Aku terperanjat ketika melihat foto yang di kirimkan Madya adikku melalui pesan WA. Foto seorang laki-laki yang telah resmi mengkhitbahnya tadi malam. Ada sebuah rasa sakit yang menghunjam. Ketika menyadari lelaki itu adalah seseorang yang sangat aku dambakan menjadi pendamping hidupku selama ini.Seorang lelaki yang begitu bersahaja, memiliki ilmu agama yang mumpuni. Anak seorang pengasuh pondok pesantren ternama di kota kelahiranku. Keshalihannya membuatku telah jatuh cinta padanya, ketika kami pertama kali bertemu dalam acara pengajian remaja yang diadakan setiap akhir pekan di masjid kompleks perumahan tempatku tinggal.
Hakim, begitu nama panggilannya. Cara dia bersikap kepada lawan jenis sangatlah santun. Tak pernah jelalatan meskipun ia sedang berbicara di depan forum. Juga tak pernah kulihat dia berjalan dengan wanita manapun kecuali ibu atau saudara perempuannya. Begitu taatnya dia menjalani syariat agama. Mungkin itulah hal utama yang membuatku jatuh cinta padanya. Hanya saja aku tak berani mengutarakannya pada siapapun termasuk pada kedua orang tuaku. Aku mengaguminya dalam diam, mengungkapkannya lewat doa-doa malamku. Memintanya pada Sang Maha Pemilik Hati. Meskipun akhirnya aku harus menerima kenyataan bahwa dia bukan untukku.
Ya, baru beberapa bulan aku berada di kota metropolitan ini untuk menyelesaikan S2-ku, tiba-tiba saja malam ini aku di kejutkan oleh berita telah di khitbahnya Madya oleh Hakim. Berita yang seharusnya membuatku bahagia karena adik kesayanganku telah bertemu dengan jodohnya, harus menjadi berita duka untukku.
Kuusap air mata yang perlahan turun membasahi pipiku. Berusaha untuk tegar menerima semua kenyataan. Bahwa jodoh, rezeki, dan maut hanya Allah yang menentukan. Walaupun sebelumnya aku sudah bertekad, akan memberitahu keluargaku tentang apa yang kurasakan setelah aku menyelesaikan kuliahku. Tapi ternyata, aku terlambat.
Orang tuaku meminta agar aku segera pulang, sebab dua minggu lagi Madya dan Hakim akan melangsungkan pernikahan. Keluargaku termasuk keluarga yang alhamdulillaah sedikit banyaknya telah paham agama, sehingga mereka tak ingin menunda lama hal baik ini.
“Jihan,” suara Fadil membuyarkan lamuanku. Dia adalah abangku satu-satunya yang sudah menikah dan punya anak dua orang. Aku berani mengambil S2 di kota ini karena ada dia di sini. Jadi aku tak perlu tinggal sendiri tanpa mahram.
Buru-buru kususut air mata yang masih menggenang. Lalu sebisa mungkin mengembangkan senyum untuknya. “Iya, Bang?”
Fadil duduk di sampingku. Netranya menyelidiki raut wajah milik adiknya ini.
“Kamu menangis?”
“Nggak,”
“Lalu itu apa?” Fadil menunjuk sudut mataku.
Aku tertawa kecil. ”Kelilipan doang kok,” kilahku.
“Ooh,” cuma itu yang keluar dari mulutnya meskipun aku tahu ia tak percaya dengan jawabanku.
“Abang mau pesen tiket, kapan kamu bisa ambil cuti kuliah?”
Aku terdiam, memainkan ponsel yang ada di tanganku. Lalu kupandang wajahnya, “bolehkah aku tidak ikut pulang?” suaraku sedikit bergetar.
“Kenapa? Ada alasan yang kiranya bisa abang terima?”
Kembali kualihkan pandanganku pada ponsel di tanganku. “Aku...aku merasa tidak sanggup, Bang,”
“Tidak sanggup karena apa? Apa karena...Madya lebih dulu menikah daripada kamu?” tebaknya dengan nada hati-hati.
Aku menggeleng. “Bukan,” sahutku berusaha menahan air mata yang ingin segera tumpah.
“Lalu apa?”
Lagi-lagi aku menggeleng. “Tidak apa-apa. Aku...aku hanya sedang tidak bisa meninggalkan jadwal kuliahku, Bang,”