Empat

76 6 0
                                    

Hari ini hujan turun sangat lebat, membuatku merasa jika kasurku semakin waktu semakin posesif ditambah dengan hari ini adalah hari libur nasional. Aku beranjak dari kasur menuju jendela kamar yang berembun karena dinginnya hujan. Sejak subuh tadi hujan sudah turun membasahi bumi dengan segala keberkahannya. Ibu bilang, hari yang kita jalani akan terasa ringan saat kita bersyukur.

Kulihat jarum pendek jam dinding menunjukkan angka sembilan, meskipun begitu suhu diruanganku masih terasa dingin. Ponselku bergetar, menampilkan satu pesan dari nomor yang tidak kukenal. Ku abaikan pesan tersebut dan bergegas untuk mandi pagi sebelum aku malas untuk mandi.

Ponselku berdering terus menerus saat aku berada di kamar mandi, mau tak mau membuatku sesegera mungkin untuk menyelesaikan mandiku. Masih dengan handuk yang ku gantungkan di bahu, ku raih ponsel yang terus menerus berdering.

Nomor tidak dikenal :
Ah! ayolah Lana, aku didepan dengan payung dan kau tak kasihan padaku?

Aku mengerutkan dahiku bingung, orang yang mengetahui tempat tinggalku juga kontakku semua kusimpan dan ku beri nama. Lalu siapa dia? Darimana dia mendapatkan nomor pribadiku? Seingatku, data sekolah ataupun data pribadi saja kuberikan nomor kedua orangtuaku.

"Lana! Ada temanmu berkunjung, cepatlah bangun!" Aku tersentak ketika ibu memanggilku dan apa? Ada teman yang berkunjung? Aku tidak pernah memiliki teman selain Mela, bahkan dia saja akan mengabariku setelah sampai di depan gerbang—menintaku untuk menahan si kuning yang aktif.

Aku keluar kamar meninggalkan ponsel—juga handuk tentunya—dengan tergesa. Melihat ibu yang sibuk membuatkan minuman hangat untuk orang yang dikatakan temanku itu, aku berinisiatif membantu ibu dengan membawakan cemilan roti kering.

Aku terkejut ketika mendapati anak baru beserta tas yang berisi buku setengah basah karena hujan. Tak lupa jaket hitam yang sudah tertanggal di kursi kayu karena basah. Aku masih terdiam ditempat, seakan tidak percaya bahwa orang ini benar-benar nekat mendatangiku.

"Kau?!" Sengitku melihat wajahnya yang polos.

Ia tersenyum ramah dan membalasku dengan semangat—seakan tidak peduli dengan kemarahan ku, "hai Lana selamat pagi!"

"Ugh!" Aku mengusap kasar wajahku dengan tangan yang tidak kugunakan membawa setoples roti kering. Ah ingin rasanya ku lempar wajahnya yang sok polos itu dengan toples yang ku bawa.

"Lana... itu temennya ngajak belajar kelompok, kok masih berdiri disitu sih..." ucap ibu sambil membawa nampan berisi coklat hangat yang sudah diseduh.

Ibu meletakkan nampan itu dan mempersilahkan Fatih untuk meminumnya, "diminum yang banyak biar badannya anget...lagian kok gak masuk gerbang aja, nggak dikunci loh padahal...."

"Eum, kan baru pertama kali Tante kerumahnya Alana...masih ragu bener rumah Alana apa bukan," ucapnya sambil menggenggam hangat mug berisi cokelat seduh yang mengepulkan asap tipis.

"Huh basi," gumamku pelan kemudian berjalan gontai menuju sofa kosong didekat Ibu.

"Kok malah kesini? Bukannya ambil buku buat belajar bareng, atau alat tulis apa gitu..." Sahut ibu ketika melihatku duduk didekatnya.

Aku memutar mataku jengah, secepat kilat aku kembali ke kamar mengambil tas sekolah. Aku mengedarkan pandanganku mencari si hitam dan si kuning, dalam hujan seperti ini ia lebih sering dekat denganku untuk sekedar menghangatkan badan.

"Bu hitam sama kuning dimana?" Tanyaku setelah sampai di ruang tamu.

Untuk kedua kalinya aku terbengong, melihat si hitam dan si kuning sudah bergumal di pangkuan Fatih dengan sangat nyaman. Astaga, ada apa dengan penghuni rumah ini? Apakah mereka terkena sihir yang dibawa Fatih?

Aku melihat Fatih dengan mata memincing, meneliti bagian tubuh mana yang menghadirkan aura negatif untukku. Belum ada satu jam dia disini sudah membuat ibu dan para kucingku nyaman dengannya.

Ah, Hujan... Kenapa kau kirim orang ini lagi padaku?

***

Aku membaca rangkuman materi yang telah ku buat semalam di buku khusus untuk rangkuman materi ujian. Sambil menikmati coklat hangat juga si hitam yang bergumul di kakiku membuatku merasa nyaman dan hangat, sampai akhirnya Fatih membuatku memanas saat ia melemparkan banyak pertanyaan untukku.

"Kok bisa gini sih, punyaku yang bener dong harusnya!"

Aku memutar mataku jengah mendengarkannya.
"BE-RI-SIK !" Sengitku yang membuatnya seketika terdiam.

Dia yang sebelumnya cerewet mengoreksi tugasku dengan tugasnya kini terdiam seribu bahasa. Hanya tangannya yang bergerak membolak-balik halaman buku tugas milikku. Hingga akhirnya, ia kembali membuka mulut.

"Lana toliet nya dimana?" Bisiknya pelan bahkan sangat pelan.

"Ngomong yang jelas!"
"Toilet dimana?" Ucapnya dengan nada normal.
"Lurus aja Deket dapur pintu kedua."

Dia mengangguk paham dan beranjak dari duduknya. Meninggalkan si kuning yang tertidur di sofa. Aku melirik jam dinding yang sudah mnunjukkan pukul sepuluh pagi lewat lima belas menit, itu berarti aku sudah lebih dari satu jam terjebak bersama manusia menyebalkan ini.

Kuhampiri lemari buku di dekat jendela kemudian mengambil salah satu novel yang belum kuselesaikan karena sibuk mengurus tugas sekolah yang semakin hari semakin menggunung. Beruntungnya hari ini aku mendapatkan jadwal bebas untuk membaca novel. Setelah ku ambil salah satu koleksi novel milikku, aku kembali ke sofa ruang tamu dengan Fatih Yang sudah selesai dari toilet. Bermain dengan si kuning menggunakan bolpoin miliknya.

Flashback

"Ayo sini-sini, hitam gendut gempal!" Ucapnya sambil menggoyang-goyangkan pena milikku di meja ruang tamu.

"Buahaaha... Ga kenal, badan aja yang gede kamu ini!" Ujarnya bahagia ketika si Hitam Tidak berhasil menangkap pena yang ia mainkan.

"Kak Juna kok gak pulang?" Tanyaku dengan buku ujian di pangkuanku.

Juna menghentikan kegiatannya bermain dengan Si hitam, "oh jadi ngusir nih ceritanya?"

"Eh enggak, cuma tanya aja... Kan udah sejak pagi kak Juna kesini."
"Betah aja, ibu kamu baik. Semenjak aku sering main kesini, berat badan aku naik...."
"Mentang-mentang dikasih makan terus...."
"Hahaha...." Ia tertawa pelan, "masih mau liat Lana belajar, gimana dong?"

Aku tersipu malu, dengan ucapannya. Sudah dua Minggu ini aku belajar dengannya, kebetulan ibu juga menyarankan supaya Juna mengajariku cara belajar dengan pemahaman yang mudah. Sejak ibu tau,dari cerita juna jika ia pernah mengikuti olimpiade sains internasional. Wow, aku sangat kagum dibuatnya.

"Mana buku rangkuman kamu?" Tanya Juna ketika melihatku masih membaca buku tebal.

"Yang warnanya biru kak."
"Wah...tulisan kamu rapi ya," aku mengerutkan dahiku bingung.
"Kakak nyindir aku ya?"

Ia kembali tertawa.
"Lagian, cantik-cantik kok tulisan kayak gini..." Ujarnya sambil memberikan lembaran tulisanku yang sangat tidak rapi.

"Asalkan kakak tau ya, tulisan jelek itu belum tentu si penulis malas loh..." Jelaskan pada Juna yang memperhatikanku.

"Karena aku mikirnya cepet, takut lupa ya gitu tulisannya. Setidaknya kan cuma aku yang bisa baca, temen ku yang lain ga bisa...ya walaupun ada dua orang yang bisa. Pokoknya banyak sisi baiknya dari tulisanku yang jelek!"

"Aduh, iya iya... ngotot banget sih jelasinnya."

Aku memoncongkan bibirku kesal, aku sadar dan aku paham memang tulisan ku tak sebaik tulisannya yang sangat indah. Apa salahnya jika aku menjujung nilai seni dalam tulisanku?

Flashback end

Aku menggelengkan kepalaku pelan. Melihat ke arah jendela yang menampilkan hujan rintik yang sudah mulai reda. Semenjak aku bertemu dengan Fatih, bayangan masa lalu ku tentang Juna kembali terlintas. Andai saja aku tidak datang ke taman saat itu, andai saja aku lebih awal tidak mudah bicara dengan orang asing dan andai saja aku lebih dahulu menjadi sekarang ketika belum mengenal Juna.

Yah, andaikan saja....

TBC :)

Aku [ H I A T U S ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang