"Abi nggak suka kalau kamu terus - terusan mengikuti ekskul tari tradisional! Kamu harusnya memilih ekskul seperti bimbingan olimpiade, atau apalah. Setidaknya mereka lebih berguna ketimbang tari yang nggak jelas seperti itu!" Suara Abi yang menunggu kepulangan Ryujin di ruang tamu menggelegar keras, ketika melihat Ryujin baru memasuki rumah sekitar jam lima sore. Ia masih membawa tas ranselnya tanpa mengenakan seragam kebesaran sekolahnya, melainkan kaos hitam polos yang dipadukan dengan sweatpants berwarna hitam serta selendang tari yang masih bertengger dengan indah di lehernya.
Ryujin yang sudah terbiasa mendengar ayahnya berultimatum seperti itu hanya diam, tak menggubris ayahnya. Ia melepas sepatunya terlebih dahulu, lalu mendekat ke arah Abi, "Assalamu'alaikum, Abi," ucapnya sembari duduk sopan di lantai dan mencium tangan Abinya dengan lembut. "Maafin Ryujin, Bi." Permintaan maaf Ryujin selalu terucap setiap Ryujin pulang dari akademi tari–yang ia datangi setiap pulang sekolah.
Bagaikan mantra, permintaan maaf yang keluar dari lisan Ryujin selalu dapat membuat Abi terdiam. Abi terenyuh dengan anaknya, tetapi disisi lain beliau benar - benar marah kepada Ryujin. Ryujin mengetahuinya. Bahkan, urat di leher Abi masih terlihat sangat jelas. Abi masih marah, sangat marah–tetapi lebih memilih untuk diam.
"Ryujin ke kamar dulu, Abi."
Setelah berpamitan ke Abi, Ryujin berlari kecil menuju kamarnya yang berada persis di samping ruang tamu–dengan perasaan bersalah yang masih menyelimutinya, tentunya.
Siapa yang tak merasa bersalah ketika melakukan hal yang ditentang keras oleh orang tua, walaupun hal tersebut bisa bermanfaat bagi kita kedepannya. Dan Ryujin salah satunya. Semenjak masa awal Sekolah Menengah Akhir, Ryujin terlarut dalam dunia seni dan memutuskan untuk belajar tari tradisional untuk menambah bekalnya. Dan pada akhirnya, Abi dan Umi yang benar - benar strict kepada Ryujin mengetahuinya.
Ryujin menghela nafas lelah ketika sudah berada di dalam kamar minimalisnya yang bernuansa monokrom itu. Lelah? Pasti. Apalagi ia tak sekokoh itu untuk menghadapi Abi dan Umi. Dari depan Ryujin mungkin terlihat seperti pembangkang, dan pembantah. Tetapi, ia butuh seni sebagai amunisi kuat untuk mendukung program beasiswa yang akan diambilnya. Ia sangat mencintai seni. Hanya saja, ia kurang didukung oleh orang - orang yang disayanginya.
Ryujin tidak bisa menahan pertahanan dirinya agar tidak roboh kali ini. Tubuhnya ambruk dibalik pintu, dan akhirnya ia menangis tersedu - sedu. Sungguh, tak semulus itu untuk mewujudkan impiannya melanjutkan sekolah ke negara tetangga. Ia tahu, menangis tak akan menyelesaikan masalah. Tidak ada yang patut ditangisi. Hanya membutuhkan sedikit lagi kerja keras, semuanya akan terwujud kemudian.
Tetapi, terkadang menangis bisa menjadi salah satu cara untuk melegakan perasaan seseorang, bukan begitu?
Setelah sekitar lima belas menit menangis, Ryujin memutuskan untuk beranjak menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamarnya untuk sekedar mencuci muka dan mengganti pakaiannya dengan daster rumahan. Lalu, ia merebahkan dirinya diatas kasur empuknya yang dihiasi bed cover yang warnanya seiras dengan suasana kamarnya.
Nanananana Na Na Nananana Nanananana Na!
Terdengar nada dering yang berasal dari ponsel keluaran terbaru milik Ryujin. Ia pun menyambar ponselnya yang berada di nakas samping kasur, dan melihat nama kontak yang menghubunginya.
Ah, si Han rupanya.
Tanpa berpikir lama, ia menerima panggilan tersebut.
"Heh, tadi lo nggak apa - apa, kan?" Sebuah pertanyaan langsung menyembur Ryujin ketika ia mendekatkan ponselnya ke telinganya.
"Assalamu'alaikum, Kak Han."
"Wa'alaikumsalam. Lo nggak apa - apa, Jin?" Tanya sang penghubung sekali lagi. Ryujin hanya dapat menghela nafasnya untuk yang kesekian kalinya. Mengapa kakak sepupunya sangat peka dengan kondisinya saat ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sleep it Off
Fiksi RemajaCan we just sleep it off?; Dua remaja yang dipertemukan oleh takdir dan berakhir saling jatuh cinta satu sama lain. Akan tetapi, mereka jatuh terlalu dalam-sampai - sampai mereka lupa jikalau takdir turut andil dalam kisah mereka. Serangkaian argume...