[01] Penat jadi Pendengar

405 123 217
                                    

Panggil dia Jia, seseorang yang kelewat tak peduli pada apa yang terjadi di kehidupannya. Tak lagi mendengar hingga pergi begitu saja meski seseorang di belakangnya terus meneriaki namanya. Bahkan sumpah serapah pun tak terelakkan lagi untuknya.

Dalam hatinya terus berkata untuk kembali. Tapi apalah daya jika jiwa terus menolak.

Di rumah itu, tempat ia menaruh segala harap yang kemudian harus ia kubur dalam penat. Lelah dengan semua meski batin terus memperkuat.

Satu kalimat tengah mengiangi kepalanya, 'untuk apa mendengar seseorang yang tidak mau mendengar?'

Percuma!

Tanpa belas hati ia memacu motor matic itu, pergi jauh dari tempat kesia-siaan. Menembus segala hal yang terjadi di jalanan bersama langit gelap berbintang. Hingga sampailah ia di suatu tempat.

Pintunya tidak terkunci, begitu saja ia masuk. Rasa di dalam dada masih berkecamuk bahkan saat ia melihat dua manusia di atas sofa ruang tamu.

Salah satunya sadar lalu melepaskan ciumannya, sementara yang satu lagi mengecap kesal. Si cowok sedikit menggeser tubuh ketika tanpa rasa malu Jia mendekati keduanya.

"Sorry nginterupsi, cuma mau nganter buku." Ucap Jia menunjukkan buku latihan yang ia pegang lalu menaruhnya di meja.

Saat dirinya berbalik cowok itu mencegah, "mau cash atau gimana?"

Jia kemudian berbalik lagi. "Kayak biasa aja."

Semua pun usai, ia kira begitu. Namun ternyata itu belum seberapa karena tiba-tiba saja ia disusul sampai teras rumah.

"Buru-buru amat, mampir dulu napa?" Tanyanya saat Jia sudah di atas motor.

Sambil memakai helm Jia menjawab, "ini gue mampir."

Cowok itu berdecak. "Maksud gue duduk-duduk dulu kek, atau nyantai-nyantai dulu kita di dalem, kayak apa aja lo!"

Bukan Razia Aviari bila ia pandai berlama-lama untuk basa-basi. Bahkan cukup satu kata saja bisa mengakhiri segalanya.

"Wan, sampe kapan sih lo kayak gini? Bukannya gue capek lagi, tapi gue cuma pengen lo ngerti ini kalo perbuatan lo itu salah. Lo nggak kasihan sama Oma? Nggak kasihan sama nyokap lo di atas sana yang mungkin aja lagi nangis ngelihat anaknya kayak bajingan gini?"

Juan Dirga Magenta, nama cowok itu.

Juan yang sering mendengar ceramah seperti itu hanya memasang raut santai seolah-olah omongan Jia hanyalah angin lalu. Namun, tatapan sengit di belakang pintu utama pun tak dapat membuat pertahanan Jia runtuh. Hanya seorang Cressela, cewek yang baru beberapa hari menjabat sebagai pacar baru Juan itu memang tidak pernah suka dengan Jia, begitu pula Jia.

Jia menarik napas pelan, sama pelannua dengan ucapannya ini. "Cewek lo,"

Juan pun menoleh pada sorotan mata Jia, mungkin ia berpikir sebentar sebelum meninggalkan Jia demi menemui pacar barunya. Kemudian bebaslah Jia.

Jia akan pulang? Salah besar jika itu yang ada dipikiran kalian. Tidak mungkin kan setelah perdebatan panas antara ia dengan Mama-nya masih membuatnya ingin kembali ke rumah itu. Maksudnya tidak untuk saat ini.

"Ji," panggil Juan lagi membuat Jia ngerem mendadak.

Meski ia bisa meninggalkan Juan begitu saja dengan alasan hatinya yang tengah kacau, namun ia tidak akan pernah melakukan itu. Kecuali Juan-nya sendiri yang memaksa.

"Sela pulang," beritahu Juan yang entah apa maksudnya.

"Trus?"

"Ya dianya mau pulang. Jadi lo di sini aja."

Stone ColdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang