Rama tidak pernah menyangka bahwa kalimat itu akan diucap oleh Dara dalam satu tarikan napas, Rama juga tidak pernah mengira bahwa Dara dengan mudahnya mengatakan hal yang bahkan terlalu berat ia terima.
"Aku perlu alasan." Setelah terdiam cukup lama, Rama bersuara.
Dara palingkan muka dan menjawab, "tidak ada, aku hanya bosan." Hanya itu alasan yang benar-benar bisa dia utarakan. Karena tidak mungkin rasanya Dara berkata jujur bahwa ia menyukai Sena, Dara tidak ingin Rama terlalu sakit hati.
"Bosan?" tanya Rama, lalu terkekeh sumbang. "Hanya bosan?"
Dara mengangguk pelan, dengan mata menatap apa saja selain manik milik Rama.
"Aku nggak mau putus, Ra," tolak Rama. Suaranya terdengar begitu berat. "Kalau hanya berhenti sementara, mungkin aku masih bisa terima. Aku nggak mau kehilangan kamu untuk kedua kalinya."
Tidak tega dengan kesedihan yang nampak di wajah Rama, Dara menggenggam tangan lelaki itu. "Rama, dari awal aku kenal kamu sejak di sekolah menengah pertama, aku yakin kamu itu laki-laki baik. Kamu sudah sukses, kamu bahagia, jadi kamu bisa mendapat seseorang yang lebih baik, yang lebih berharga. Aku-"
"Kalau kamu berkata hanya untuk meyakinkanku, lebih baik tidak perlu."
Dara tidak berkata-kata lagi. Terdiam menatap Rama yang saat ini sedang kacau-kacaunya.
"Aku hanya ingin kamu." Suaranya bahkan terdengar parau.
Tak kuasa melihatnya seperti ini, Dara memeluk Rama dan menepuk pundaknya. "Aku tidak pergi kemana-mana. Aku di sini, kapanpun kamu mau. Kita masih bisa menjalin hubungan sebagai teman."
"Ra-"
"Setelah ini, aku akan berusaha agar jadi teman yang baik untukmu. Aku janji, benar-benar janji."
Benturan antara cangkir dan piring kecil berbunyi pelan. Selesai Dara bercerita, selesai pula Dinda menghabiskan kopi miliknya. Usai memutuskan hubungannya dengan Rama di halte, Dara pergi ke kafe Senandika untuk menceritakan semuanya kepada Dinda.
Dinda masih tidak menyangka bahwa cinta yang dianggapnya sejati ternyata hanya sampai di sini. Ia pikir Dara akan selalu menyukai Rama, tapi dugaannya ternyata salah.
Rasa bisa berubah, selama jarum jam masih terus berpindah arah.
"Sayang sekali, Ra." Setelah cukup lama menjadi pendengar, akhirnya Dinda bersuara. "Ya tapi mau bagaimana lagi, rasa enggak bisa dipaksa," lanjutnya.
Dara menghela napas. "Menurut kamu, aku benar?"
"Benar saja, karena kamu sudah berani mengambil keputusan meski mendadak."
"Salah nggak, kalau aku kasih alasan bosan?"
"Enggak juga, karena kalau kamu kasih alasan karena menyukai lain orang, Rama pasti akan lebih sedih," ungkap Dinda yang benar adanya. "Lalu sekarang bagaimana? Tegar bilang Bara sudah pergi ke Jakarta." Dia bertanya seperti ini karena Dara sudah menceritakan semua, termasuk setiap hal yang pernah ia lalui bersama Sena.
"Enggak tau," Dara menatap ke luar jendela, lalu berpaling pada Dinda. "Tapi nggak apa. Ini salahku karena sudah mengabaikan Sena selama ini."
"Ibaratnya mengabaikan yang terbaik demi apa yang menurutmu baik."
"Benar." Dara tertawa sekilas, tidak sampai ke mata dan sangat kentara bahwa itu hanya pura-pura. "Entah kata apa yang tepat jika Sena ada di sini."
"Katakan saja aku menyayangimu."
Seketika tubuh Dara merasa kaku. Jelas bahwa itu bukan suara Dinda, jelas pula bahwa itu bukan suara Tegar, karena lelaki itu tengah meracik kopi dengan lihai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Semesta untuk Dara [TAMAT]
Novela JuvenilSemesta punya beribu cara agar mampu mengembalikan tawa Dara yang telah lama sirna. Dan salah satu diantara seribu, ada satu yang tak pernah sia-sia, yakni dengan mengirim salah satu manusia bernama Sena. ©2019 dorafatunisa