but our story ends before it even started

1.1K 199 20
                                    

Mark sama sekali tidak paham.

Ia memijit perlahan keningnya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya sibuk mencoret di atas kertas usang yang telah menguning. Sudut-sudut kertas tersebut sudah sobek termakan usia, namun tinta yang pernah tertoreh di sana masih terlihat sangat jelas.

Haechan.

Kata yang sedari tadi Mark coba untuk coret, untuk lupakan, untuk musnahkan.

Tangan kanannya semakin menggila. Ia semakin menekan kuat penanya, semakin cepat menggerakkannya ke kanan dan ke kiri, semakin lugas menorehkan tinta merah. Matanya bergerak-gerak gelisah, mulutnya komat-kamit membisikkan ratusan umpatan.

Atau, untaian doa. Keduanya sama saja. Keduanya sama-sama runtuh ketika suara semanis madu itu bertandang di telinga Mark.

"Kau begitu naif, Mark."

Mark enggan berhenti. Ia tetap menggerakkan pena seperti orang gila. Sampai kertas itu koyak, robek jadi beberapa serpihan yang kemudian melayang diterpa angin.

"Mark,"

Suara itu tetap ada. Mark menangis sejadi-jadinya. Ia menekuk kaki dan memeluknya di atas kursi, menenggelamkan kepala dalam tekukan lengannya. Begitu rapuh dan kecil di hadapan matahari senja yang mengintip dari balik jendela.

Hanya suara isakannya yang memenuhi ruangan, semakin membuat dadanya sesak, mengingatkan bahwa ia sendirian di apartemennya yang luas. Tidak ada orang lain.

"Mark,"

Tiada orang lain.

"Mark Lee,"

Mark mendongak, menatap lurus jendela. Sebuah bayang sedang setengah duduk di pinggiran jendela, jari jemarinya bergerak mengikuti lipatan tirai putih yang terlambai, meliuk-liuk bersama angin. Sementara helai rambut dan rumbai pada bajunya tetap stagnan, seolah angin sama sekali tidak berani menyentuh dan bermain dengannya.

"Mark Lee,"

Ia kembali menyebut nama Mark, seolah nama itu adalah lagu paling indah yang pernah ia dengarkan, dan yang akan selamanya ia senandungkan. Bibirnya tertarik membentuk lengkungan seperti bulan sabit. Ia berputar, kini mengarah pada Mark.

Ia berjalan maju.

Mark kembali menunduk, sama sekali tidak memiliki keberanian untuk menatap ia yang sedikit demi sedikit datang mendekatinya. Mark mencengkeram kedua kakinya, bertahan untuk tidak lagi menangis dengan mengalihkan fokus.

Mungkin, rasa sakit secara fisik akan membangunkannya.

Mark salah, tentu saja. Ia merasakan seseorang memeluknya dari belakang. Tengkuknya geli terpapar ujung halus rambut yang terus bergerak bersama pelukan yang semakin mengerat padanya. Ia merasakan tangannya bersentuhan dengan tangan yang lain, yang bukan miliknya, yang dengan lembut mengelus dan menggenggamnya.

"Ini semua salah," dengus Mark. "Kau juga tahu ini semua salah, Haechan,"

Haechan tertawa kecil.

"Lalu? Apa yang akan kau lakukan, Mark Lee?"

Mark berbalik, melepaskan pelukan Haechan, tapi kembali menarik jemari pemuda tan itu untuk digenggam.

Mata mereka beradu, saling mencari tahu. Mark mengerti, dalam netra sewarna langit malam itu ia telah hilang tertelan waktu semu. Semuanya hanya hidup dalam ilusi yang ia ciptakan.

Awalnya semua baik-baik saja, sampai semesta memustuskan untuk bermain-main dengannya. Sampai suatu hari, Haechan benar-benar berdiri di hadapannya dengan senyum secerah matahari. Kulit tannya terlihat sangat mempesona, membentuk harmoni dengan warna merah bibir dan rona merah muda di pipinya. Saat itu ia mengucapkan selamat pagi, dan suaranya benar-benar sama seperti yang pernah Mark tuliskan. Layaknya madu, meleleh manis di gendang telinga Mark.

Haechan bertingkah seenaknya. Ia mengusir Mark dari tempat tidurnya, ia tiba-tiba duduk di pangkuan Mark dan mengubah saluran televisi, ia merebut sarapan Mark dan ia selalu berceloteh panjang perihal gaya hidup Mark. Ia akan mengajak Mark berperang bantal atau maraton film setiap malam, dan ia tidak akan pernah berhenti mengomel tentang betapa membosankannya seorang Mark Lee.

Haechan bertingkah seenaknya. Ia membawakan selimut tebal ketika Mark sudah terlelap di atas sofa, ia dengan mengejutkannya selalu duduk tenang menikmati televisi dan membagi cemilannya, ia mengganti sarapan Mark dengan sesuatu yang ia masak dan tentunya jauh lebih sehat dari sereal cepat saji yang selalu Mark makan dan ia selalu memastikan Mark memakan makanan sehat serta mandi dua kali sehari. Ia akan menyenandungkan lagu ketika Mark tidak bisa tidur, ia selalu terjaga setiap kali Mark mengalami mimpi buruk.

"Kau tidak nyata, Haechan. Kau hanya karakter dari novel yang akan segera aku rampungkan,"

Haechan tersenyum miring. Ia menangkup wajah Mark dan mengecupnya. Sekali, di kening.

"Dan kau, Mark, telah menolak untuk menulis kalimat terakhir dari novelmu selama lebih dari satu minggu,"

Dua kali, di masing-masing kelopak mata.

"Kau jatuh cinta pada imaji karakter yang kau ciptakan,"

Sekali lagi, di bibir.

"Dan kau tidak mau melepaskannya. Kau tidak mau mengakhirinya, tapi kau harus,"

Mark kembali menangis. Ia menarik Haechan dalam pelukan, menumpahkan serpihan asa yang membasahi bahunya.

"Semua kisah memiliki akhir. Tak terkecuali kisahku, Mark,"

Mark dapat merasakan Haechan tersenyum dari sudut-sudut frasa yang ia lontarkan.

"Sekarang, kau harus menulis adegan terakhirku, Mark,"

Haechan melepas paksa pelukan Mark dan menuntun jemari letih Mark menuju laptopnya yang bertengger di sudut meja. Ia membersamai setiap gerakan jari Mark yang menari-nari di atas keyboard, menetapkan akhir bagi Haechan yang selama ini hanya mengendap di pikirannya.

Haechan berbalik. Ia menatap kereta yang melaju menjauhinya dan mengucapkan selamat tinggal.

Ketika Mark menekan tombol simpan, mataharinya sudah tenggelam.

[✔] not ours, thoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang