Pendekar Sedeng tengah tertidur di atas pohon tumbang. Mulutnya mengulum batang bunga rumput. Sementara Gilang disuruh memijat kakinya. Sudah sejak tadi sampai-sampai tangan mungil bocah itu terasa sakit. Perutnya pun sudah berbunyi. Saat Pendekar Sedeng semakin pulas, Gilang melarikan diri. Ia ingin mengisi perutnya dulu.
Dari kejauhan, dilihatnya pohon pisang dengan tandan penuh pisang matang. Gilang mendekatinya. Bibirnya tersenyum. Pisang itu akan mampu mengganjal perutnya yang keroncongan. Sejak pagi ia belum menelan apa pun. Gilang mengambil belati di balik ikat pinggangnya. Dengan lemparan yang mantap, ujung tajam belati mempu menebas tangkai buah. Kini tandan pisang itu jatuh dan menggelinding tepat di depan kakinya. Mengambil kembali belatinya dan membawa pisang itu ke tempat rindang. Lahap sekali bocah itu makan. Setelah kenyang, barulah ia kembali ke tempat semula. Sayangnya, Pendekar Sedeng tidak ada di tempatnya. Gilang celingak-celinguk mencari keberadaan pemuda itu.
"Masih kecil, tapi sudah berani maling! Juga lari dari tanggung jawab!"
Gilang mencari asal suara itu. Pendekar Sedeng tengah berada di atas cabang pohon. Mata terpejam dan masih mengulum tangkai bunga rumput. Gilang nyengir saja.
"Maaf, Kakang Pendekar. Saya lapar. Saya kira Kakang juga sudah tidur tadi," aku Gilang.
"Tapi aku kan sudah bilang, kau tidak boleh berhenti memijat kakiku sebelum aku suruh! Hup!" Pendekar Sedeng melesat turun tepat di depan bocah itu. "Dan aku juga tidak pernah tidur pagi-pagi. Malu sama ayam! Aku tidak akan mengajarimu kedigjayaan kalau sikapmu saja bukan seperti seorang ksatria!"
Tiba-tiba Gilang menjatuhkan diri di depannya dengan tangan menyembah. "Ampuni saya, Pendekar! Saya memang salah!"
"Kamu harus kuhukum dulu!" ucap Pendekar Sedeng diiringi senyum sinis. Tubuh Gilang gemetar dan meneguk ludahnya.
"Kakang Pendekar! Tolong turunkan saya!!" jerit Gilang setelah Pendekar Sedeng membawanya naik ke atas pohon tinggi dan mendudukkannya ke salah satu cabang.
Pendekar Sedeng tertawa terbahak-bahak melihat wajah Gilang yang ketakutan. "Itu hukuman untuk bocah nakal! Hahaha!"
"Tolong Pendekar, turunkan saya... saya takut! Saya bisa mati...!" rengek Gilang.
Di tempat lain, sebuah kereta kuda melaju membelah jalan tanah. Dibalik rimbunan semak, beberapa pasang mata mengawasi.
"Itu target kita! Aku akan memanggil pendekar itu dan kalian berdua terus awasi!"
Dua pemuda tanggung anak buah Sampara mengangguk. Sampara sendiri melesat pergi. Pendekar Sedeng masih saja terbahak saat Sampara tiba.
"Pendekar! Saya sudah menemukan mangsa! Kita beraksi sekarang!"
"Baik, kau duluan saja! Tapi ingat! Jangan melukai orang-orang itu!"
Agak terkejut Sampara mendengar syarat yang diajukan. Namun ia menyanggupi dan bersiap untuk menyergap sebelum mereka terlalu jauh. Pendekar Sedeng melangkah pergi mengikuti Sampara.
"Pendekar! Turunkan saya! Saya takut!!" isak Gilang.
"Berusahalah untuk turun! Jangan cuma menangis!" balas Pendekar Sedeng.
Sampara beserta dua pemuda tanggung menghadang perjalanan kereta kuda itu.
"Turun dan serahkan barang berharga milikmu kalau ingin selamat!" gertak Sampara.
Seorang pria tua berpakaian bagus yang ada di dalam kereta berbisik pada putrinya. "Sembunyi di dalam kereta, kalau keadaan tidak memungkinkan, lari sejauh-jauhnya!"
"Tapi Bopo, kita akan pulang ke Wonokambang bersama-sama," rengek gadis berusia dua puluh warsa itu.
"Kalau Hyang Widhi merestui, bopo pasti akan selamat. Ingat kata-kata bopo tadi." Ki Larapati beranjak keluar kereta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Berdarah
Historische fictie...Tak lama terdengar suara seraknya menyanyikan tembang macapat Pangkur. Mangkono ilmu kang nyata... Sanyatane mung we reseping ati... Bungah ingaran cubluk... Sukeng tyas yen den ina... Nora kaya si punggung amung gumunggung... Ugungan sadina dina...