Aku berlari menaiki anak tangga menuju kamar. Tak kuhiraukan pertanyaan abi dan umi yang keheranan melihatku kembali ke rumah. Biarlah Amran yang menjelaskan pada mereka.
Kurebahkan diri di ranjang tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu. Ingin terlelap walau sejenak. Melupakan apa yang sudah terjadi hari ini.
Amran, apa yang harus kuperbuat padamu?
***
Aku terbangun saat jam menunjukkan pukul dua siang.
‘Astaghfirullaah, aku belum shalat Zuhur.’
Segera aku melompat turun dari ranjang dan bergegas ke kamar mandi. Membersihkan diri sejenak sebelum berwudhu’ dan menunaikan shalat zuhur yang sudah begitu terlambat.
‘Kenapa Amran tidak membangunkanku? Tega sekali dia membiarkanku tidur hingga shalatku terlewat.’ Umpatku dalam hati seraya melipat mukenaku. ‘Kemana dia?’
Semua barang bawaanku tadi tergeletak begitu saja di sudut kamar. Tapi Amran tidak kelihatan.
Aku menyeret langkah keluar kamar setelah mengenakan hijabku. Memeriksa balkon sejenak, siapa tahu Amran tengah bersantai di sana. Tapi tak kutemukan.
Lalu setengah berlari aku menuruni anak tangga. Berharap menemukan sosoknya di ruang tengah, tapi tetap nihil. Kuperiksa juga teras belakang, tak ada siapapun di sana. Abi dan umi juga tidak kelihatan. Sepi sekali rumah ini. Di mana mereka semua?
Aku pun melangkah ke ruang tamu, dan serta merta langkahku terhenti saat mataku menangkap sosok laki-laki yang tengah asyik membolak-balik sebuah buku tebal di ruangan itu. Dadaku tiba-tiba kembali bergemuruh. Tapi aku berusaha mengabaikannya dan melanjutkan langkahku menuju teras depan.
“Amran tidak di rumah,” lelaki itu membuka suara tanpa melihat dengan siapa dia sedang bicara. “Aku tidak tahu dia kemana, tapi tadi setelah shalat zuhur dia pergi, hanya pamit mau ke luar sebentar katanya,”
Aku tertegun di ambang pintu.
“Kamu ngapain di sini?” Selidikku sambil membalikkan badan hingga aku dapat menemukan lelaki itu masih tak beralih dari buku di tangannya.
“Ada Madya dan umi di dapur. Jadi jangan takut kalau kamu berpikir hanya kita berdua di rumah ini.” Ujarnya seolah tahu apa maksudku.
“Ooh,” hanya itu yang kuucapkan sambil berlalu meninggalkannya. Aku tak ingin berlama-lama di sini. Tak ingin mengungkit kembali sebuah rasa yang hampir terkubur bersama kehadiran Amran di sisiku.
“Madya? Kapan datang?” Sapaku ketika kulihat ia tengah asyik membuat kue bersama umi.
“Eh, Kak Jihan? Udah bangun?” Wajah Madya tampak berseri. Ia mengambil tanganku dan menciumnya dengan hormat.
“Udah, Kakak tadi ketiduran. Mana kebablasan lagi nggak ada yang bangunin shalat zuhur.” Sahutku sambil merengut.
“Kakak kenapa nggak jadi ke Jakarta?”
Aku terdiam sebelum akhirnya menggeleng sambil menyeduh teh hangat. “Kakak tunda dulu sementara waktu,”
“Haaaa...pasti nggak mau jauh-jauh dari Bang Amran yaaa?” Ejeknya.
“Apa sih kamu?”
“Madya, jangan goda kakakmu terus! Ini lanjutin kerjaan kamu, pamali kalau anak perempuan kerjaannya nggak beres,” tegur umi yang sejak tadi hanya tersenyum melihat kedua putrinya.
“O iya, maaf umi. Aku sampai lupa!” Sahutnya sambil menyeringai.
“Lagi ngidam apa nih? Tumben bikin kue sampai datang ke rumah?”