Tok!Tok!Tok!
“Jihan, umi boleh masuk?” terdengar suara umi dari luar kamar.
“Boleh Umi, masuk aja nggak di kunci kok,” sahutku sembari mengikat rambut.
Tak lama wajah ayu itu muncul. Beliau tersenyum, melangkah mendekatiku.
“Udah siap, Nak?”
“Udah, Mi. Tinggal pasang kerudung, kok,” sahutku sambil membalas senyumannya.
Umi duduk di sisi ranjangku. “Jihan, duduklah sebentar di sini, ada yang ingin Umi sampaikan,” pintanya. Kulihat raut wajah umi sedikit risau.
Tanpa menunggu aku langsung mematuhi perintahnya. Kami saling berpandangan. “Ada apa, Mi?”
Tangannya menyentuh pipiku, bibirnya bergetar seolah menahan tangis. “Maafkan Umi,” lirihnya.
Dahiku berkerut. “Ada apa Umi? Apa yang terjadi?” kuusap air mata yang jatuh di sudut netranya.
“Maaf kalau Umi tidak jujur mengenai Hakim dan Madya,”
Aku semakin tidak paham arah pembicaraan Umi.
“Sebenarnya waktu itu orang tua Hakim salah dalam...melamar,” suara Umi terbata. Kubiarkan ia menuntaskan kalimatnya. “Seharusnya yang ia lamar adalah kamu, tapi...”
“Tapi apa Mi?”
“Tapi orang tua Hakim tidak sadar kalau sesungguhnya wanita yang di tuju Hakim adalah kamu bukan Madya,”
Aku menahan napas, terngiang ucapan Hakim tadi pagi.
“Tapi karena Hakim lupa menyebutkan namamu, sehingga mereka mengira bahwa Madya-lah yang dimaksud Hakim. Karena kebetulan waktu itu hanya Madya yang ada di rumah, dan Madya langsung menerima lamaran itu. Sebab Madya bilang kalau sebenarnya ia sudah lama juga menaruh hati pada Hakim, jadi...Umi tak kuasa membatalkan lamaran itu saat orang tua hakim memberitahu umi bahwa mereka salah orang, umi takut kalau...kalau Madya terluka. Apalagi Hakim akhirnya mau menerima Madya meskipun awalnya dia keberatan,” ada beban yang begitu berat terdengar dari setiap kata yang ia ucapkan.
Rumit kedengarannya, tapi begitulah yang namanya takdir. Harus ada yang dikorbankan demi kebahagiaan seseorang. Bahkan Hakim sendiri rela mengorbankan itu semua agar Madya tidak terluka.
“Nggak apa-apa, Mi. Lagian, Madya lebih cocok buat Hakim. Dia lebih cantik, pintar, periang...sedangkan aku?” Aku menertawai diriku. “Meskipun orangtuanya tahu kalau sebenarnya aku yang Hakim tuju, mereka takkan mau. Siapa yang mau punya menantu sepertiku? Hanya seorang wanita biasa, tidak menarik dari sisi manapun, yang selalu mementingkan pendidikan. Mana pantas bersanding dengan anaknya yang tampan itu,”
“Jihan!” Umi menarikku kedalam pelukannya. Ia menangis. “Hentikan! Jangan berkata seperti itu lagi, cukup!”
“Tapi memang begitu kenyataannya kan, Mi? Madya selalu nomor satu dalam segala hal, sedangkan aku?” Suaraku sedikit meninggi karena ego sedang menguasai.
“Tidak Jihan, demi Allah jangan bicara seperti itu!” Umi melepas pelukannya dan menatap nanar mataku. “Kalian semua sama dimata Umi, baik itu kamu, Madya maupun Fadil. Tak pernah ada niat untuk membedakan kalian. Ini semua takdir, Jihan.”
“Bahkan dalam soal jodoh pun aku harus mengalah,” lirihku, “padahal aku sangat menyukai lelaki itu,”
“Tapi kamu tidak pernah mengatakan apapun tentang Hakim pada Umi, Nak.”
“Karena aku berniat mengatakannya setelah S2-ku selesai, Mi!”
Umi menggeleng, “tapi semua sudah terlambat Jihan, Umi minta maaf, andai umi tahu dari awal, tentu semua tidak akan terjadi,” ia terisak.