Empat Belas

1.4K 188 5
                                    

Tuh, kan! Tuh, kan! TUH, KAAAAAAN! Miranda merasa menitis jadi kambing congek! Tega-teganya sahabat-baik-selamanya-dunia-akhirat memilih James daripada sahabat-baik-yang-sebaik-Putri-Salju! Padahal di kantor dulu Miranda tidak pelit apalagi kikir. No, ya. Kurang baik apa coba Miranda ke Nayla? Rajin traktir cilok, basreng, batagor, kue, camilan. Hitung juga waktu cuma Miranda yang bersedia mendengarkan curhatan Nayla soal Toni, Toni, Toni (yang omong-omong pengin Miranda gebuk pakai terompah). Oke, Miranda menyuarakan: “Why, oh why?

Tetapi, jawaban yang didapatnya ialah, “Nda, ini Nayla. Temanmu yang gesrek-nya nggak ketolongan.”

Well. Well. Well. CUKUP SUDAH!

Miranda tidak ingin duduk seruangan bersama James. Miranda tidak ingin ketawa ha, hi, dan hu padahal lelucon Nayla garing mendekati melempem. Duh! Enggak enak banget! Akan tetapi, si James entah-ada-masalah-apa-dengan-syarafnya malah tertawa menanggapi celoteh Nayla. Itu belum seberapa, ya. Beluuuum seberapa! Nayla (Miranda curiga James memiliki jin dan demit) tanpa malu mengudap kue (tentu saja itu bukan kue yang tadi dibawa Nayla, ya) yang disajikan. Lucunya, Nayla juga mengembat kue milik Miranda.

Ya Tuhan, ada apa dengan Nayla!

“Nggak masalah nih kamu nerima tamu?”

No problem. Asal tolong jangan disebar ke sosial media,” James menjawab pertanyaan Nayla. “Lagi pula, aku yakin kalian nggak sejahat itu.”

Huhuhuhu kata siapa? Miranda tengah mempertimbangkan pilihan itu. Secara, dia bisa menggusur James dan menikmati udara bersih tanpa polusi. Yes! Rasakan pembalasanku! Miranda takkan ragu menonton reaksi James saat rumahnya nanti digedor puluhan bahkan bejibun wanita. Syalala, indahnya pembalasan.

“Kenapa pindah?” Nayla kembali mencomot kue dan tidak peduli pelototan ratu demit aka Miranda. “Kan, sayang banget apartemennya. Eh, jangan mikir aku nguntit atau gimana, ya. Soalnya aku pernah baca kamu tinggalnya di apartemen yang lumayan W, O, dan W.”

“Wah, apa ini keperluan wawancara?”

Bodo amat! Miranda ingin meraung macam singa dan menerkam James. Ingat, ya. Me-ner-kam-nya! Ulalala, terkam main terkam. Miranda, entah kenapa, jadi tergoda mengigit. Mungkin dia bisa mencoba icip-icip sedikit. Bagaimana kalau leher? Seperti vampir seksi kemudian mengisap darah James sampai kering kerontang. Not bad. Miranda mungkin doyan.

Sadar, Miranda. Semua lelaki metroseksi biasanya cuma model pakai semalam. Jangan mau, Nda. Kamu berhak dapat yang lebih terjaga kualitasnya.

Benar juga, jawab Miranda kepada logika. Tapi, nyoba semalam, kan, nggak ada salahnya.

Jangan, Nda. Kamu, kan, nggak tahu jahatnya manusia.

Seketika Miranda teringat mama tiri dan Morgan. Oke, setuju.

“Nda....”

Miranda berkedip, menatap dua pasang mata yang seolah menunggu dirinya memberikan titah. Wahai rakyatku, apa yang kalian inginkan? “Ya?”

“Kamu dari tadi nggak ndengerin?”

Tanpa ragu Miranda menjawab:

“Emang.”

***

Malamnya Miranda kedatangan tamu. Padahal dia merencanakan malam tanpa gangguan siapa pun. Sendirian. Di ranjang (jangan lupa cari posisi yang pewe). Novel kesayangan. Segelas susu cokelat hanyat. Ternyata, oh ternyata. Rencana tinggal rencana. Morgan datang tanpa diundang, diinginkan, apalagi dipersilakan. Miranda bahkan berencana melempar novel yang paling tebal ke kepala Morgan, namun diurungkan karena sayang entar kertasnya lecet.

“Mira, kok kamu begitu?”

“Hmm.” Miranda pura-pura tertarik iklan yang sedang tayang di televisi. (Omong-omong mereka berdua sedang ada di ruang santai. Masa iya Miranda nyuruh Morgan di luar? Bisa-bisa Miranda dimarahi tetangga karena mencampakkan cowok keren mentereng. Ya sudah, Miranda cuek membiarkan Morgan duduk di ruang tamu, sendirian! Yeiy! Ternyata tidak mempan. Morgan ngotot mengikuti Miranda ke ruang santai.)

“Oke. Kapan kamu pulang ke rumah?”

“Males,” Miranda merespons, se, lo, pakai ow.

“Papa dan Mama nungguin kamu.”

Hoho, mana mungkin? “Tetap enggak mau.”

“Ayolah, Mira. Sampai kapan?”

Miranda menghela napas. Sudah saatnya dia menumpahkan racun yang selama ini dipendamnya. “Aku nggak mau dianggap sebagai anak haram,” katanya, matanya kini menatap Morgan. “Bukan aku yang minta dilegalkan, ya. Ibuku enggak pernah satu kali pun minta menjadi bagian dari keluargamu.”

“Mira, aku nggak pernah mikir kamu dan ibumu seperti itu,” Morgan mencoba membela diri.

“Terlambat.” Miranda tersenyum, pahit. “Cukup sekali kamu berbohong dan aku nggak mau percaya lagi.”

***

Teman-teman, maaf sedikit banget babnya. Hehehe, padahal lama nungguin, #Plak. Pokoknya saya ucapkan terima kasih dan tolong doakan saya nggak mager ngerjainnya. Huhuhu. Kehidupan nyata menyita energi dan semangatku. #Halah. Sepertinya saya butuh minum Enervon** biar kuat kaya Hercules. Wkwkwkwkwkwk.

Next, mungkin saya usahakan nggak sependek ini.

Salam hangat,

G.C

With You... (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang