Rp50.000

11 4 4
                                    


Nenek, ia adalah sosok pahlawan bagiku. Ia mengutamakan kepentinganku
d

aripada kepentingan dirinya sendiri.

Sungguh mulia sifatnya dan akan
selalu kukenang walaupun ia sudah menyatu dengan tanah.

Aku Dinde, cucu favorit nenek Darti. Bagiku seorang nenek itu sosok
yang tidak terlalu dekat denganku.

Tapi itu dulu, setelah nenekku
dipanggil-Nya barulah aku menyadari bahwa semasa hidup nenek, ia
selalu ada di dekatku. Ia adalah bank pribadiku yang tidak hanya
seputar uang namun memberikan rasa aman dan tenang terhadap
pelanggannya.

Seperti yang dikatakan pepatah penyesalan akan datang
pada akhir dan inilah awal mula penyesalan yang sampai saat ini turut
menghantui setiap langkahku.

Selama aku hidup, aku berkecukupan. Namun, manusia tidak akan puas
dengan kata cukup, tidak begitu mengejutkan ketika aku menjadi salah satu dari mereka, yang ingin lebih dan lambat laun anti dengan kata puas.

Aku yakin saat aku terjatuh akan selalu ada matras empuk yang
menyelamatkanku dan selalu menawariku jus dengan rasa asuransi.

"Tebak siapa?"

"Ya, ia adalah tidak lain dan tidak bukan nenekku."

Masih kuingat dengan jelas, waktu itu tanggal 14 Juli, rekaman
beresolusi +1080 HD yang tersimpan di kepalaku mulai kuputar. Aku
berkunjung ke rumah nenek, dengan agenda yang jelas dan itu harus
terlaksana sesuai rencanaku. Keadaan ketika badannya yang berbaring di
kasur dengan pikiran yang bertamasya di alam mimpilah yang aku temui.

Pantas saja ia tidak menjawab salamku yang menandingi suara speaker masjid di depan rumah ketika mengumumkan ada kegiatan posyandu untuk balita.

Ketika aku membalikan badan dan hendak keluar dari kamar
sempit berisikan benda-benda zaman purba itu, indra pendengaranku
menangkap suara lirih "Nenek tidak tidur Dinde, hanya berbaring karena
kecapekan saja."

Aku membalikan badan, menghadap kearahnya dan segera duduk di ujung
kasur reot itu. "Nek kalau masih ngantuk lanjutin tidur aja," kataku
kasihan melihat nenek yang selalu berbohong kalau ia tidak mengantuk
setiap kali aku datang berkunjung. Tidak harus mempunyai IQ 145 untuk
mengetahui bahwa nenek tadi sedang tidur sangat lelap bukan hanya
sekedar berbaring saja.

"Nenek nggak ngan-" kalimatnya terpotong oleh nguapan panjang, ia pun mengucek matanya, mencoba untuk mengumpulkan kesadaran yang berceceran ketika ia terlelap tadi.

Mata hitam dengan limbal ring yang
seharusnya hitam bukan biru miliknya itu terihat lesu, "Apa dia tidak tidur semalam?" Tanyaku di dalam pikiran.

"Kamu butuh berapa kali
ini?" Ia bertanya sambil membuka nakas kecil di samping kasurnya.
"Setiap Dinde berkunjung bukan berarti Dinde mau uang ya, Nek" kataku dengan senyum tipis yang dipaksakan,

"Sialan dia sudah tahu kedokku!"

"Dinde butuh uang 500 ribu buat bayar SPP besok pagi," Tangannya yang
hendak meraih uang di dalam dompet usang kesayangannya itu pun
terhenti.

"Kalau sebanyak itu nenek tidak punya" dari ekor mataku
kulihat keningnya yang keriput semakin berkerut.

"Tapi harus dibayar
besok pagi dan nggak boleh telat, Nek!"

" Dinde ngertiin nenek sekali saja, kalau 100-200 ribu baru nenek ada,
500 ribu itu angka yang cukup berat untuk nenek." Aku tahu nenek baru
menerima uang untuk check-up sebesar Rp. 1.000.000,00 dari anak
sulungnya yang kaya raya karena ini sudah pertengahan bulan dan
biasanya nenek check-up pada akhir bulan.

Aku bangun dari posisi dudukku dan menghempaskan napas kasar. Tidak jadi aku ikut kumpul bersama teman-temanku, padahal aku sudah berjanji kali ini giliran aku yang teraktir.

"Mau ditaruh dimana muka aku nanti?"

"Nenek pelit banget! Tiap kali aku minta, pasti nenek bilang nggak punya duit!"

Tangannya yang gemetaran memperlihatkanku uang sebanyak Rp.200.000,00 yang kemudian ia sodorkan kepadaku. Kekesalanku yang berlebihan pun berhasil mengontrol pikiranku. Kutepis tangan kurusnya yang membuat dua lembar uang Rp. 100.000,00-an itu melayang di udara dan jatuh dalam sekian nano detik.

Aku melengos pergi dan tidak
memedulikan jeritan nenekku yang berusaha mengambil uang dari lantai
dingin itu sambil memelas

"Dinde tunggu..."

Tak pernah terbayang
sekalipun dalam benakku untuk berbalik arah dan membantunya.

Dua minggu setelah kunjunganku ke rumah nenek, aku menerima kabar dari Bapak kalau nenek sakit dan sekarang dirawat di puskesmas terdekat.

Ajakan demi ajakan dari Ibu maupun Bapak untuk menjenguk nenek tidak
aku hiraukan, sampai akhirnya keadaan nenek semakin memburuk dan ia dirujuk ke rumah sakit umum. Aku akhirnya luluh dan ikut menjenguknya.

Badannya yang semula kurus hanya tulang berlapis kulit itu sekarang
terlihat berisi. Ketika aku menyalaminya ia tengah merintih sakit namun masih sempat memberikanku senyuman walaupun singkat.

Aku kikuk "Haruskah aku membalas senyumanya?" Di dalam genggamannya terdapat kertas berwarna biru yang sudah basah oleh keringat dinginnya.

Ia terlihat berusaha menggapai tanganku, namun gagal karena ia merintih kesakitan, lagi.

Napasku terasa tercekat, sangat sesak di sini melihat nenek untuk pertama kalinya mengeluh kesakitan dengan setetes air mata menuruni pipi keriputnya.

Aku meraih tangannya berusaha
memberikan kehangatan, napasnya memendek dan monitor dengan garis
hijau yang naik turun itu menunjukkan detak jantungnya semakin melemah.

Sedari tadi Ibu dan Bapak sudah membacakan surah yasin selama berulang kali, barulah nenek bisa tenang dan untuk pertama kalinya nenek mengeluarkan suara karena nenek haus dan meminta minum.

Sementara aku, aku terus membisikan kalimat masyahadat di telinga kanannya.

Setelah selesai minum ia meraih tanganku dengan miliknya yang gemetaran itu, ia selipkan uang Rp. 50.000,00 dengan senyuman puas tercetak di wajahnya yang berseri.

Sontak aku kaget karena setelah itu ia membaca kalimat masyahadat, diiringi dengan suara "Bip bip" yang sangat cepat hingga akhirnya, sepi.

Tangisku pecah, cucuran air mata bak air terjun yang deras mengalir
dan membasahi pipiku. Pikiranku berkecamuk, satu kalimat yang memenuhi kepalaku,

"Aku belum meminta pengampunan maaf dari nenek."

Sejak saat itu rasa penyesalan mulai menghantuiku.

Sudah tiga tahun sejak nenek meninggalkan dunia fana, namun terasa seperti kemarin nenek masih tersenyum tulus kepadaku.

Sudah menjadi kebiasaanku tiga tahun belakangan ini untuk mengunjungi makam nenek
pada saat hari raya idul fitri, seperti sekarang.

Memang sulit untuk mengikhlaskan kepergiannya, namun apa daya. Aku harus tetap berusaha,
demi ketenangannya di alam sana.

-------

Ini cerpen tercipta gara-gara ada tugas Bahasa Indonesian yang mengharuskan siswa mengarang cerpen...

Kok mirip ya alurnya sama alur cerita Azab?😂🕷

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 31, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Side DishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang