31 - Memberanikan Diri

7.9K 429 66
                                    

"Tidak pernah ada opsi dalam hidupku untuk meninggalkan mu, karena apapun!"

--------------------------------

-SRI-

Hari ini, 4 bulan setelah Maryam keguguran

Disinilah aku sekarang, di sebuah cafe klasik yang diiringi dengan alunan musik tahun 90-an. Jadul banget, kan? Tapi aku menikmatinya. Selera sejati takan lekang oleh waktu, itu prinsipku.

Aku mengajak bertemu seseorang disini hari ini. Sebenarnya aku sudah mengajak Mas Rahman ikut bersamaku tadi pagi, tapi berhubung tiba-tiba saja pagi tadi ia harus rapat mendadak di kantor utama, jadilah dengan terpaksa aku berangkat sendiri.

"Assalamualaikum, Mbak Sri ya?" Tanya seorang perempuan berbusana serba navy padaku sambil mengulurkan tangannya.

Aku menatap perempuan itu sebentar, kemudian mengambil uluran tangannya itu. "Mari duduk!" Ajakku pada akhirnya.

"Mbak nunggu lama?" Tanyanya kemudian.

"Baru beberapa menit yang lalu"

"Aku sudah menantikan pertemuan ini sejak lama. Dan alhamdulillah hari ini Allah perkenankan" ujarnya dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya. Apa dia memang mudah tersenyum seperti itu?

Untuk pertama kalinya aku berhadapan dengan perempuan itu. Dia terlihat amat cantik dengan usia kira-kira terpaut 6 tahun dariku.

"Jadi, perihal apa Mbak mengajakku bertemu?" Tanyanya basa-basi, padahal aku yakin dia sudah mengerti tujuan dari pertemuan ini.

Aku mengatur napasku perlahan, "Mas Rahman" jawabku pelan.

Dia tersenyum mendengar nama itu terlontar.

"Aku ikhlas, Mbak. Jika harus aku yang mengalah dalam hubungan ini" ujarnya dengan suara mantap.

Ya, begitulah. Jadi hari ini aku memutuskan untuk bertemu dengan perempuan bernama Maryam Hasyim itu, untuk menyelesaikan semuanya.
Dan beruntung dia tanpa banyak tanya, mengiyakan pertemuan ini dengan mudah.

Aku menatap nanar perempuan disebrangku itu.

"Empat bulan yang lalu, Mas Rahman meninggalkan aku sendiri kurang lebih dua bulan, Mbak. Itu harusnya sudah cukup amat jelas menjawab pertanyaan perihal hatinya condong kemana" ujarnya lagi.

Aku menggigit bibir bawahku, kelu. "Tapi dia merahasiakan ini dua tahun dariku! Apalah arti dua bulan mu itu!" Tegasku dengan suara sedikit meninggi.

"Aku tak kurang Mbak, sudah beberapa kali memaksanya untuk berterus terang sedari awal perihal ini pada Mbak. Tapi Mas Rahman selalu saja punya alasan!" Ujarnya tak kalah sengit.

Prediksi ku benar, pertemuan ini akan berlangsung sengit sedari awal.

Aku menatap Maryam sekilas, bagaimanapun aku pernah merasa amat terluka oleh perempuan ini.

"Awal-awal aku keguguran Mas Rahman memang sering di rumahku, Mbak. Tapi itu hanya karena kondisi ku belum stabil" ujar Maryam dengan suara sedikit serak.

Aku masih mendengarkan kalimat-kalimatnya. Sebagai pengalihan emosi, aku mengaduk-ngaduk gelas matchalate ku untuk menetralisir emosi ku agar tak meledak-ledak.

"Aku gagal menyelamatkan calon anakku. Aku depresi Mbak. Stress karena dicampakkan Mas Rahman tak terkira" ujar Maryam lagi. Kini mulai satu dua kristal bening berjatuhan dari matanya.

"Dan karena pikiran kalut itu, aku keguguran" tambahnya lagi.

Seperti ada yang menohok ulu hatiku saat kalimat itu ia lontarkan. Membayangkan keguguran dan kehilangan anak adalah hal yang menyeramkan di dunia ini. Ujian yang tak mudah. Tapi mungkin ini setimpal dengan rasa sakitku yang dia berikan padaku kala itu hingga kini.

"Aku minta maaf jika secara tanpa sadar ikut menyebabkan kamu keguguran" kalimat itu yang kemudian keluar dari mulutku. Bagaimanapun sisi baik ku masih hidup, aku melihat Maryam sebagai seorang ibu yang kehilangan anaknya dalam hal ini, bukan sebagai orang yang paling aku benci di muka bumi.

Maryam menatapku nanar, sambil sesekali meredam tangisnya. Dia menggeleng pelan, "ini bukan salah, Mbak" ujarnya kemudian.

***

Malam itu aku berdiri di balkon kamar. Menatap langit malam yang kelam dengan hiasan beberapa bintang.

"Maafkan Mas yang belum bisa membuktikan janji untuk tidak menyakiti mu lagi, Dik" ujar Mas Rahman yang sudah ada disampingku entah sejak kapan.

Aku menarik napasku panjang, menghembuskannya dengan kasar. Dari kalimatnya barusan, aku dapat merasakan bahwa pembicaraan ini akan menyangkut perempuan itu lagi.

"Tak apa, Mas. Toh sudah terjadi" jawabku datar.

"Mas belum bisa mengambil keputusan" ujarnya lagi.

Aku mendengus pelan, "Biar aku yang pergi. Aku akan mengalah" ucapku pada akhirnya.

Dan demi mendengar itu, Mas Rahman menatapku tajam. Meski aku tetap memandang lurus ke depan, aku bisa melihat itu semua dari sudut mataku.

"Tidak pernah ada opsi dalam hidupku untuk meninggalkan Kamu, Dik. Karena apapun!" Tegasnya.

"Tapi kamu membuat opsi lain untuk menikahi perempuan itu. Dan harusnya itu cukup kuat untukmu melepaskan aku!" Tegasku dengan suara berat.

Mas Rahman mencengkeram pagar balkon kamar kami. Aku tahu dia kesal padaku malam itu, tapi aku tak peduli. Ulu hatiku tak kalah jauh lebih sakit. Rasa yang lebih besar daripada sekedar sebuah kesal.

"Mas tahu semua ini salah, Mas! Tapi tolong! Jangan buat Mas merasa semakin bersalah padamu ataupun Maryam" ujarnya lemah. Aku mendeteksi suara putus asa pada nada bicaranya.

"Aku tidak bisa menceraikanmu, dan kamu tidak bisa pergi dari ku, karena aku suami mu! Perihal Maryam, izinkan Mas beberapa bulan kedepan menemaninya. Dia tidak setangguh kamu, Dik. Mas khawatir dengan kondisinya sekarang yang terlihat trauma dan depresi. Mas khawatir dia akan semakin limbung" pintaku.

Aku menundukkan kepala, mencoba menahan agar tak ada air mata yang terjatuh satu pun malam itu. Tapi aku gagal.

"Mas selalu tak tega setiap kali melihat matanya yang menyiratkan luka" terangnya.

Dan kamu melupakan luka dimataku, Mas, lirihku dalam hati.

"Aku ingin istirahat" ujarku lemah, sambil berlalu meninggalkannya.

***
Alhamdulillah alaa kulli hal, part 31 kelar.
Ditulis pada 10 September 2019, dengan suasana pagi di dinginnya Selasa hehe

Di part ini alurnya maju-mundur, jadi harus fokus bacanya hehe

Kalo udah waktunya, Sri ketemu juga kan sama Maryam. Selamat saling berkenalan wahai dua pengisi hatinya Rahman 😅

Terima kasih untuk semua pihak yang telah menyempatkan membaca cerita sederhana ini. Terima kasih untuk waktu juga kuotanya😊

I miss you:-)

Mimilel

MaafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang