Tiga

99 6 0
                                    

Solo, 2018

Aku menggerutu sebal ketika mendapati ban sepedaku kempis, aku tidak bisa pulang segera jika keadaannya seperti ini. Kuarahkan pandanganku kelangit yang mulai gelap, hari ini hujan akan turun —gumamku. Sialnya, aku tidak menerima tawaran Mela untuk pulang bersama. Semesta, tolong untuk kali ini kirimkan seseorang yang bisa membawaku pulang segera.

"Lana!" Aku tersentak mendapati seorang laki-laki yang sudah berada di depanku dan mengikuti arah pandang ku ke langit dengan heran, "kamu ngapain liat langit segitunya?"

Aku masih terdiam dan memikirkan cara lain supaya bisa pulang sebelum hujan,"bukan urusan kamu."

"Aah...ban sepeda kamu kempis, mau aku bantu ke bengkel? Atau mau aku antar pulang saja?"tanya orang itu yang baru kusadari adalah anak baru di kelasku—Fatih.

"Nggak usah aku bisa sendiri," ucapku kemudian menuntun sepedaku keluar area parkir sekolah dan mencari bengkel segera.

Sekilas ku lirik dia juga menuntun sepedanya dan mensejajarkan langkahnya disampingku, "aku nggak repot kok...lagian nanti kita satu arah pulangnya."

Aku berfikir sejenak, bagaimana dia bisa berkata bahwa arah rumahku dan dia searah? Aku saja baru bertemu dengannya kemarin lusa. Lagian aku yang bakalan repot karena di buntuti orang asing. Astaga, semesta kenapa kau kirim orang ini untukku?

"Aku sudah dua minggu pindah di komplek yang sama denganmu, aku sering liat kamu jogging saat pagi buta. Aku juga sering liat kamu jalan melewati rumahku menuju toko buku di komplek rumah..." Ucapnya seperti bisa membaca pikiranku.

"Aku tidak peduli."
"Dengan kau menjawab ucapan ku saja sudah membuktikan kau itu peduli..." Aku terdiam, entah harus kuapakan orang ini supaya tidak mengikutiku. Sungguh, aku sangat tidak suka orang ini. Semesta, ayolah berkawan denganku.

Butiran bening jatuh sedikit demi sedikit di langit yang sudah gelap. Sudah kupastikan akan datang hujan hari ini dan itu benar. Butiran yang jarang kini menjadi guyuran air yang tumpah dari bah. Dengan segera aku—juga dia tentunya—mencari tempat berteduh di pinggir jalan. Seragamku sudah basah sebagian dan lagi-lagi aku lupa membawa jas hujan.

"Huh, kenapa secepat ini sih..." Gumamku gelisah memperhatikan jalan yang dipenuhi guyuran air dari langit.

"Kamu gendut ya ternyata..." Ucapnya spontan yang membuatku menatapnya langsung.

"Apa maksudmu? Berat badanku hanya 50 Kg dan ideal dengan tinggi badanku yang 165 cm," sanggahku tidak terima. Kenapa orang baru ini membuatku sangat sebal dalam waktu yang singkat? Apakah orang ini yang telah kau kirim hujan? Orang yang membuatku berapi-api dalam dinginnya hawa yang kau bawa?

Kalihkan pandanganku menuju langit yang sudah sedikit cerah, ya hanya sedikit karena hujan masih sangat lebat. Kulirik Lelaki itu mengambil sebuah lipatan kain tebal dari tas besarnya dan memberikannya kepadaku, "pakai! Tubuhmu akan pas dengan ini. Aku sudah mencari desain jaket untuk berat badan 50 kg juga tinggi 165cm tanpa terlihat pendek."

Aku hanya melihatnya sekilas kemudian mengecek buku di dalam tas yang kuletakkan di keranjang sepeda. Ku akui dia hebat, memancingku untuk berbicara tanpa mengeluarkan banyak tenaga. Aku menghela nafas lega-bersyukur tidak ada satupun buku yang basah karena hujan. Aku tak mempedulikan dia yang sudah memakai jaketnya—berbeda dengan jaket yang ia berikan kepadaku.

"Ah dasar cewek, terlalu tinggi gengsinya sampai rela kedinginan karena hujan..." Gumamnya yang masih bisa kudengar. Aku hanya diam dengan memeluk tubuhku sendiri yang mulai kedinginan.

"Pakailah, tidak ada jamurnya kok...baru tiga hari yang lalu ku beli,"ucapnya sambil memberikan aku lipatan jaket berwarna navy.

Seketika dadaku sesak, terlintas bayangan seseorang yang mengenakan jaket yang sama. Senyumnya, binar matanya, juga setangkai bunga matahari. Mataku memanas, terlihat genangan air mata yang menumpuk. Aku menarik nafas dalam, meyakinkan diri bahwa itu hanyalah cerita lama. Aku menggelengkan kepalaku cepat, terlihat hujan mulai sedikit mereda-meninggalkan gemericik tetesan air kecil yang jatuh ke bumi. Dengan segera, aku tuntun lagi sepedaku menyusuri jalan kota yang terdapat genangan air di setiap sudutnya.

Terlihat Fatih tergesa-gesa memasukkan kembali jaket yang sebelumnya diberikan kepadaku. Ia menyusulku dengan menuntun sepedanya. Aku heran, ia bisa menaiki sepedanya untuk menyusulku kenapa malah menuntunnya?

"Aduh, Lana...kok tiba-tiba kabur sih," ujarnya sambil ngos-ngosan setelah sejajar dengan langkahku.

Aku mengedarkan pandangan ku ke warung-warung pinggir jalan, berharap ada bengkel service sepeda atau tambal ban yang dapat memperbaiki sepedaku. Aku juga berharap orang itu segera pulang.

"Disana! Ayo Lana cepat!" Sahutnya tiba-tiba yang membuatku terkejut. Aku melihatnya berjalan menuntun sepedanya mendahuluiku, ia menghampiri salah satu bengkel yang terdapat banyak ban di depannya.

Bingo!

Ia menemukan tempat tambal ban yang masih buka dan tentunya sangat sepi dari pengunjung. Tanpa kusadari wajahku berseri-semangat menghampiri bengkel tersebut-dengan harapan bahwa sepedaku akan segera diperbaiki.

"Hah akhirnya, pak tolong bantu teman saya ya pak. Ban nya kempis," ucapnya pada tukang tambal ban yang sudah siap di bengkel tersebut.

Aku menghela nafasku panjang, lega bisa pulang tanpa menuntun sepeda. Bagaimana tidak senang meskipun jarak rumahku ke sekolah tidak jauh, setidaknya aku tidak harus berjalan beriringan dengan orang itu.

Haahhhh leganya....

"Kamu kalau senyum ternyata tambah cantik ya," ucap Fatih yang tidak kusadari memandangiku.

Seketika kuubah wajahku menjadi datar kembali, "basi."

"Hahaha...aku tau," ia tertawa hingga terbentuk bulan sabit di matanya, "meskipun galak begitu, kamu masih cantik."

Aku mendengus sebal dan memilih memperhatikan jalanan dengan rinai kecil hujan yang berjatuhan. Aku masih mengingat betul bagaimana jaket itu membuatku kembali pada bayangan masa lalu. Sangat sesak, hingga sekarang aku masih tidak menemukannya. Tanpa kabar, tanpa surat dan tanpa adanya cerita. Sudah tiga tahun lamanya.

Juna apakah semesta masih mengizinkanku bertemu dengamu?

***

Ku kayuh sepedaku dengan kecepatan normal, menikmati udara segar setelah turunnya hujan. Sama halnya dengan Fatih yang masih mengikutiku dari belakang karena memang rumah kami searah. Ia mensejajarkan diri denganku setelah sampai di gang komplek yang tidak ramai dengan kendaraan, kemudian melemparkan kantong plastik yang berisi jaket yang sebelumnya ia berikan padaku ke keranjang sepedaku yang kosong.

"Simpan saja itu dulu, tidak kau pakai tak apa yang penting Bebanku berkurang..." Ucapnya.

Aku menghentikan sepedaku—hendak membuka mulutku untuk protes—Fatih memotong dengan cepat, "ah tidak ada kata tapi, kau akan menyesal jika tidak menerimanya. Rumahku sudah dekat, maaf ya Alana aku duluan. Sampai jumpa besok!"

Aku melihatnya dengan tatapan sebal, ia kembali mengayuh sepedanya dengan santai di persimpangan komplek. Terlihat tubuhnya berbalut jaket hitam menghilang di persimpangan jalan. Aku tidak bisa mengelak, aku berterimakasih padanya karena telah membantuku memperbaiki ban sepeda—meskipun bukan dia yang melakukannya—dengan mencarikan bengkel sepeda, itu sangatlah membantuku.

Semesta, aku tak menyalahkanmu dan menjadikanmu penyebab akan hilang juga perginya Juna. Sekarang aku paham, tak selamanya langit akan cerah.
Kadang kala harus ada mendung untuk menurunkan hujan. Dan saat hujan itu reda terpancar pelangi dengan warna indahnya.

Semesta, apakah ini rencanamu?
Menyembunyikan Juna supaya aku kembali menjadi Lana yang dulu?

TBC :)

Aku [ H I A T U S ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang