Hari mulai menghabiskan jamnya, jarum jam sudah menunjuk angkat 7. Masih di hari Kamis yang cerah, kini aku dalam perjalanan menuju Brebes, ehm... bukan aku tapi aku dan Mas Mahesa yang kini menjadi kami kembali. Setelah berfoto dan mampir ke restaurant milik Mbak Dila, lalu kembali ke rumah untuk berkemas dan kemudian langsung mengejar kereta namun tak beruntung, harus tertinggal.
Terjadi sedikit drama disaat aku sudah hampir telat, Bunda masih memaksaku membawa sebuah map yang tebal entah apa isinya, namun aku enggan karena sudah terlalu lelah. Bunda tak mengatakan apa isinya, tas jingjing dan goodiebag milikku sudah penuh, berakhir Mas Mahesa yang membawanya di dalam ranselnya.
Jika ingat peristiwa tadi aku ingin marah, baru pertama kali seumur hidupku harus ketinggakan kereta. Ingin mengomel sepanjang rel kereta jurusan Malang-Bandung jika ada, namun ada Mas Mahesa yang membuatku tenang.
Cutiku habis hari ini, dan besok aku sudah harus mulai bekerja. Keluar dari Poncol kami beralih ke Stasiun Tawang, harus menunggu beberapa waktu untuk Argo Muria, terakhir namun semua terasa cepat saat kulalui dengannya. Ini mungkin terdengar memalukan macam remaja labil, tapi begitu yang kurasakan.
Sejujurnya aku tak tahu harus menghadapi Mas Mahesa bagaimana saat dia datang. Pikirku, kami akan merasa canggung kembali. Dan Awalnya aku juga merasa kami saling asing kembali, namun aku masih tak bisa menolak saat dia menggenggam tanganku sejak tadi hingga setengah perjalanan terlalui. Genggaman tangan kami, kini dia letakkan di atas pangkuannya. Aku juga masih suka saat dia memanggilku "dek" dan kami masih tak risih untuk menatap mata satu sama lain sepersekian detik lamanya. Meski tanpa kalimat, tapi kami suka menikmati diam bersama.
Sekian lama dalam keheningan, suara dering ponsel kudengar, getarnya kurasakan di balik punggungku dari ponsel ponsel milik Mas Mahesa, ponselku ada di dalam tas yang kupangku. Aku menyingkir, mengangkat tubuh agar tak lagi menyender padanya. Aku melirik ke arah Mas Mahesa, mempersilahkannya untuk menganggakat telfon.
Dia melihat layar ponselnya. "Dari Ibu." Ucapnya.
Aku mengangguk. Melempar pandanganku ke luar jendela.
Mas Mahesa mengangkat ponselnya. "Hallo, Assalamualaikum, Bu."
Aku tak mendengar apa yang mereka bicarakan.
"..."
"Ini di kereta arah Tegal Bu," Mas Mahesa menjawab yang disana.
"..."
"Iya dengan Alina, besok dia sudah harus kerja."
"..."
"Nggih Bu, terima kasih. Walaikumsalam." Mas Mahesa memasukan ponselnya ke dalam saku setelah telfon berakhir.
Aku menatap Mas Mahesa kembali. "Kenapa, Mas?" Tanyaku.
"Ibu bilang, nanti ada supir yang jemput."
"Ibu tahu Mas nyusul saya ke Semarang?" Eh, sepertinya aku terlalu terkesan pecaya diri. Aku sedikit terkejut, macam sudah terencana. "Ibu tahu Mas ke Semarang?" Ralatku cepat. Aku tak tahu kalimat tanya yang benar bagaimana. Kedua kalimat itu sama bodohnya.
Kulihat Mas Mahesa tersenyum kecil. Aku menatap Mas Mahesa tak suka, dia mengusap puncak kepalaku.
"Iya Mas datang buat nyusul kamu, dek."
"Mas tahu dari mana saya wisuda?" Tanyaku. Sebenarnya ini juga tak perlu lagi untuk kutanyakan.
"Dari Ibu."
Aku mengangguk mengerti, sudah puas dengan jawaban singkat darinya.
Kini kutatap wajah Mas Mahesa, dia yang juga kini tengah menatapku. Kulirik juga tautan tangan kami, lalu kembali lagi pada wajah pria di sampingku yang membuat dia memberikan tatapan bertanyanya. Kuamati rahang kokoh itu, hidung mancung, bibir ramah selalu menjadi ciri pria itu. Mas Mahesa masih sama, sejauh ini tak kutemukan sesuatu berbeda selain bekas luka jahit di atas pelipis kirinya yang cukup mencolok.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Midwife Is My Future [AUTHOR NGARET]
Storie d'amoreSiapapun tidak akan pernah bisa mencintai untuk kedua kali dengan cara yang sama setelah merasakan suatu kekecewaan. Alina Maudia, seorang bidan cantik lemah lembut. Hanya mengisi hidupnya dengan satu hal. Mengabdi pada Negara dengan membantu proses...