(35) Pink & Blue

207 42 20
                                    

"Amélie, kau melihat Chamomile?" tanya Harry pada anak perempuan yang sedang mengecat kukunya. Amélie hanya melirik Harry sekilas lalu kembali meniup kuku tangannya. "Baiklah. Kau mau apa."

Sudut bibir Amélie terangkat karena ucapan Harry barusan. Ia langsung menunjukkan senyumnya yang menurutnya terbaik, "Ahk, kau memang calon kakak ipar yang paling mengerti. Aku mau-"

"Dimana Chamomile," potong Harry.

Amélie mencebikkan bibirnya, "Di dalam kamar yang disiapkan untuk anak kalian. Dia sedang mengecat kamar itu," Amélie menyeringai seram, ia mendekat pada Harry seperti ingin mengatakan sesuatu yang menyeramkan sekaligus rahasia, "Tapi dia sedang berdua dengan calon suaminya. Yang sabar ya, hehe."

Harry mendorong wajah Amélie yang tadi sangat dekat dengan wajahnya, "Apa-apaan. Ngomong-ngomong orang tuamu tidak pernah datang mengunjungi Mauve?"

"Mereka sedang sibuk," jawab Amélie. Ia masih melanjutkan kegiatannya yang tadi tertunda, sekarang ia sedang mengecat kuku kakinya. "Kenapa kau menanyakan mereka."

"Tidak apa-apa, aku tidak enak kalau aku ribut dengan Zayn lalu tiba-tiba mereka datang."

"Kau jangan bertengkar dengan Zayn. Bagaimana kalau Mauve tiba-tiba melahirkan. Aku tidak mungkin membawa Mauve ke rumah sakit sendirian, sedangkan kau dan Zayn sedang saling membunuh," cecar Amélie. Harry hanya mendengus kasar seraya menggeleng mendengar penuturan anak perempuan itu.

Harry meninggalkan Amélie dengan langsung menuju kamar yang sudah ditunjuk Mauve sebagai kamar untuk anak mereka nantinya. Harry awalnya bersemangat menemui Mauve setelah beberapa hari tidak mengunjunginya dan sengaja tidak meyampaikan pada Mauve kalau dia akan datang, tapi rasa semangatnya digantikan dengan perasaan kesal setelah tahu Zayn juga ada. Rumah baru Mauve, diharapkan Harry bisa membuat Mauve dan Zayn jarang bertemu, namun yang dipikirkan Harry sekarang adalah bagaimana kalau justru Zayn yang lebih sering menemui Mauve.

Benar saja, Mauve sedang berdua dengan Zayn di kamar. Mereka memang tidak melakukan apa-apa selain menyapu kuas pada tembok, tapi tetap saja Harry merasa cemburu. Karena tak ingin merusak mood Mauve, ia langsung memeluk Mauve dari belakang dan menenggelamkan kepalanya di leher Mauve, tidak memedulikan Zayn yang juga ada di tempat itu. Mauve mengusap tangan Harry yang melingkar di perutnya. "Zayn..."

"Aku Harry. Kau tidak bisa membedakan aroma tubuhku dengan Zayn, huh."

Mauve membalikkan tubuhnya. Pupil matanya melebar melihat Harry yang ada di hadapannya, tak lama ia tersenyum. "A-aku hanya sengaja tadi."

"Okay," ucap Harry pelan. Tanpa ia mengungkapkan perasaannya, sangat kentara kalau ia sedang kecewa.

"Kau kenapa?"

"Tidak apa-apa," ujar Harry. Ia melirik Zayn sekilas yang masih menyapu kuas ke tembok, tidak memedulikan keberadaan Harry. "Kau sudah beralih profesi," sindir Harry.

"Aku akan melakukan apapun untuk anakku," jawab Zayn.

"Terus saja bermimpi," gumam Harry nyaris tidak didengar oleh Mauve. Harry menarik tangan Mauve untuk duduk di sampingnya. "Kalau dia mau melakukan apa saja untuk 'anak kita' minta pada Zayn untuk menjahuimu. Katakan saja kalau itu keinginan anak itu, sekali-kali anak itu harus menuruti kemauanku, bukan kemauanmu saja."

"Aku sudah mengatakannya 'kan, kita membahas ini setelah anak ini lahir." Harry hanya bisa mendengus pasrah. Coba saja Mauve tahu kalau Zayn sudah bertemu dengan Harry dan memintanya menjauh dari Mauve.

"Bantu Zayn," titah Mauve selagi ia menyerahkan kuasnya pada Harry. Harry diam sambil memegang kuas di tangannya dengan tatapan bingung. "Ayo, kenapa kau diam."

ChamomileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang