Anza tertegun melihat raut masam Zuhdan. Pemuda itu masih menjadi teman sekelas, sekaligus teman sebangkunya. Kebetulan memang, tetapi Anza bersyukur karena dirinya cukup cocok berbagi meja dengan Zuhdan. "Lo kenapa?"
Zuhdan masih merasa asing dengan perubahan cara bicara Anza. Meski begitu, Zuhdan tidak mengomentarinya. Ia terlalu malas untuk itu. "Biasa."
Zuhdan baru kembali dari ruang guru. Ia mendapat teguran, karena sebagai ketua kelas Zuhdan kurang memperhatikan pembagian kelompok yang tidak merata. Padahal sebetulnya Zuhdan sudah berusaha melakukan pembagian yang merata. Masalahnya, beberapa oknum tidak mau menuruti Zuhdan dan bersikukuh mempertahan jumlah anggota kelompok yang berlebih dengan alasan pertemanan.
"Semua karena lo," keluh Zuhdan. "Kalau aja lo nggak jadi ketua OSIS, gue nggak bakal ngeganti lo jadi ketua kelas."
Anza hanya menggelengkan kepalanya. Sejak hari pertama jabatan ketua kelas diserahkan kepada Zuhdan, pemuda itu selalu mengeluh dan mengungkapkan keberatannya. Ketua kelas adalah jabatan terakhir yang ingin Zuhdan dapatkan. Ia tidak suka memimpin. Tidak suka pula mengurusi orang. Zuhdan merasa, mengurusi diri sendiri saja dirinya belum becus, untuk apa mengurusi kepentingan orang lain?
"Kenapa bukan Anjani aja sih yang jadi ketua kelas?" tanya Zuhdan melirik Anjani yang tengah sibuk membaca buku di bangkunya. "Dia kan sejak dulu ngebet banget jadi ketua kelas."
"Anjani sudah jadi sekretaris OSIS," Anza memberi alasan. "Kasihan kalau dia juga harus bertanggungjawab mengenai kelas."
"Tapi, kenapa harus gue?"
Anza tersenyum. "Karena gue percaya sama lo," jawab Anza.
Kedua bola mata Zuhdan melebar. "Jangan bilang lo yang merekomendasikan gue?"
Cengiran Anza menjawab pertanyaan Zuhdan. Pantas saja wali kelas mereka tiba-tiba saja mengusulkan nama Zuhdan saat pergantian ketua kelas yang sebelumnya dijabat Anza. Zuhdan merasa aneh, karena dia siswa yang pasif dan tidak menonjol. "Sialan lo, Za," dengus Zuhdan kesal.
"Sorry," ucap Anza. "Gue pikir, lo yang paling cocok jadi ketua kelas."
Zuhdan tidak menanggapi. Memilih melipat lengan di atas meja, lantas membenamkan wajahnya di sana. Ia sedang malas melanjutkan pembicaraan dengan Anza. Melihat teman sebangkunya tidak lagi tertarik melanjutkan obrolan, Anza mengalihkan pandangannya yang kebetulan jatuh pada seseorang yang duduk di barisan paling depan.
Kalau ada penghargaan bagi siswa yang paling bersemangat berada di sekolah, Anza pastikan dia pemenangnya. Anjani. Gadis itu selalu datang paling awal, duduk di barisan paling depan, mengumpulkan tugas paling awal, bahkan Anza sendiri merasa kewalahan mengimbangi kerajinan Anjani. Hanya saja, sikap Anjani yang selalu ingin menjadi yang pertama dan terdepan tidak terlalu disukai teman-temannya. Mereka menganggap Anjani terlalu ambisius, mau menang sendiri, dan sedikit egois. Padahal Anza tidak merasa demikian. Anjani hanya memiliki target, menjadi yang terbaik dengan usaha maksimal. Tidak ada yang salah dengan itu.
Yang salah adalah ... Anza mengernyit ketika melihat Anjani bergerak tidak nyaman. Seingat Anza, gadis itu tidak beranjak dari bangkunya meski jam istirahat sekalipun. Anjani juga tetap duduk di tempatnya ketika Riani dari ekstrakurikuler dance mengonsultasikan proposal kegiatannya dengan Anjani. Kernyitan Anza makin dalam ketika menyadari Anjani tengah meremas perutnya.
Baru saja Anza hendak menghampiri Anjani, guru mata pelajaran biologi mereka memasuki kelas. Anza terpaksa mengurungkan niatnya, terlebih karena Anjani sudah memperbaiki posisi duduknya kembali.
"Napa, Za?" suara parau Zuhdan terdengar. Teman sebangkunya itu menguap sambil merentangkan kedua tangan.
Anza menggeleng pelan, "Nggak ada apa-apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Something about Anza
Teen Fiction"Yakin lo cuma nganggep Anza kayak Binno?" Elbi mengangguk tanpa ragu. "Yakin?" Pertanyaan diulang. Elbi mulai memikirkan kembali. Iya. Benar. Benar begitu?