contradictively beautiful

1.9K 270 81
                                    

Terpampang waktu telah menunjukkan pukul 10 malam, melewatkan menit hampir menuju angka 8. Seungyoun menyenderkan punggungnya di tembok kamar hotel yang ia jadikan akomodasi untuk bersinggah selama tiga hari kedepan, ia menghela nafasnya panjang, memijit pelipisnya untuk menghilangkan penat yang membebani kepalanya.

Terhitung baru satu jam yang lalu ia berhasil masuk ke negara destinasinya ini, melewati petugas imigrasi dengan bermodalkan paspor dan visanya, yang turut dipermudah dengan ia yang fasih dalam berbahasa Inggris, juga sedikit konversasi basis Kanton untuk sehari-hari. Satu jam sebelum ia menginjakkan kaki di pelabuhan ia habiskan didalam kapal Ferry yang membawanya dari Macau ke Hongkong, dimana tempat ia berada kini.

Bila dipikir, dengan jumlah kekayaan yang ia miliki, ia bisa memilih untuk tidak repot repot berpergian dengan kapal, dan memilih untuk mengunakan transportasi lain yang jauh lebih ekspres, seperti Helikopter atau bahkan memesan tiket pesawat perjalanan langsung di kelas bisnis.

Namun Seungyoun ialah lelaki teguh akan prinsip, ia berfahamkan bahwa di dunia ini tidak ada yang instan, harus setidaknya mengorbankan sedikit perjuangan. Ia tetaplah makhluk bumi yang tetap ingin berpijak pada dasar, bukannya tanah yang melangit.

Riuh suara kendaraan dan hiruk-pikuk jalanan diluar menelusup masuk melalui sela hingga kedalam kamar hotel yang ditempati oleh Seungyoun, menengadahkan kepala sembari memejamkan matanya sejenak,
Seungyoun mengambil nafas panjang sebelum matanya kembali membuka, mengeksplor detil dari tiap sudut hingga ke sudut lain kamar hotel bernuansa tropis itu, dengan paduan warna cat putih didekorasi beberapa bingkai gambar dedaunan, sebuah pohon palem kecil diletakkan dibawah lampu tidur, dan sebuah tv yang diletakkan disudut ruangan, dengan sofa singel lengkap dengan bantal kecil dan selimut yang diletakkan asal di pegangan kursi, menghadap antara ke arah tv dan jendela yang membuka sedikit celah, membebaskan angin dari luar menghembus gorden tipis yang menggantung disisi atas jendela.

Seungyoun turun dari ranjangnya dan berjalan mendekati jendela tersebut, menyibak pelan gorden tipis yang menutupi kaca, lalu mendorong kaca jendela tersebut—membuka lebar kaca tersebut, membiarkan segala bising klakson kendaraan dan gaduh aktivitas diluar untuk tidak lagi sekedar menyapa namun juga memekakkan indera pendengarannya,
dapat dilihat suasana kamar Seungyoun yang hanya diterangi cahaya temaram jelas berbanding terbalik dengan suasana diluar sana, jalanan yang dipadati oleh kendaraan dan ramai manusia yang berlalu-lalang di sisi bahu jalan, juga toko-toko yang masing-masing bersinar berhiaskan papan lampu neon kerlap-kerlip, dan asap yang mengepul dari kios-makan dan api yang berkobar dari wajan saat sang juru masak unjuk kebolehan dihadapan pembeli membuat Seungyoun tak elaknya mengumbar senyum, ia puas melihat keindahan dalam kesibukan di sudut kota tersebut.
Dari lantai 2 tempatnya berada saat ini membuatnya dapat menyaksikan segala yang berlangsung saat itu. Tanpa membutuhkan waktu lama, Seungyoun laju mengubah poros arahnya, melangkahkan kaki dan mengambil tas pinggangnya sambil menenteng kamera film-Nya, Seungyoun lantas meninggalkan kamarnya untuk membelah jalanan.

Kejap semata usai melongokkan diri keluar, Seungyoun lekas merasakan takjub atas keelokan nyata yang lama telah didamba, memotret sisi ke sisi tiap visi, semua sesuai dengan yang ia bayangkan. Sumringah terpartri di parasnya, namun tetap saja sebagai sifat dasar manusia yang mana ia tidak akan kelar sesingkat ini dalam merasakan kepuasan.

Lantas ia kembali melangkahkan kaki, menyisiri hingga menilik kedalam gang gelap nan sempit yang berada diantara sisian ruko, meneliti detil, tak ingin satupun terlepas lewat dari manik matanya. Tangan kanannya ia simpan di dalam saku celana kargo army yang ia kenakan, jemarinya seirama dengan langkah mengusap selembar polaroid—berupa tangkapan gambar pemandangan kota yang diambilnya secara cekatan ditengah perseberangan jalan, diantara riuhnya kota dan ribuan klakson, menampilkan deretan ruko dengan papan nama berhias lampu neon warna-warni dan cahaya dari barisan antri kendaraan yang menunggu giliran tuk kembali tancap gas seusai lampu jalanan memberi izin, yang dikarenakan diambil secara tergesa dan dalam keadaan rendah kecepatan rana, membuat cahaya dalam gambar tersebut tampak terseret beriringan dengan pergerakannya. Cantik yang terburu, namanya.

contradictively beautiful • seungyulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang