"Ya Allah, capek juga ya kalau begini terus" ucap Uyun dengn nada kecapekan.
"Iya nanti lama-lama kulit kita tambah hitam" tambah Imroatun.
"Hushh.. gak boleh bilang gitu. Allah gak menilai kita dari warna kulit kok. Labet wudhu kita setiap hari akan menyinari kita di akhirat nanti. Slowly my girls" ucap Aya dengan nada santai.
"Nggih bu ustadzahku" ujar Dian.
"Kok haus ya?" Royya mengeluh.
"Ya udah si beli minum sana. Ojo koyo wong susah" ledek Husna.
"Emang ada yang bawa uang?" tanya Aya.
"Sudahlah, ishbir 'ala halina, ada sungai selama gak ada najisnya halal-halal aja kan? Santri kok manja!" Imroatun menimpali dengan nada kesal.
Belum selesai para santriwati berbincang-bincang, datanglah sang Wali bersama rekannya, Zain.
"Mbak, ini saya bawakan minum" ujar Syukur.
"Oh nggih kang repot-repot" jawab Imroatun.
"Mboten nopo-nopo mbak" ucap Syukur dengan nada halus.
"Jazakumullah Kang Syukur, ini kebetulan Mbak Royya lagi haus" ucap Dian.
"Nggih sakwangsulipun mbak" jawab syukur.
"Eh , Aya , aku mau bicara sama kamu" suara Zain mengagetkan yang lain.
"Hacie cie. Mau ngungkapin perasaan ya kang?" ledek Uyun.
"Kamu Yun! Sok tau!" tegas Zain.
"Iya kang ada apa?" Aya menjawab.
"Aku mau pinjam buku yang judulnya Cerita Ulama Salaf" kata Zain.
"oh iya kang nanti tak bawakan pas ngaji diniyah ya"
"Syukron qobla dzalik. Oh ya, ada yang perlu kami bantu mbak-mbak sambil kalian istirahat" tawar Zain.
"Itu kang, yang bagian sana belum dikasih pupuk" ujar Imroatun.
"Oh ya mbak biar kami bantu, ya sudah mbak kami tinggal dulu" ucap Syukur.
Dalam susana siang dibawah terik matahari yang menyengat, ditengah kelelahan yang sedang dinikmati oleh penghuni kamar pojok pesantren itu, bergumamlah hati Aya yang sedang mengagumi Zain, entah apa yang membuatnya kagum pada santri pemilik nama Zain itu. Namun Aya sadar itu hanya sebatas rasa kekaguman yang tidak boleh lebih.
Pandangan Aya pada Zain adalah bahwa Zain merupakan santri yang kendhel, baik dan penolong. Namun pandangan itu hanya akan timbul sesaat. Karena sebenarnya Zain adalah seorang yang kurang Aya sukai, entah dengan alasan apa. Namun Aya benar-benar tidak suka Zain, walau kadang rasa kagum muncul pada seorang Zain. Aya juga merasakan bahwa Zainpun tak suka pada dirinya. Setiap mereka tak sengaja bepapasan mereka saling pasang wajah sinis bahkan sering sekali mereka berdua terlibat perselisihan yang menimbulkan adu mulut yang tak terhindarkan dari keduanya yang tak jarang banyak santri yang melihatnya. Entah itu dalam masalah pembelajaran ataupun yang lainnya. Mereka berdua tak pernah sejalan. Tapi, anehnya mereka juga tidak jarang saling meminjam buku atau kitab satu sama lain. Entah apa yang sebenarnya ada pada hati Aya dan Zain.
Tiba-tiba saja lamunan Aya yang disertai senyuman kecil pada wajahnya terpecah oleh keusilan Uyun, karena memang Uyun adalah santri paling usil diantara teman-teman satu kamarnya. Uyun langsung saja brada di depan Aya sehingga menghalangi pandangan Aya pada Zain.
"Dorrr!!.. heh, Mbak Aya gak boleh lho mandangin cowok gitu. Zina mata itu" usil Uyun sambil mengelengkan kepala.
"Astaghfirulahal'adzim.. iya Yun aku gak sadar. Memandangi ciptaan Allah yang beguitu indahnya" jawab Aya.
"Kang Syukur atau Kang Zain, Ya?" timpal Imroatun.
"Gak mbak, itu pemandangan bagus banget Masyaa Allah. Hehe" jawab Aya dengan nada malu.
"Alah , kang Zain palingan" ucap Husna dengan nada penuh yakin.
Syukur dan Zain mendatangi keenam santri putri itu karena telah menyelesaikan tugasnya.
"Mbak ini sudah selesai, ada yang perlu di bantu lagi" tanya Syukur.
"Ehm. Mboten kang. Besok lagi saja, sekarang njenengan dan Kang Zain kembali ke pondok mawon" jawab Royya.
"Ya sudah kami pamit dulu mbak. Assalamualaikum" jawab Zain.
"Waalaikumussalam warahmatulloh" jawab ke enam santri putri itu dengan serentak.
"Kita pulang yuk, tinggal nunggu hasilnya bagaimana. Semoga saja tidak mengecawakan" ucap Dian.
Setelah membersihkan alat perkebunan, keenam santri itu pun pulang untuk melanjutkan kegiatan di pesantren seperti biasanya.
YOU ARE READING
Cinta Dalam Bait Jurumiyah
RomanceMencintai memang tanpa syarat. Tapi tak selamanya syarat dal mencintai itu tidak ada.