27. Warna Senja di Pipinya

437 39 4
                                    

Seperti sepasang sepatu, namun tanpa kaki. Dara dan Sena melangkah bersampingan di bawah lampu temaram. Sena yang menjinjing map berisi lembar yang tadi sudah difotokopi, dan Dara yang berjalan sambil asik melihat kanan kiri.

Keduanya terus beriringan di pinggir aspal jalan, hingga saat spanduk warung pecel lele menyapa manik Sena, dia segera menarik Dara untuk ke sana.

Saat Dara melempar tatap tanya, Sena hanya berkata, "makan."

Mereka duduk lesehan menghadap jalanan. Sena meletakkan map di sampingnya. "Kamu pecel lele, ya?"

"Iya. Kamu juga pecel lele?"

"Saya Sena, bukan pecel lele."

Dara mendengus pelan.

"Minumnya?"

"Es teh aja."

Segera Sena menggeleng. "Tidak boleh pakai es. Teh hangat saja," putusnya final.

"Kalau kamu yang tentukan, kenapa masih tanya?"

Lelaki itu menyengir. Lalu bangkit hendak memesan kepada si ibu penjual. Tak butuh waktu lama Sena telah kembali duduk di samping Dara.

"Mama kamu cantik, saya suka."

Dara menoleh dengan dua alis terangkat, "kamu suka mamaku?" tanyanya dengan wajah tertegun.

Menyadari itu, Sena tertawa pelan. "Memang definisi suka hanya ada satu? Saya suka mama kamu, karena dia baik. Baik sama saya, sama kamu juga."

"Tapi tadi kamu bilang mama cantik."

"Kamu lebih cantik," tiga kata sederhana yang membuat Dara terdiam saat ini juga.

Langsung saja Dara berpaling muka menghadap lurus ke depan, wajahnya memanas saat Sena berkata seperti barusan.

Sedang Sena tertawa jahil melihatnya. Wajah Dara nampak bersemu jika dari samping. Pipinya merona menampilkan warna jingga, seperti ada senja yang tenggelam di sana.

Melihat Dara terus bergeming, Sena mengeluarkan satu lilin kecil berwarna terang.

"Buat apa?" Dara bertanya penasaran.

Bukannya menjawab, Sena malah tersenyum.

Sudah tidak asing dengan sikap aneh yang Sena punya, Dara menghela napas dan memilih diam menatap lurus ke depan. Sibuk menerka hal aneh apa yang akan Sena lakukan.

"Ra?"

Dara hanya menoleh.

"Mau tau sesuatu?"

Dia berdecih mendengar penawaran Sena. "Mau atau enggak, kamu juga nggak akan beritahu aku."

"Marah, nih." Sena mencolek-colek lengan Dara dengan jarinya.

Sedang gadis itu hanya diam, membiarkan Sena memainkan lengannya sampai bosan. Dara terus bungkam dan setelah pesanan datang, ia tersenyum dan berterima kasih kepada si ibu.

"Eitss.. jangan dimakan dulu."

"Kenapa?" Dara meraih dua lembar tisu setelah usai mencelupkan tangan di air pada mangkuk.

Sena menancapkan lilin tepat di tengah nasi yang berbentuk bulat. Lalu menyulut sumbu dengan korek yang baru dikeluarkan dari saku.

"Kamu ngapain, sih?" Dara bertanya heran, lalu menatap pelanggan lain yang berada di sisi kanan kirinya.

"Merayakan ulang tahunmu," jawab Sena. "Tapi agak terlambat. Maaf, ya?"

Dara menghela napas pelan, lalu senyumnya mengembang. Dia mengamati pecel lele yang diberi lilin layaknya kue tart.

Dari Semesta untuk Dara [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang