Prolog

1.5K 58 7
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul 19.48. Aku masih duduk di mobilku. Diluar macet parah, sudah dari jam setengah 6 tadi.
    
Kupandangi langit yang sudah gelap. Kosong, tidak ada bintang-bintang yang mewarnai. Yang ada hanyalah jalanan yang penuh mobil dan motor di sekelilingku.

Udara berhembus dingin di dalam mobil. Rasa dingin ini membuatku merinding. Segera aku mematikan AC mobil yang sudah daritadi menyala.

Rasa kantuk ini menyerangku. Ingin rasanya cepat-cepat sampai dan merebahkan tubuh ini di kasur yang empuk.

Mata ini rasanya berat sekali. Perlahan, aku menutup kedua mataku. Tapi ada sesuatu yang membuatku terhenti. Sesuatu yang ganjil.

Refleks kubuka mataku lebar-lebar. Didepan sana ada sosok besar berdiri di pinggir jalan tol. Sangat besar, bahkan melebihi ukuran pohon. Aku tidak bisa melihat bagaimana bentuknya. Karena yang tampak sekarang hanya sosok hitam pekat menyeramkan.

Sosok itu menatap tajam orang-orang di tol ini. Aku bisa melihat, mukanya menggambarkan dia sedang marah.

Tapi, perlahan mukanya membentuk senyum jahil. Dia mengulurkan kedua tangannya, hendak meraih salah satu mobil di tol ini.

Aku tahu pasti apa yang akan dilakukannya. Cepat-cepat aku membuka pintu mobil. Sekarang aku tengah berdiri tegak disamping mobilku.

Orang-orang mulai menatapku. Aku tidak peduli, karena pasti sebentar lagi akan timbul kecelakaan hebat.

Dalam hati, aku mulai mengucapkan ayat-ayat Alquran. Tiba-tiba saja, sosok itu menoleh cepat kearahku. Aku sama sekali tidak takut. Aku sudah berpengalaman. Dalam hidupku ini aku banyak bertemu sosok sepertinya.

Aku membisikkan kalimat-kalimat ini:
"Jangan macam-macam. Silahkan kamu pergi. Demi Allah saya tidak sudi kamu mengganggu manusia-manusia ini."

Matanya melotot hebat. Dia memandangiku dengan muka ketakutan. Seolah dia melihat pantulan diriku yang sebenarnya, Nyai Ajeng Kirana.

Mulutnya perlahan terbuka. Berteriak sangat kencang, seakan menggoncang tanah ini. Aku yang sedikit terganggu menutup salah satu telingaku.

Teriakannya menghilang, bersamaan dengan sosoknya.

Aku kembali masuk ke mobilku. Deretan mobil di belakangku membunyikan klaksonnya. Rupanya daritadi sudah banyak mobil yang menunggu.

Tanganku memegang setir mobil. Jalanan ini sudah lancar kembali, mobil dan motor lalu-lalang dengan cepat.

Aku menghembuskan nafas lega. Lalu mulai melajukan mobil.

Terlihat sebuah desa yang sepi. Jalanan yang sebelumnya beraspal, sekarang berupa tanah bebatuan. Mobilku tidak bisa berjalan cepat karena tanah yang tidak rata ini.

Disamping kiriku, tampak sawah yang sangat luas. Dipinggirnya ada pohon-pohon besar yang melengkapi.

Aku buru-buru mengalihkan pandangan. Takut ada yang menatap balik.

Benar saja, sosok ini tengah memandangiku sekarang.

Tapi bukannya mendekati, sosok ini malah menjauh dariku.

Rupanya aku sangat mudah "terlihat" oleh mereka.

Sebentar lagi aku akan sampai di rumah orangtuaku. Sudah lama aku tidak menengok mereka.

Suara dengkuran yang sangat keras terdengar dibelakangku.

Sontak aku memutar kepalaku. Ternyata Kumala sedang tertidur nyenyak sekali. Aku tidak menyadari keberadaan adikku ini daritadi karena suasananya sangat tenang sampai sampai tidak mendengar hembusan nafasnya.

Aku menatap wajahnya, terlihat muka yang sudah sangat kelelahan. Wajar saja, kita sudah berangkat dari sore menjelang malam.

Lampu mobilku menyinari sebuah rumah tua yang besar. Akhirnya sampai juga.

Tanganku menepuk-nepuk paha adikku. "Dek, bangun. Sudah sampai."

Dia bergeser sedikit, tapi tidak kunjung bangun.

Akhirnya kuputuskan untuk mengeluarkan barang-barang dari bagasi dulu.

Aku menurunkan satu-satu tas dan koper disitu. Untung saja barang yang kami bawa tidak banyak.

Aku masuk kembali ke mobil untuk membangunkan adikku.

"Ayo dek bangun, sudah sampai. Mau ketemu ibuk ndak?" ucapku yang sudah mulai gemas karena daritadi dia tidak bangun.

Matanya terbuka sedikit. Lalu badannya duduk tegak. Dia menoleh kearahku.

"Mbak, ini sudah sampai mana?"

"Sudah disamping rumah. Tuh, lihat."

Kepalanya mengarah ke rumah tua besar tadi.

"Ibuk mana?"

"Ya didalam. Ayo bantu mbak bawa koper!"

"Iya, iya.." ucapnya malas.

Kami menarik koper dan tas sampai didepan pintu rumah. Aku pun mengetuk pelan pintu rumah.

Dari dalam aku mendengar suara kaki berlari cepat. Lalu pintu rumah dibukakan.

"Ibuukk!" seru Kumala lalu memeluk ibu.

Ibu membalas pelukannya. Lalu matanya menatapku.

"Sudah lama ya, Madya." gumamnya untukku.

Aku tersenyum dan mengangguk.

"Dek Mala sama Mbak Madya mau makan dulu ndak?" tawar ibuku.

"Mau buk. Mala udah lapar, daritadi macet terus."

"Madya juga mau buk, makan apa?"

"Ada soto sama bakso."

"Bakso!" ucap Kumala.

"Soto saja lah." balasku.

"Bakso!" Kumala tidak mau kalah.

"Sudah, 1 bakso dan 1 soto ya?"

Kamipun pergi ke ruang makan, menyantap makanan kami masing-masing.

Tapi aku merasa ada sesuatu yang kurang.

"Bapak mana buk?" tanyaku

"Bapak lagi sholat jumat, paling sebentar lagi sampai." jawab ibuku.

"Oh."

Aku memandangi ruang makan ini. Rasanya sangat akrab.

Aku kembali lagi ke rumah ini. Tempatku memulai segalanya.

Save MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang