini kali ketiga ia menanyakan hal yang sama–––dengan susunan kata yang sama–––dalam kurun waktu lima bulan lamanya. Sesederhana 'Kita ini apa sih?' mampu membuat kilat kecewa menyala jelas di kedua matanya.

Pria itu menghela napas berat. Satu sudut bibirnya terangkat sempurna. Dan yang kutangkap, ia tidak baik-baik saja.

"Gam, kita udah bahas ini berkali-kali."

"Dan jawabannya masih sama? Kamu masih butuh waktu?" Bidikan yang sempurna. Pria itu, Agam, kini menegakkan tubuh. "Coba kasih tahu aku, berapa lama lagi?"

Aku tersenyum, mengakui kemenangannya dalam hal memojokkanku. Aku tidak marah–––sama sekali tidak. Ini salahku, salahku yang mengizinkan dia dekat, tanpaku yang mau terikat.

"Lima bulan bukan waktu yang sebentar untuk kamu terbiasa dengan kehadiranku." Agam tersenyum lagi. Kali ini diikuti dengan kekehan hambar. "Aku bukan mau nyalahin kamu. Meski dari segi mana pun, kamu bakal tetap nganggep diri kamu dalam posisi yang pantas disalahkan."

Ya, aku setuju. Memang aku telah memainkan peran yang salah di sini.

Agam buru-buru menambahi. "Enggak, enggak! Bukan kamu, tapi aku. Salahku yang memaksa ada, tanpa pernah kamu minta."

Memberi jeda, pria itu membiarkan hening merenggut euforia coffee shop yang kami singgahi. Kami diam tanpa mau bersua. Membiarkan desau angin yang bercengkerama.

Memalingkan pandangan dari wajah Agam. Hanya itu yang bisa kulakukan. Sembari memikirkan balasan apa yang tepat untuk kukatakan, aku menatap nanar langit sore. Lembayung indah terlukis di cakrawala sana. Mengantarkan kepergian sang surya yang ingin rehat sejenak dari singgasananya.

Kopi, senja, dan Agam.

Tidak, tidak!

Ketiganya bukan perpaduan apik yang layak disandingkan. Sejujurnya, aku benci senja. Dialah yang meredupkan terang, dia pula yang memaksa gelap datang.

Aku tak mau menjadi senja. Hanya karena tak ingin menjadi saksi redupnya harapan seseorang. Walau pada kenyataannya, harapan itu memang hanya tersisa separuhnya. Berpendar-pendar, bahkan nyaris hilang.

Agam sejak tadi masih terdiam, mengamati kepulan asap dari secangkir kopi yang sama sekali tak disentuhnya. Aku berdeham untuk menarik perhatiannya.

Tanpa Tergesa [1/1 END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang