OSPEK

22 7 2
                                    

Aku sendiri. Dalam sunyi yang sepi. Dalam gelap yang mendekap. Hanya angin kasar yang sudi temani. Yang berembus dengan tidak sabar menerpa kulitku. Tapi tunggu sebentar. Ah sial. Aku tidak sendiri. Tak ada yang pernah membiarkanku sendiri. Selalu ada yang datang mengganggu. Namun mengapa aku tetap sendirian?

Kali ini apa? Baiklah, teriakan. Bukan, bukan teriakan. Jeritan. Tapi bukan, bukan juga itu. Yang kali ini berbeda sepertinya. Sorakan. Ah, ya, benar. Sorak sorai di segala penjuru arah. Sorakan yang berusaha mengendalikanku. "Kiri kiri! Kanan tujuh langkah! Maju sedikit arah jam 2. Ayo, ayo! Cepat! Putar balik! Terus, terus. Salah, salah, salah!!!"

Cih, enak saja main perintah! Bising! Apapun yang mereka katakan, itu sangat menggangguku. Itu memicuku. Membuatku pening. Perutku bergejolak, protes belum sempat kemasukan apapun sejak kemarin sore. Aku hilang kendali. Juga kehilangan orientasi. Sialnya, aku mulai kehilangan keseimbangan juga. Duniaku berputar dalam pusaran yang pekat. Seperti ada magnet raksasa yang menantiku di ujung pusarannya. Merayuku supaya ikut ke sana. Lututku goyah, tubuhku tak berdaya melawan pusarannya. Ini tidak bagus. Tapi memang hidupku tak pernah bagus. Kurasa aku akan.....

"Eh eh eh. Gapapa gapapa. Gue pegangin kok ini," tiba-tiba ada suara berat yang berpendar di tengah-tengah keramaian yang perlahan kurasakan semakin memudar.

Hah? Tunggu sebentar! Apa maksudnya? Ada apa? Dari mana itu? Siapa? Dengan panik kubuka paksa penutup mata hitam yang membalut mataku sejak awal permainan. Sudah sulit bagi kedua kakiku berpijak dan menuruti gaya gravitasi di bawah sana, apalagi membuka penutup mata hitam bodoh ini. Tapi suara itu malah membantuku dengan mudah menggerakkan paksa otot-ototku untuk membuka penutup mata ini, "ga apa-apa. Pelan-pelan aja," katanya lagi. Sambil membantuku membuka simpul penutup mata hitam bodoh ini, laki-laki itu mengulangi kembali potongan kalimat itu, 'gapapa'. Lalu, ketika berhasil kubuka penutup mata itu, kedua mata sayuku berhasil menangkap sosoknya.

Ia terlihat samar dari sini—mataku. Penglihatanku mengabur, diperparah lagi dengan posisinya yang berdiri tepat membelakangi cahaya mentari. Namun perlahan kedua mataku mulai menangkap sesuatu. Tertulis di sana, dengan rapi hasil tulisan komputer, di karton berwarna hitam yang menjuntai dari tali rafia yang ia sisipkan pada kerah kemeja putihnya: Peserta Penerimaan Calon Mahasiswa Baru dan Masa Pengenalan Kampus Universitas Surel. Saat mataku hendak melanjutkan membaca ke baris bawahnya, tiba-tiba aku malah tersadar. Ternyata aku sudah berada di dalam tubuhnya. Maksudnya, bukan dalam artian aku benar-benar merasuk ke dalam tubuhnya. Tapi... baiklah, mungkin akan lebih mudah jika aku mengatakan: aku sudah berada dalam dekapannya.

Jangan salah paham, walau kelihatannya aku dan dia sedang saling mendekap, tapi ini sama sekali bukan adegan romantis layaknya Jukyung dan Suho yang ada dalam serial komik romansa atau pasangan karakter dalam karya manapun itu. Ini semacam... ketidaksengajaan dengan sedikit kekurangajaran yang akan terkesan romantis jika dilihat sekilas.

"Re???! Ada apa sih? Kok malah nyasar di barisan fakultas lain?" Salah seorang rekan panitia satu reguku berlari menghampiri dengan kepanikan yang berlebihan. Dia memeriksaku dari ujung rambut hingga ujung kaki, membuatku nampak konyol di depan para mahasiswa mahasiswi fakultas lain. Terlebih lagi rupanya tubuhku masih dalam dekapan si orang-pertama-yang-kulihat-ketika-membuka-penutup-mata-yang-dengan-kurang-ajar-menolongku-dengan-dekapannya ini, dan kini hal itu membuatku nampak sangat aneh.

"Tolong lepas."

"Yang sakit yang mana, Kak? Mau gue gendong?" Suaranya yang berat tadi terdengar parau ketika ia mengatakannya pada keadaan seseorang yang sedang dalam keadaan panik. Gendong dia bilang?! Hahaha ya ampun! Kurasa ada yang tidak beres dengan kepalanya. Dia pikir aku gampangan kali ya?

"Sangat. Tidak. Perlu. Saya mampu sendiri," Sahutku dengan sarkas. Bukan seperti itu juga sih maksudku. Itu agak...keterlaluan. Terima kasih! Untuk kesigapanmu. Apa jadinya jika aku benar-benar ambruk saat sedang ditugaskan menjadi pembimbing OSPEK untuk para calon juniorku? Senior yang lemah. Dan juga, akan jadi seperti apa jika aku tumbang di depan ratusan pasang mata mahasiswa dan mahasiswi yang bahkan tidak kukenal ini? Pasti akan jadi berita heboh. Mahasiswi fakultas tetangga yang pingsan di tengah barisan OSPEK fakultas lain. Menyedihkan. Aku pasti akan lebih merasa malu dari ini jika dia tidak menolongku—mendekap—tadi.

Namun, biar bagaimanapun tetap saja caranya sangat menggangguku, "satu hal lagi, tolong jangan sembarang memeluk orang lain yang bahkan Anda tidak kenal." Kuucapkan kalimat terakhirku sambil berjalan semampuku meninggalkan kerumunan. Berjalan sesantai mungkin. Anggap tak ada yang terjadi. Anggap saja bukan apa-apa. Yah, yang penting menjauh dari pusat perhatianlah!

Lalu setelahnya aku langsung meminta ijin pada ketua panitiaku untuk pulang lebih dulu.

🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻

PADAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang