Silent Talk

1K 169 35
                                    

"Maaf, ya. Kau sudah jauh-jauh datang ke sini."

Suara Daniel di telepon benar-benar terdengar lemas dan tanpa sadar bibir Jihoon melengkung sedih mendengarnya, "Tidak apa-apa, aku yang mau datang. Lagipula tidak sejauh itu."

"Seharusnya aku bilang dari awal kalau aku belum bisa dijenguk."

"Tidak apa-apa."

"Aku tidak mau menularimu."

"Iya, aku tahu. Tidak apa-apa."

"Maaaaf."

"Hng."

"Seharusnya aku—"

"Iya, Hyung. Tidak apa-apa, astaga. Bersyukurlah kau masih sakit jadi aku tidak bisa kesal padamu."

Daniel langsung bungkam di seberang sana, "Padahal aku juga mau bertemu." katanya lagi setelah beberapa saat, suaranya semakin kecil saja.

"Kalau begitu cepatlah sembuh. Jangan mengeluarkan banyak alasan untuk tidak minum obat."

"Tapi obatnya tidak enak."

"Apa kau ini anak kecil??"

"Uhuk, uhuk. Jangan marah, aku sedang sakit."

Jihoon langsung melunak lagi, "Hhh... baiklah, aku tidak marah. Kenapa kau terdengar memprihatinkan sekali?"

Untuk beberapa saat setelahnya, Daniel hanya mendengung tidak nyaman dan Jihoon mendengarkan dalam diam. Sampai Jihoon sadar ia harus segera pergi karena ada keperluan lain. Setelah memberitahu Daniel tentang rencananya, ia pamit, menyuruh Daniel beristirahat saja, dan menutup teleponnya.

"Bi, aku harus pergi sekarang. Terima kasih untuk minumannya." pamit Jihoon pada asisten rumah tangga Daniel yang balik mengucapkan terima kasih padanya karena sudah datang, juga menyampaikan maaf karena ia tidak bisa mengizinkan Jihoon menemui Daniel.

Wanita yang rambutnya mulai memutih itu mengantar Jihoon sampai ke depan pintu masuk, memperhatikan Jihoon yang mulai melangkah menuju halaman depan dimana mobilnya terparkir, lantas menutup pintu itu dari dalam.

Jihoon sudah membuka pintu mobil dan akan masuk, ketika ia mendengar desisan nyaring dari sekitarnya, "Jihoon-ah!"

Separuh terkejut dan separuh penasaran, Jihoon menoleh ke kanan dan kiri, tapi tidak ada siapapun yang tertangkap pandangannya. Lalu ia berinisiatif melihat ke atas, barulah saat itu matanya membulat seketika.

Halaman depan rumah keluarga Kang sangat luas, cukup luas untuk memarkir 5-6 mobil. Salah satu ujungnya sejajar dengan kamar Daniel di lantai 2, dan di situlah Jihoon berdiri saat ini, sehingga ia bisa melihat Daniel—entah sejak kapan—sedang bersandar di pagar balkonnya, tampak pucat dan lemas.

"Astaga, hyung." gumam Jihoon separuh khawatir, "Apa yang kaulakukan di sana? Kenapa keluar?" lanjutnya dengan gerakan bibir yang berusaha dibuat sangat jelas.

"Melihatmu sebentar." balas Daniel dengan berbisik juga, dan Jihoon tidak berpikir dua kali untuk batal masuk ke mobil.

Ia bersandar di badan mobil, senyumnya terkembang perlahan dan dalam hati Jihoon bersyukur karena matahari sudah condong ke sisi barat sehingga matanya bisa melihat Daniel tanpa merasa silau.

Jihoon membayangkan tangannya menyentuh pipi Daniel yang hangat dan pucat, lalu mengusap sayang puncak kepalanya sambil membisikkan 'cepat sembuh'.

Seakan ikut melihat isi kepalanya, Daniel tersenyum dan menaruh dagunya di atas lipatan tangannya sendiri yang bertumpu pada pagar balkon.

"Kalau sudah melihatku, mau apa?" tanya Jihoon tanpa suara lagi.

"Tidak mau apa-apa. Hanya melihatmu saja sudah membuatku senang."

Jihoon tersenyum lebih lebar dan siapapun bisa melihat kilau yang menyenangkan di mata beningnya—kilau yang selalu hadir setiap kau menatap sosok pujaan yang benar-benar penting dalam hidupmu.

"Itu harusnya kata-kataku." balas Jihoon, tidak lebih keras dari sebelumnya, "Masuklah, Hyung. Sudah mulai dingin."

Daniel tampak kebingungan dan tidak menangkap maksudnya, maka Jihoon mengulang ucapannya dengan menambahkan bahasa tubuh sampai Daniel mengerti dan menjawab dengan gelengan pelan.

"Masih mau melihatmu."

"Tapi leherku pegal."

Pria Kang itu tertawa, masih tanpa suara. Jika dilihat dalam radius lebih dari 5 meter, mereka benar-benar tampak seperti dua tokoh yang sedang berdialog dalam film bisu. Tapi dari pemandangan itu saja bisa terlihat betapa mereka bahagia karena satu sama lain.

Jihoon ikut tertawa tapi kemudian melambaikan satu tangannya, "Aku pulang, ya."

Daniel cemberut, tapi pada akhirnya ia tetap membalas lambaian tangan Jihoon dengan berat hati, "Sampai jumpa lagi." bibirnya benar-benar melengkung ke bawah dan Jihoon ingin mengantongi bayi besar itu saja rasanya.

Jihoon menghela napas dan baru merasakan gravitasi yang lebih besar pada titik di bawah kakinya, "Sampai jumpa secepatnya." bisiknya sambil melambaikan tangan lagi, tapi tidak bergerak dari sana.

Daniel juga masih di tempatnya, membiarkan angin sore yang sejuk dan ringan menerpa wajahnya lembut.

"Hyung-ah, aku menyayangimu."

Jihoon hanya menggerakkan bibirnya, sama sekali tidak bersuara, tapi kalimat itu seakan diterbangkan oleh angin dan mampir dengan khidmat di telinga Daniel, lantas menelusup menghangatkan hatinya.

Pria yang lebih tua tidak mau kalah, "Aku lebih menyayangimu." balasnya kekanakan.

Jihoon membuat corong di depan mulutnya seakan hendak berteriak. 'Corong' itu sengaja dibuat berbentuk hati dan meski tidak terlalu jelas, Daniel bisa melihat bibir merah muda Jihoon mengucapkan, "Aku lebih lebih lebih menyayangimu."

Kalau dalam keadaan normal, pasti Daniel sudah meluncur ke tanah dan berguling-guling senang sekaligus gemas. Tapi sekarang ia sedang tidak punya tenaga, sehingga kegemasan itu mengendap, menjadi kristal, dan memancang kakinya di sana.

"Jangan sakit lagi, Hyung. Aku merindukanmu."

Aduh, aduh, bisa gila.

"Aku akan benar-benar pulang. Masuklah."

"Aku juga merindukanmu." Daniel malah menyahut perkataan Jihoon sebelumnya. Pokoknya, mau sinkron atau tidak, ungkapan rindunya harus sampai pada Jihoon, tidak ada tapi.

"Aku pulang." kata Jihoon entah untuk yang keberapa kali. Meski begitu, kakinya tetap tidak bergerak.

"Aku mau melihatmu pergi." balas Daniel yang mendadak dan entah kenapa tampak lebih pucat dari sebelumnya.

Sadar pria itu akan semakin lama di luar jika tidak ada yang mengalah, akhirnya Jihoon menghela napas perlahan dan mengangguk pasrah. Sambil membuka pintu mobil, ia membuat gestur akan menelepon Daniel nanti, dan duduk di belakang kemudi setelah mendapat anggukan setuju dari yang bersangkutan.

Setelah mengenakan sabuk pengaman, lelaki Park itu menurunkan kaca jendela dan melongokkan kepalanya dari sana. Sekali lagi, ia melambaikan tangannya yang tidak memegang kemudi, pada Daniel. Bahkan ketika mulai menginjak akselerator dan mobil mulai bergerak, ia masih bersikeras melambaikan tangan hingga raut sedih Daniel tidak terlalu jelas di matanya.

"Aigoo, bayiku. Kasihan sekali."






















A/n:

WKWKWKWK MASIH MASA KASMARAN GUYS MOHON DIMAKLUM

Sweet Gestures [NielWink]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang