“Apa kabarnya hari ini?” gema suara mikrofon yang memekakkan telinga terdengar di Aula SMA N 70 Jakarta.
“Baik, luar biasa!” jawab para siswa baru itu dengan serempak.
“Kurang keras suaranya. Bila perlu, buat kaca jendelanya pecah,” tukas seorang siswi senior panitia OSIS dengan raut wajah yang dibuat semanis mungkin.
Mengabaikan suara gaduh yang memenuhi aula, Seycil memperbaiki posisi duduknya tuk bersandar menghilangkan penatnya mengikuti kegiatan orientasi siswa. Merasa bosan jika hanya mendengarkan si panitia bicara, gadis berbadan mungil itu merogoh tas punggung untuk mengambil sebuah novel yang baru beberapa hari dibelinya. Atensi pada kegiatan membacanya terganggu karena seorang gadis yang duduk di sebelah kirinya mengulurkan tangan bermaksud untuk berkenalan.
“Halo, gue Naura Camelia. Nama lo siapa?”
Merasa tak mungkin mengabaikannya, Seycil hanya menjawab singkat tanpa membalas uluran tangan gadis itu, “Salam kenal.”
Kemudian melanjutkan kegiatan membaca yang tertunda tanpa melihat ekspresi gadis lawan bicaranya.Yang diabaikan tak kesal dengan sikapnya yang tidak mengacuhkan. Justru Naura berpikir kalau mungkin saja gadis yang ia ajak berkenalan sedang merasa lelah. Tak kehabisan akal, Naura mencondongkan tubuhnya ke arah Seycil guna mengintip buku apa yang dibaca oleh gadis itu.
“Baca buku apa, sih? Kok gue diabaikan?” Ujar Naura yang berhasil menarik kembali perhatian Seycil dari bukunya. Tatapan dingin dan datar yang dilayangkan Seycil membuatnya tersenyum kikuk.
“Nggak mau kasih tau nama lo, nih?”
“Panggil aja Sey,” balas Seycil tanpa memandang Naura.
“Sey? Cuma Sey? Kalau gitu, nama lengkap lo?”
Pertanyaan yang tiada habisnya membuat Seycil mengalihkan netranya menatap Naura, “Cerewet banget, sih. Oke, nama gue Seycil Jeannerish. Udah? Mau tanya apa lagi?”
Belum sempat Naura menjawab, seorang senior yang berjaga di barisan bangku siswi junior menegur mereka.
“Dengarkan Kakaknya yang bicara di depan. Kalau orang lagi ngomong itu hargai.”“Iya,” jawab Seycil acuh tak acuh.
•••
“Aelah, cuma mau makan aja pake disuruh baris kayak gini. Ribet amat, sih.”
“Iya, nih. Mana panas juga.”
“Udah keburu haus, nih.”
Terdengar beberapa siswi mengeluh dan menggerutu saat berbaris di lapangan. Cuaca yang terik membuat mereka tak bisa diam. Hingga akhirnya semua barisan digiring rapi menuju kelas untuk menyantap makan siang.
“Hei, Sey! Ketemu lagi.”
Naura tampak gembira karena ia satu meja dengan Seycil. Ia bertekad akan terus bicara hingga Seycil memperhatikan dan mendengarkannya penuh minat.
“Buruan makan, Sey. Waktunya nggak lama, lho! Kita enggak dibolehin makan cantik sama Kakak senior,” ujar Naura dengan mulut penuh makanan.
“Gue nggak makan, deh. Lo aja yang habisin makanannya,” balas Seycil seraya memandang jijik siswi lain yang makan dengan cepat sampai mulutnya penuh makanan seperti Naura.
“Lo yakin? Tapi nanti—”
“Udah, nggak usah bawel. Gue minum aja cukup.”
Jika bukan karena waktu, Naura pasti akan selalu menimpali setiap ucapan Seycil. Ia tak bisa untuk tidak menghabiskan makanan. Sembari makan, Naura memperhatikan gerak-gerik Seycil. Ia bisa sedikit menyimpulkan, bahwa Seycil adalah gadis baik tapi bersikap dingin yang kemungkinan sangat pintar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twilight
Teen FictionBagaimana jadinya jika seorang gadis cantik dengan sisi baik lainnya menutup diri dari dunia luar? Itulah yang dilakukan oleh Seycil Jeannerish. Seorang gadis yang dianggap cantik, berasal dari keluarga kaya, pintar, dan kata kesempurnaan lain yang...