Bab 1

22 0 0
                                    

Ku tatap pantulan diriku dalam cermin, berbalut gaun pengantin berwarna putih rancangan desainer ternama dikotaku. Kepalaku tertutup hijab berwarna senada dengan gaunku dan mahkota kecil berwarna silver bertahtakan batu safir bertengger dikepalaku menambah nilai plus penampilanku saat ini.

Yaa... Hari ini adalah hari pernikahanku, hari yang menjadi impian setiap gadis diusiaku. Hari yang akan menjadi hari paling istimewa dalam hidupku,,seharusnya seperti itu. Tapi itu tidak terjadi padaku,, hari ini ini bukanlah hari yang ku tulis dalam daftar planningku,, setidaknya bukan saat ini. Tapi apalah dayaku saat jemari lemah itu mengelus tanganku memohon, dengan tatapn sayu menahan isak bahkan mungkin menahan sakit,, ya beliau adalah ayahku,, satu-satunya orang tua yang kumiliki. Karena ibuku sudah lebih dulu menghadap Illahi.

"Mau ya nduk, ayah mohon. Namanya Satria Pramudya Nugraha nduk, anak dari om Nugraha sahabat ayah, Ini permintaan ayah yang pertama dan yang terakhir. Setelah ini ayah tidak akan pernah meminta lagi" ucapnya beberapa hari yang lalu saat aku menemani beliau di rumah sakit.
Sungguh seperti sebilah pisau menghujam ulu hatiku mendengar suara lemah ayahku memohon padaku. Ayah tidak pernah memaksaku melakukan sesuatu, selama 23 tahun aku hidup didunia ini memang ayahku tak pernah menuntutku banyak, justru beliaulah yang memenuhi segala keperluanku, membebaskanku memutuskan jalan yang akan ku ambil selama jalan itu tidak bertentangan dengan syariat.
Betapa bodoh dan durhakanya aku jika aku tidak mau mewujudkan apa yang menjadi mimpinya saat itu, namun satu sisi hatiku seperti menolak,, aku hanya ingin menikah dengan orang yang aku cintai dan mencintaiku,, bukankah itu mimpi setiap gadis??
Tapi apa aku setega itu mematahkan mimpi ayahku, yang selama ini mewujudkan setiap mimpi-mimpiku tanpa kata tidak. Sungguh aku akan sangat menyesal jika berkata tidak, maka ku mantapkan hatiku untuk mewujudkan mimpi ayahku,, semoga dengan terwujudnya mimpi beliau, akan membuat ayahku bahagia dan kembali sehat seperti sediakala,, itu doaku.
Dengan air mata berlinang dan suara bergetar ku setujui permintaan ayah, tanpa ku ketahui siapa gerangan calon imamku.

"Ndok,, sudah selesai ijab kabulnya," suara wanita baruh baya itu membuyarkan lamunanku, beliau adalah Bu lek Tia, adik kandung ayahku.

Aku berbalik dan ternyata Bulek Tia tidak sendiri, beliau mendorong kursi roda ayah mendekatiku. Aku segera menghambur kepelukan ayahku, aku menangis antara haru, bahagia dan juga... Sedih.
Haru karena aku memiliki gelar baru, yang bahkan tidak pernah ku pikirkan, atau lebih tepatnya belum terpikirkan,, menjadi seorang istri.
Bahagia, setidaknya aku pernah melakukan sesuatu yang membuat senyum ayahku mengembang diwajahnya yang tirus, dan mata itu, mata yang sama dengan miliku begitu bersinar, bahagia. Apalagi yang bisa membuatku bahagia selain kebahagianku ayahku.
Dan sedih, karena membayangkan akan bagaimana aku menjalani hari setelah ini dengan orang asing??
Entahlah... Saat ini aku hanya ingin memeluk ayahku, ku ciumi punggung tangannya dengan khidmat,, lalu kurebahkan kepalaku dipangkuannya seperti waktu kecil dulu. Sungguh aku rindu saat seperti ini,, lalu ku rasakan tangan ayahku membelai kepalaku,,

"Putri kecil ayah sudah dewasa, sudah menjadi seorang istri sekarang" ucapnya masih dengan mengelus kepalaku.

"Jadi istri yang sholeh ya nduk,, yang berbakti sama suami, nurut kata suami, semoga bahagia," lanjut ayah lalu mencium puncak kepalaku.
Aku mendongak menatap mata sayunya, lalu mengangguk.

"Sudah jangan menangis, mosok wes nduwe bojo sek cengeng" kata ayah lagi sambil menoel hidungku. Aku memberengut dan itu sontak membuat ayah terbahak. Entahlah... Saat melihat ayah terbahak seperti ini aku merasa ayah seperti sudah sehat kembali,, tapi hatiku merasa hampa. Mungkin memang karena bahagia jadi ayah semakin sehat,, putusku kemudian. Dan tak lama Bulek Tia segera membawaku keluar dari kamarku untuk menemui suamiku,, dan ayahku diantar ke kamar oleh paklek Rayhan suami Bulek Tia yang bermaksud menjemputku karena lama sekali kami tidak segera turun.

Lelaki itu,, lelaki yang duduk dihadapan penghulu, mengenakan setelah berwarna senada dengan gaun yang ku kenakan, dengan peci menghias kepalanya,, dia adalah suamiku, imamku, orang yang akan menuntunku mengarungi bahtera inu. Aku seketika terhenyak ketika mata kami saling beradu, tidak lama hanya sepersekian detik,, dan itu mampu membuat hatiku berdesir. Sungguh aku tak pernah merasakan hal ini sebelumnya, entah perasaan apa ini. Ku hirup udara sebanyak yang ku bisa, perlahan ku hembuskan, lalu aku melangkah mendekatinya dan duduk disampingnya.
Tangan ku diraihnya lalu memasangkan cincin pernikahan kami, akupun melakukan hal yang sama. Lalu aku mencium penuh khidmat tangannya, dan dia mencium keningku. Ku pejamkam mataku, lalu sayup-sayup aku mendengar suara Paklek Rayhan memanggil-manggil nama Ayah.

"Mas... Mas Agas,," suara paklek semakin keras,, tanpa pikir panjang aku segera lari ke kamar ayah meninggalkan suamiku,
Lalu diikuti semua orang yang ada pelaminan.
Aku mematung didepan pintu kamar ayah, menatap wajah ayahku yang terlihat lebih pucat dari terakhir aku melihatnya, matanya terpejam tidak bergerak sama sekali. Pak Lek memeriksa nadinya,, lali terlihat pak lek menghela nafas.

"Yang sabar ya nduk,, ayahmu sudah tenang" kata pak lek setelah berada didepanku.

Hatiku sesak bukan main, buliran-buliran bening pun luruh tanpa permisi,, aku tergugu,, tubuhku luruh seketika,, aku menangis sejadi-jadinya... Bukan ini yang ku inginkan ketika memenuhi mimpi ayahku, aku ingin ayahku kembali sehat bukan malah sebaliknya. Aku meraung-raung menyakiti diriku sendiri, Bulek mencoba menenangkanku memberi petuah-petuah yang tak ingin ku dengar saat ini. Yang ingin ku dengar adalah petuah-petuah dari ayahku. Entah bagaimana aku nanti tanpa ayah, kepalaku terasa berputar, pandanganku kabur lalu semua menjadi... Gelap.

Sehangat JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang