Usai mengaji kitab Tanbighul Ghofilin semua santri melanjutkan kegiatannya. Entah itu tidur, bersih diri atau yang lainnya. Berbeda dengan ketegangan yang sedang terjadi di kamar pojok bawah pesantren, ya, kamar AlfaIqir Ila Rohamtillah.
"Mbak, mbak gawat, gawat banget kita gagal" ucap Husna dengan nafas terengah-engah.
"Ada apa to kalian? Lari-lari gitu dari kebun, melihat cowok ganteng atau lihat setan?" ledek Imroatun.
"Bu..bu..bukan itu mbak, ini tentang tanaman kita" jawab Dian.
"Tanaman kita kenapa udah pada tumbuh besar kan?" tanya Royya.
"Gak mbak, tanaman kita rusak ada yang roboh. Kacau pokoknya" jelas Husna.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Yang benar kamu?" timpal Aya.
"Iya mbak, sekarang kita bareng-bareng ke sawah aja" ajak Dian.
"Tapi aku lagi makan, baru aja mulai. Masak ditinggal pergi begitu aja, mubadzir kan?" jawab Uyun dengan nada memelas.
"Ya sudah, kamu makannya dihabisin dulu. Nanti kamu nyusul sama Mbak Royya. Yang lain ke kebun dulu" tegas Imroatun.
Mereka bergegas menuju sawah. Dan benar apa yang dikatakan Husna dan Dian. Tanaman mereka rusak, keadaan kebun kacau.
"Ya Allah bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan?" cemas Imroatun.
"Uyun, Meli.. kalian kenapa nangis?" tanya Aya.
"Kita gagal mbak, kita mengecewakan, tanaman kita rusak" jawab Uyun sambil menagis tersedu.
"Siapa yang tega melakukan ini pada kita, kita sudah susah payah puasa ngumpulin uang, kesana kemari cari bibit, ke rumah warga-warga minta pupuk, tapi diperlakukam seperti ini" geram Husna.
"Astaghfirullah, sudah-sudah jangan berbicara seperti itu. Apalagi ngungkit yang sudah-sudah. Kita harus ikhlas melakukan semua itu, Allah Maha Adil kok. Juga jangan su'udzon gak baik, iso ndadekake petenge ati lho. Siapa tau ini ulah angin atau hujan" ucap Aya dengan tenang.
"Tapi tadi malam gak ada hujan atau angin besar Aya. Kejam sekali orang yang melakukannya" bela Imroatun.
"Siapa tahu ada hewan malam kita gak tau kan. Yang terpenting kita ikhlas dan sabar pasti ada solusi kok. Husna, Uyun sudah jangan menangis lagi. Air mata kalian gak akan bisa menyelesaikan masalah. Sekarang kita pikirkan bagaimana solusi untuk msalah ini" ucap Aya.
"Tapi kita sudah tidak punya uang Aya, apa yang akan kita lakukan?" tanya Imroatun.
Suasana menjadi hening dan semua berdiam memikirkan solusi yang tepat. Suara Aya memecahkan keheningan di tengah senyum lebar sang mentari.
"Aku punya ide. Bagaimana kalau kita mengumpulkan barang bekas yang ada di pondok terus kita jual" getak Aya.
"Memangnya uangnya cukup untuk beli bibit?" tanya Imrotun.
"Kalau gak cukup nanti kita cari di jalan-jalan atau di pedagang kan banyak?" usul Husna.
"Kalau masih kurang?" tanya Uyun.
"Kita jual barang-barng kita yang bisa di jual. Ini aku punya anting-anting" ucap Aya.
"Aku juga punya cincin" tambah Imroatun.
"Oke insyaa Allah cukup" tegas Husna.
"La nanti kalau di tanya sama orang tua kemana barang-barang kita gimana?" ucap Uyun.
"Sudah itu gampang, Allah akan menggantinya dengan yang lebih. Yang penting sabar dan ikhlas itu kuncinya. Ayo kita lakukan sekarang" ajak Aya.
Akhirnya mereka melaksanakan rencana mereka dengan sungguh-sungguh. Hari-hari mereka lewati susah payah mereka hadapi bersama. Saling menguatkan, kebersamaan doa, ikhlas dan sabar adalah modal mereka. Mereka tidak peduli dengan barang-barang mereka yang habis terjual untuk membiayai kebun itu. Yang mereka butuhkan adalah tujuan mereka tercapai dengan niat mardhotillah untuk berpastisipasi dalam pesantren. Aya, Uyun, Dian, Husna, Imroatun dan Rayya menikmati hari-harinya di sawah dengan desau angin yang menyejukkan, gemricik alunan air sungai yang menenangkan dan untaian sholawat dan murojaah nadhoman yang mereka lantunkan di tanah yang semula kuning, kering kerontang disulap menjadi surga dunia dengan warna-warni sayuran yang tumbuh subur dengan siraman doa.
YOU ARE READING
Cinta Dalam Bait Jurumiyah
RomanceMencintai memang tanpa syarat. Tapi tak selamanya syarat dal mencintai itu tidak ada.