Lima

73 4 1
                                    

Flashback

Solo 2015,

Sudah lebih dari tiga jam aku mengitari toko buku terbesar di Solo. Meskipun ujian nasional telah terlewatkan dua hari yang lalu, tak membuatku bosan untuk membaca buku—meskipun novel atau buku cerita lain. Aku memiliki tekad untuk bisa masuk di sekolah favorit dan mendapatkan teman yang lebih banyak. Tentunya disertai dengan dukungan dari Juna. Saat aku hendak membayar di kasir, ponsel di saku ku bergetar tertulis nama Juna di kunci layar.

Kak Juna :

Hari ini tampak berbeda, mentari seakan tersenyum pada gadis bertopi renda.
Aku heran, bagaimana bisa senyumnya mengalihkan dunia?
Jika boleh, aku akan menyimpannya.
Meski hanya sebentar, izinkan aku memilikinya.

Sunflower, May.

Aku tersenyum simpul membaca pesan dari Juna. Kumasukkan kembali ponselku ke saku celana dan melanjutkan langkahku untuk membayar buku di kasir.

Jika diperhatikan, musim hujan ini matahari memang nampak berbeda. Sinarnya tidak begitu redup namun tidak juga terik. Gumpalan awan hitam pun tak terlihat di sekelilingnya, memberikan pesan bahwa hari ini akan sangat menyenangkan. Mungkin karena sebentar lagi kemarau akan berkunjung—melengkapi musim tropis di Indonesia.

Menghabiskan waktu di taman kota sangat menyenangkan, ditambah ketika mentari hendak bersembunyi di ufuk barat. Melihat anak kecil bermain di taman dengan kedua orangtuanya membuatku ingat, dulu sekali aku sangat sering menghabiskan waktu bersama kakak juga orangtuaku. Dan sekarang, kak Reno sedang sibuk dengan perkuliahannya. Ia memiliki cita-cita untuk berkuliah di Jerman, semoga saja.

"Kakak!" Panggil anak kecil dengan es cream meleleh di tangan kanannya. "Kertas putih, buat kakak!"

Anak kecil itu memberikan selembar kertas yang terdapat cetakan tinta dibaliknya. Dengan segera ku buka pesan itu setelah anak kecil tadi berlari menuju teman-temannya yang lain.

Cerita kedua,

Apa yang disukai kambing memang bukanlah kesukaanku. Tapi sejak saat itu, menjadi tempatku kembali merangkum cerita.
Bersamamu,
Awal dari segala pucuk cerita.

J-

Aku mengerutkan dahi membaca pesan tersebut. Bagaimana Juna tau aku sedang berada di taman kota? Dengan segera aku menuju lapangan yang terdapat di tengah taman. Terlihat seorang laki-laki dengan sebuah buku juga pena ditangannya, tak lupa setangkai bunga matahari yang ia letakkan di sebelahnya. Aku mengulum senyum ketika disaat yang sama ia menatapku—melambaikan tangan mengajakku untuk duduk dengannya.

"Kak Juna sendiri?"tanyaku setelah berdiri di depannya.

Ia tertawa pelan, "kan ada kamu, ga sendirian dong aku...."

Aku menggaruk pelipisku ringan, "sebelum ada Lana maksudnya...."

"Sini duduk!"
"Kak Juna suka nulis?"
"Yap, suka kamu juga."
Aku kembali tersenyum, "tapi Lana gak tanya loh."
"Tapi kak Juna jawab."

Aku mengatupkan bibirku, bisa saja orang ini membuatku banyak tersenyum dan terdiam dalam waktu yang singkat.

"Kalau dihitung-hitung ini surat keberapa?" Tanya Juna meraih surat yang ia berikan sebelumnya melalui anak kecil.

"Surat ke tiga puluh ?"
"Iyap, bener..." Ia menutup bukunya dan menatapku, "itu berarti masih ada tujuh puluh surat menantimu...."

"Kak Juna suka angka seratus?"
Juna terdiam, terlihat dari dahinya yang berkerut menandakan bahwa ia sedang berpikir.

"Suka, tau gak alasannya?"
Aku membuka mulut hendak menjawab pertanyaan Juna.
"Karena angka seratus menghitung mundur dua kali, yaitu dari angka 1 ke nol  dan nol selanjutnya adalah pembesar bilangan. Artinya, saat aku menghitung mundur atau dalam artian mengingat masa lalu, bisa ku jadikan masalalu itu sebagai pembesar cerita ku. Dimana aku tidak ingin kejadian buruk terulang dan akan menjadi lebih baik dari yang dulu..." sahutnya saat aku belum sempat menjawab.

"Ih curang! Lana mau jawab duluan."
"Pasti Lana jawabnya bener, kak Juna ga jadi tanya deh..." Ucapnya sambil mengendikkan bahunya.

Suasana kembali hening, hingga akhirnya ia membuka suara memanggilku.

"Alana...."

Aku menatapnya bingung tumben sekali ia memanggil nama depanku dengan lengkap. Setelah itu ia memberikanku setangkai bunga matahari dan memasukkan suratku kedalam amplop putih. Amplop berisi surat beserta bunga matahari kini sudah berada di tanganku. Juna kembali mengedarkan pandangannya ke segala penjuru taman kota—menikmati sinar senja yang ingin beranjak pergi.

"Lana...aku gak bisa maksa kamu buat ga benci sama aku," aku menatap Juna dengan banyak tanda tanya.
Juna menghela nafas sejenak.
"Tapi nanti, ketika ada orang yang serius memberikan cerita yang lebih indah dariku terima ya...."

"Emang kak Juna kenapa?"
Ia tertawa pelan mendengar pertanyaanku, "akan ada cerita yang lebih indah setelah ini Lana...dan kau harus percaya itu!"

"Lana percaya kak!"

Juna mengusap pelan kepalaku dan Aku menatapnya dengan senyum, ia juga tersenyum kepadaku. Binar mata yang indah menjadi lebih indah ketika cahaya jingga membias di kedua bola matanya. Senyum itu, akan selalu kuingat. Biarkan orang lain menilai ku apa, yang ku tau saat ini Aku nyaman berada di dekatnya. Tak peduli dia menganggapku sebagai adik, yang ku yakini aku suka dengannya. Juna.

Ia beranjak dari duduknya dan menggenggam tanganku, "ayo pulang nanti ibu cari kamu dikira aku yang nyulik lagi...."

Aku tertawa pelan, "kan nanti kalau kak Juna yang nyulik Lana, kak Juna bakal beliin Lana eskrim yang banyak!"

"Gak boleh makan eskrim banyak-banyak!"
"Kenapa?"
"Karena."
"Karena apa?"
"Ya jawaban kak Juna "karena" aja."
"Iih apaan sih, ngeselin!"
"Hahaha...."

Kami berjalan menuju parkiran untuk mengambil sepedaku, menuntunnya berdua menuju rumahku. Saat aku tanya dimana rumah nya, Juna selalu menjawabnya dengan gurauan. Diakhir kalimat selalu ada perkataan bahwa ia akan mengajakku jika nanti saatnya sudah tiba.

"Kak Juna, kok sepedanya ga dinaikin aja?"
Juna yang sedang menuntun sepedaku menoleh ke arahku, "kemarin kak Juna mimpi, liat kamu nuntun sepeda...tapi nuntunnya gak sama kak Juna,"

Aku menatapnya dengan penuh pertanyaan, "terus sama siapa?"
Juna mengendikkan bahunya, "makanya kak Juna pengen ngerasain gimana rasanya nuntun sepeda bareng kamu, itung-itung ngewujudin mimpi kak Juna..."

"Kak Juna ini ada ada aja deh...."
"Iya ada, kalau kamu gak ada ya jadinya hilang...."
"Garing kak gak lucu!"
"Kakak takut nanti kalau lucu kamu ketawa, kalau sering ketawa nanti kamu bisa lebih cepat tua dari kakak."
"Kok bisa?"
"Pokonya bisa."
Aku tertawa ringan juga dengannya.

Juna,
Bukan karena fisiknya aku suka. Dia memang tampan, tinggi dengan kulit yang tidak hitam namun tidak putih juga. Matanya yang bersinar juga lengkungan bulan sabit yang terlihat ketika ia tertawa puas.

Juna,
Memang seharusnya aku memanggilnya dengan sebutan "Kakak" tapi, jika boleh jujur aku tak suka memanggilnya "kakak". Karena kakak bagiku hanyalah kak Reno dan dia harus lebih dari kakak.

Juna,
Bukan hanya memberikan cerita ia juga mewarnai cerita, dengan segala rangkaian kata miliknya yang Kusuka. Mengajari betapa pentingnya sebuah aksara di dunia.

Flashback end.

TBC :)

Aku [ H I A T U S ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang