Jurnal Kesembilan

8.9K 707 62
                                    

"Ini." Aku menyerahkan berkas surat perceraian itu pada Alvaro. Azka masih memegang lenganku satunya memandang bingung pada kami berdua karena suasana tegang yang memang sangat terasa di sekitar kami.

Alvaro diam menerima berkas surat perceraian itu. Tidak ada raut senang yang awalnya kuduga akan ia tunjukan. Dia sekilas melihatku, tapi aku masih tidak dapat membaca apa yang sedang dirasakannya sekarang. Orang ini terasa asing. Tanpa sadar aku sedikit memundurkan kakiku, ketika Alvaro mengangkat Azka dan membawa ke gendongannya.

"Azka setiap dua minggu sekali akan menginap di sini dua hari." Alvaro tidak memberikanku kesempatan berbicara, dia lansung pergi membawa Azka dengan motornya.

Aku mengepalkan tanganku marah. Tapi kurasa untuk saat ini cukup. Meski Azka hanya akan di sini dua hari setiap dua minggu, aku akan bertahan dengan pengaturan seperti itu sementara. Ke depan, aku pasti tidak akan diam. Untuk sekarang aku hanya harus lebih fokus demi memulihkan diriku dulu sepenuhnya.

Sampai kini aku masih harus tetap minum obat, pernah satu hari aku ingin berhenti, tapi keadaan hati dan pikiranku lansung kacau balau. Setidaknya, minimal butuh waktu satu tahun jika aku ingin berhenti meminum obat itu kata psikiaterku. Itupun kalau aku tidak terlalu sering stress dan berpikiran berat. Namun, apa aku bisa? Sedang masalahku juga belum selesai sepenuhnya.

"Teh, wajahmu pucat. Ibu buatkan teh manis ya." Ibu menuntunku masuk ke dalam dan mendudukanku di kursi ruang tamu, sedang ibu pergi ke dapur. Tak lama beliau membawa segelas teh manis hangat dan diberikannya padaku. "Jangan terlalu dipikirkan, teh. Pria macam Alvaro, ibu menyesal dulu kenapa setuju menikahkanmu dengan pria dari keluarga itu. Seharusnya ibu memberitahu teteh sejak awal."

Aku yang sedang meminum teh manis berhenti. Meletakan gelas di atas meja, aku menatap penasaran ke ibu. "Apa maksud perkataan ibu? Memberitahu Rahma apa?"

Ibu tampak ragu melanjutkan ceritanya. Beliau beberapa saat diam sebelum lanjut berbicara, "dulu jauh sebelum kamu menikah dengan Alvaro, teh... banyak yang memperingatkan ibu untuk tidak setuju dengan hubungan kalian itu."

"Kenapa?" tanyaku agak kaget. Padahal seingatku sebelum semua kejadian yang menimpaku terjadi, tak pernah kudengar ada berita atau selentingan aneh tentang Alvaro ataupun keluarganya selama kami berpacaran ataupun sesudah menikah. "Ada apa dengan keluarganya Alvaro, bu?"

"Banyak yang memperingatkan ibu, keluarga Alvaro itu bukan keluarga baik. Sikap pada tetangga mereka saja pun itu sombong dan sering merendahkan orang lain, ibu juga mendengar gosip suami sebelumnya dari kakak perempuan Alvaro, Kiara itu menceraikannya karena Kiara ternyata telah banyak mengambil harta suaminya lalu memberikan pada keluarganya tanpa suaminya tahu. Kejadiannya sama sepertimu, teh. Harta keluarga mantan suami Kiara sekarang ludes, tak bersisa."

Aku tidak bisa berkomentar apapun. Tentang sikap mantan mertuaku, sedikit banyak aku mengerti dan paham apa yang mungkin sebenarnya sedang terjadi sekarang. Bukannya itu akan mengurangi rasa sakit, amarah dan benciku pada Alvaro, tapi aku menjadi tahu mungkin ini bukan salah sepenuhnya dia juga. Aku mengerti posisi Alvaro dalam keluarga, dalam keluarga itu mama Alvaro adalah penentu segala keputusan, baik suami ataupun anak-anaknya tidak ada yang bisa menentang. Apalagi aku yang dulu hanya menantu. Tidak ada bedanya dengan tamu.

"Aku mengerti, bu. Ternyata aku masih beruntung bisa lepas dari keluarga macam itu. Suatu saat Allah pasti akan membalas rasa sakit keluarga kita pada mereka."

Ibu mengangguk, dan tersenyum lembut membelai rambutku. "Yang penting keluarga kita sehat dan bahagia. Kalau harta, kita bisa mencarinya lagi."

Aku ikut tersenyum dengan ibu.

Sang Mantan Istri [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang