23. Mula yang Sebenarnya

438 42 4
                                    

Dara masih berdiri termangu, tak kunjung masuk walau pintu terbuka sangat lebar. Ia mengeratkan genggaman pada koper miliknya, lalu menghela napas pelan. Teguran ayah pun tak ia hiraukan, masih menatap lurus menembus isi rumah lumayan mewah milik ayah.

Dia merasa kecil, sendiri, dan asing. Mbak Puput tidak lagi bersamanya, karena ia merasa tanggung jawabnya telah usai. Meski Dara mencegah untuk jangan pergi dan minta untuk menemaninya kemari, mbak Puput menolak seraya berkata,

'Mbak tidak bisa terus menerus bersamamu, Ra. Mbak punya tunangan di desa, dia nunggu mbak sampai selesai kerja. Lagipula kamu akan tinggal bersama ayah sekarang, ayah pasti akan memenuhi segala apa yang kamu mau. Tapi kamu juga harus ingat bahwa kamu harus selalu patuh sama ayah, mengerti?

Jadi, mbak Puput sudah boleh pulang?'

Helaan napasnya berhembus gusar, luka akibat kepergian bunda saja belum kering, ditambah lagi luka baru yang kali ini tidak kalah pilu. Semua orang yang dia sayang meninggalkannya satu persatu.

"Dara, ayo masuk. Biar bibi Harti bantu bawa kopernya."

Gadis itu terkesiap, tak sadar bahwa ayah sejak tadi menunggu dan mengamati wajahnya.

Saat wanita paruh baya mendekati dan hendak mengambil kopernya, Dara segera berkata, "enggak usah, bu, aku bisa sendiri."

Bi Harti terdiam sejenak, lalu tersenyum.

Dengan pelan, Dara melangkahkan kaki sedikit ragu. Ruang tamu luas dan nyaman adalah hal yang kali pertama menyambutnya, masih tidak menyangka bahwa ayah telah sukses seperti sekarang.

"Kamar kamu ada di lantai atas. Naik tangga lalu belok kanan, pintu putih sebelah kiri."

Dara hanya mengangguk singkat, lalu melirik bi Harti. "Ibu enggak keberatan antar saya, kan?"

Setelah wanita itu memberi anggukan, keduanya berjalan menuju kamar Dara. Gadis itu terus mencuri pandang ke arah bi Harti, takut jika tiba-tiba wanita itu menghilang untuk pergi ke dapur atau ke mana. Dara tidak ingin sendirian. Aneh memang, karena ia takut dengan rumah barunya sendiri.

Setelah sampai, Dara membuka pintu putih tersebut. Langsung saja nampak sebuah kamar yang masih terlalu gelap karena tirainya belum terbuka.

Bingung hendak memulai dari mana, sejak lima menit lalu yang dilakukan Dara hanya berdiri. Ukuran kamarnya berbeda dengan kamar yang ada di rumahnya dulu, baginya ruangan ini terlalu luas untuk dijadikan kamar.

"Mbak Dara lapar? Sudah makan belum?" Bi Harti yang baru saja selesai membuka tirai menghampirinya.

Dara mengangguk, "sudah, bu," jawabnya, "ibu sejak kapan bekerja di sini?"

Bi Harti nampak kebingungan menjawab, paling-paling sibuk mengingat tanggal berapa kali pertama ia menginjakkan kaki di sini.

"Ya sudah kalau nggak ingat, nggak apa," Dara menarik wanita itu menuju balkon. Sempat terkesima saat maniknya melihat kolam renang dengan air jernih karena baru saja dikuras. "Rumahnya terlalu mewah, bu."

Bi Harti lagi-lagi tersenyum.

"Ibu mau jadi pembimbingku? Jujur, bu, aku belum terbiasa di sini."

"Ini rumahmu, nak."

Dara menunduk. Ia lebih suka di rumah lama yang sederhana. "Bu?"

"Iya?"

"Istri baru ayah jahat, tidak?"

Bi Harti lagi-lagi tertawa.

"Bu?" tanya Dara tak mengerti.

"Dara?" Bukan suara bi Harti, melainkan seorang wanita di ambang pintu yang sedang berjalan menuju ke arahnya.

Wanita yang sama, yang membuat bunda depresi hingga mengalami penyakit yang merenggut nyawanya. Dia tersenyum ramah. "Sudah besar ya? Cantik sekali." Dia memuji, entah tulus atau tidaknya, Dara tidak tahu.

"Selamat datang di rumah baru kamu," ucapnya memberi sambutan.

Dara terdiam dengan air muka yang berbeda dari sebelumnya, terlebih saat melihat perut wanita itu buncit, hamil rupanya.

"Kamu lapar, sayang?"

Masih sama, gadis itu enggan berbicara. Bi Harti yang semula diam lalu menjawab, "tadi sudah makan katanya."

Mendengar itu, istri ayah tersenyum. Sempat ingin mengusap pundak Dara sebelum gadis itu mundur selangkah, menolak mentah jika tangan itu menyentuhnya.

Dara tidak suka.

***

Rumah barunya terasa sepi. Jika biasanya Dara menyukai kesepian, namun tidak dengan rumah ayah. Terlalu sepi dan hampa.

Tidak tahan dengan kesan pertama yang buruk, Dara memutuskan untuk pergi keluar menaiki angkot tanpa tujuan, sendirian di tengah keramaian.

Setelah dua kali dibawa ke terminal tawang alun oleh supir angkot, akhirnya Dara memutuskan untuk duduk di sebuah halte mini. Tatapannya lurus ke depan dengan wajah tanpa ekspresi. Benaknya berharap agar Sena mengetahui kabar bahwa bunda telah tiada, dan tanpa diberitahu pasti Sena sudah tahu jika Dara terluka, lalu lelaki itu akan meninggalkan Jakarta untuk menemuinya.

Sadar akan apa yang dipikirkan, Dara menggeleng pelan. Terlalu banyak berandai tidak membuat hatinya lega. Sena pasti betah di sana, Sena pasti sudah melupakannya, dan Sena pasti bertemu banyak orang yang tidak pernah menyia-nyiakannya.

"Dara?"

Dia terkesiap, lalu dengan cepat mendongak dan berpikir bahwa itu adalah Sena. Tapi dia adalah, "Rama?"

Rama tidak berkata dan langsung duduk di samping Dara, menggenggam tangan gadis itu seperti biasa. "Dara, kamu baik-baik saja?"

Dara masih terdiam. Bahkan saat Rama memeluknya, ia diam enggan membalas.

Rama merasa bersyukur bertemu Dara hari ini. Saat baru saja keluar dari ruang ATM, ia melihat sosok gadis yang tengah sendiri di halte. Dan seolah tidak asing ia menghampirinya, benar saja bahwa Dara tengah duduk dengan kilat manik kosong. Sungguh tidak tega Rama melihatnya.

"Aku nggak nyangka bunda pergi secepat ini, dan kamu pasti sedih," Rama berujar. "Kemarin aku ke rumahmu, tapi ayahmu bilang kamu sedang keluar bersama Aya."

Rama menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Dara. "Maaf karena datang terlambat, jadi aku nggak sempat ikut proses pemakaman bunda kamu."

Dara masih diam.

Yang Rama lihat, Dara menjadi sedikit kacau. Kantung matanya nampak kentara, bibirnya berbentuk segaris kaku, seolah tidak memberi kesempatan untuk sebuah senyum terbit di sana.

Tidak ada kata baik-baik saja untuk mereka yang ditinggal pergi oleh orang tuanya. Rama mengerti.

"Aku tahu kamu sedih, kamu boleh nangis, tapi kamu nggak boleh diam terus kayak gini."

Dara berkedip dua kali. "Rama?"

Senang dengan suara Dara yang menyebut namanya, Rama mengusap punggung tangan Dara. "Aku ingin kamu tetap seperti ini."

"Aku ingin kita berakhir sampai di sini."

Dari Semesta untuk Dara [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang