23 - Pasrah

7.1K 372 6
                                    

"Bagian yang saat itu aku lupakan saat memutuskan berdamai dengannya adalah
bagian kemungkinan
dikecewakan lagi
dan lagi"

--------------------------------

-SRI-

Aku mengusap wajahku kebas beberapa kali. Pagi ini Mas Rahman membuatku kesal tak terkira. Bagaimana mungkin dia membatalkan seenaknya janji mengantar Hasna tes. Aku tahu, Hasna memang tetap bisa pergi tanpa Mas Rahman sekalipun, tapi dia butuh dorongan semangat dari ayahnya itu. Karena terkadang manusia butuh dikuatkan dibeberapa kondisi, sekalipun kita tahu mereka tak terlihat lemah.

"Loh, kok Bunda yang nyetir" celetuk Hasna saat memasuki mobil, kemudian duduk di kursi sebelahku.

Aku memejamkan mata sebentar, menarik napas perlahan, kemudian menatap sulungku itu lekat-lekat. "Ayah tiba-tiba ada acara. Kakak gak papa kan, kalau cuma diantar sama Bunda?" Tanyaku sedikit hati-hati.

Ada raut kecewa tergambar jelas diwajah sulung ku itu.

"Kok gitu sih, Bund. Ayah kan udah janji sama Hasna" rengeknya.

"Kakak kan tetap bisa pergi meski tanpa Ayah" bujukku.

Hasna mendengus sebal. "Jangan bilang Ayah bela-belain batalin janji sama Hasna gara-gara perempuan itu lagi!" Umpatnya kesal.

Tersebab telinga ku menangkap dengan jelas semua umpatannya, aku tak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku kaget juga, bagaimana jika perkataan Hasna barusan benar adanya. Bagaimana mungkin aku melupakan perempuan itu hari ini. Mas Rahman mengatakan bahwa ia memang sudah berhenti menghubunginya, tapi bukankah banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Aku jadi sibuk dengan pikiranku sendiri, sampai akhirnya Hasna membuyarkan lamunanku.

"Kita jadi pergi kan, Bund?" Tanyanya memastikan.

Aku beristigfar pelan. Pikiran mengganggu itu membuatku hampir lupa untuk segera bergegas pagi ini.

"Jadi sayang. Insyaallah"

"Bunda yakin bisa nyetir sendiri? Kalau nggak bisa, jangan maksain. Hasna gak mau gagal ikut tes gara-gara kecelakaan. Kita minta disupirin Mang Parman aja ya!" Pintanya sambil membuka kembali pintu mobil, padahal aku belum mengiyakan sama sekali. Mang Parman memang supir pribadi keluarga kami selama dua tahun terkahir ini.

Dan akhirnya pagi ini aku berangkat mengantar Hasna pergi tanpa Mas Rahman, dengan hati dan pikiran yang sama kacaunya mengingat-ngingat umpatan kesal Hasna tadi. Bagaimana jika semuanya benar? Bodoh sekali!! Kenapa betapa mudahnya aku mempercayai lelaki itu? Rutukku dalam hati.
***

Alhamdulillah alaa kulli hal.

Rahman pinter banget ya bikin Sri galau-,
Kira-kira galaunya bakal lama atau nggak? Pantengin aja terosss!

Terima kasih untuk semua pihak yang telah menyempatkan membaca cerita sederhana ini. Terima kasih untuk waktu juga kuotanya😊

I miss you:-)

Mimilel

MaafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang