Three

895 98 22
                                    

Irene menarik kembali kata-katanya, dia tidak bersyukur mendapat teman kerja macam Jennie, Rose dan Joy. Bagaimana mau bersyukur kalau wanita itu merasa jadi tersangka penculikan dibanding anak baru yang statusnya masih trainee.

Penasaran sih boleh, tapi jangan membuat telinga orang congek juga kali, sialan!

"Oke tenang, gimana aku mau ngomong kalo kalian gak berhenti ngoceh?" Irene hampir berteriak, tapi ingat dia masih berada di ruangan dengan para pekerja lain sedang sibuk mengerjakan tugas masing-masing--kecuali tiga wanita dengan wajah haus info yang lagi ngerubungin Irene kayak semut ngerumunin gula.

Tolong beri space, saya gerah pemirsah..

"Jadi, ada apa tadi pak Seulgi manggil kamu?"

Irene menerawang, pikirannya dibawa kembali pada kejadian beberapa menit lalu.

"Hah?!"

Seulgi tertawa melihat reaksi Irene yang sudah dibayangkannya sejak dia berencana memberi tahu wanita itu tentang pemindahan posisi dadakan ini.

"Begini miss Bae, saya diminta pak CEO memindahkan anda ke posisi sekretaris pribadi beliau. Dan tentu saja fee yang anda terima juga akan di naikan."

Bukan itu masalahnya.. Kenapa harus dia gitu loh? Kan banyak senior lain yang lebih layak?

"Bukan itu pak, kenapa saya?"

"Melihat pengalaman anda miss Bae, yang dulu pernah menjadi asisten manajer, benar?" Seulgi membaca data pengalaman kerja milik Irene, sebelum kembali memandang gadis yang berasal dari Daegu itu intens.

Melihat Irene mengangguk, Seulgi kembali melanjutkan perkataannya.

"Jadi, pak Wendy meminta anda mengisi posisi sekretaris yang kosong, karena kebetulan manajer kami mengundurkan diri dan saya sendiri diminta mengisi kekosongan posisi itu."

Jadi begitu, Irene paham sekarang. Tapi sebenarnya dia juga masih butuh waktu untuk memikirkan semuanya.

"Boleh saya minta waktu pak?"

"Take all the time you need, anda bisa langsung menemui saya akhir minggu ini untuk keputusan akhir. Saya tidak akan memaksa, tapi saya punya saran, sebaiknya anda menerimanya. Karena kesempatan ini sangat bagus untuk karir anda kedepan. Jangan disia-siakan."

Irene dalam hati menggerutu, kenapa orang-orang tinggi disini hobi sekali mencampur bahasa inggris dan bahasa ibu mereka ketika berbicara.

Iya, Irene benci bahasa Inggris bahkan sejak dia masih sekolah PAUD dulu. Apa PAUD termasuk sekolah--padahal yang mereka lakukan hanya main tanah dan memakan krayon? Molla..

"Baik pak, terima kasih. Saya akan menemui bapak Jumat ini." Irene berdiri kemudian membungkukan badannya sebentar.

"Kalau begitu saya permisi dulu."

"Jadi ya gitu.." Gadis itu mengangkat bahunya ringan. Sejujurnya Irene masih sedikit kaget dengan semua kejadian mendadak ini. Tidak pernah dalam mimpi terliarnya pun, dia membayangkan mendapat pekerjaan dengan posisi enak di perusahaan terbesar seKorea.

Mengingat, dia hanya lulusan S1 dan masih trainee.

"Waah sumpah beruntung banget, udah terima aja. Gajinya pasti gede. Bisa ikut bos ganteng kemana-mana. Dan mungkin juga kan dapet kesempatan diajak keluar negeri kalo pak bos ada urusan ke sana." 

Joy benar, itu juga yang Irene pikirkan. You see, Irene hanya anak yatim yang mencoba peruntungan dengan hijrah ke tanah Seoul. Dia sudah melewati banyak sekali kesulitan di masa mudanya--masa menempuh pendidikannya karena Irene juga belum tua-tua amat, baru 26.

Irene bersyukur dilahirkan dengan otak cukup pintar, sehingga semasa kuliah dulu gadis itu bisa lolos tes beasiswa yang diadakan beberapa lembaga yang memang setiap tahunnya mengadakan program bantuan tersebut. Terutama anak tidak mampu namun berprestasi.

Si maso matematika, begitu teman-temannya memanggilnya dulu. Enggak enak banget sebenarnya dipanggil maso. Kamu tahu artinya apa? Well, artinya itu antonim dari kata Sado.

IYA DIA DIPANGGIL MASOKIS CUMA KARENA DIA HOBI KENCAN DENGAN SOAL-SOAL KALKULUS, ALJABAR, TEORI PELUANG DAN TEMAN-TEMANNYA YANG LAIN! Aku tuh gak bisa diginiin, hiks.

Sudahlah, itu sudah berlalu cukup lama juga.

Intinya, dulu Irene merasa pernah menjadi orang paling susah se Korea. Jadi agak masuk akal, kalau sekarang tanpa pikir panjang dia berencana menerima tawaran pak Seulgi walau Irene tahu kedepannya tantangan yang akan menyambanginya pasti lebih sulit dari ini.

Lebih sulit dari membuat analisis strategi. Melakukan pencarian, pengelolaan, pengalokasian dana yang dibutuhkan perusahaan. Lebih sulit dari duduk diam mendengarkan ketiga orang wanita yang menamai diri mereka sebagai Wendy enthusiasts, menggosip tentang apa saja yang sedang hangat diperbincangkan di perusahaan. Terutama yang menyangkut pak Wendy.

Iya, semuanya akan berubah lebih rumit dari keadaannya sekarang. Tapi Irene adalah tipe wanita kuat yang sudah biasa melawan tantangan. Dia yakin, kalau yang ini sih pasti tidak ada apa-apanya dibanding pas Irene lagi ada di tanggal tua--saat masih jadi mahasiswi dulu.

Irene mengangguk yakin.
"Aku bakal nerima tawaran ini." Supaya aku bisa bantu ibu panti juga..

Joy, Rose dan Jennie bertepuk tangan heboh.

"Semoga beruntung ya.."

"Jangan lupa sama kita loh, hiks.. aku berasa lagi ngelepas anak aku kuliah ke luar negeri deh."

"Ya ampun pengen tukeran posisi deh, tapi kalo aku kan punya jantung lemah ya.. jadi pasti gak bakal kuat ketemu pak Wendy tiap hari."

Irene hanya tersenyum, sudah tidak sabar untuk hari jumat segera datang.

.

.

Irene berdiri kaku. Kakinya sulit digerakan, begitupun mulutnya. Darahnya berdesir dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Pengen balik ke divisi keuangan! Jerit Irene dalam hati.

Wajahnya juga pucat, ingatan tentang kejadian di toilet saat Senin lalu berputar-putar di kepalanya seolah tengah mengejek.

Irene tidak tahu, kalau lelaki yang dia pukuli waktu itu adalah CEOnya sendiri. Pak Wendy, yang bahkan Irene hafal kapan dia lahir--21 Februari, apa makanan dan warna kesukaanya--masakan rumah bundanya/biru.

Mata Irene enggan berkedip. Ditengah jantungnya yang berdebar gugup, pandangannya dapat merekam jelas setiap garis wajah yang dimiliki pria didepannya.

Kalau diperhatikan lebih jauh, bentuk muka Wendy itu cenderung memiliki rasa barat--iya, mirip bule. Katanya sih ayahnya orang Kanada, jadi tidak heran. Matanya tidak sipit seperti orang Korea kebanyakan, justru sedikit lebih besar dan berwarna coklat terang, namun tatapannya sangat tajam dan menusuk.

Alisnya tebal, berdiri rapi diatas matanya yang memiliki bulu cukup lentik. Hidungnya mancung--tipikal orang bule. Bibirnya merah alami dan terlihat sedikit kasar. Rambutnya jatuh dengan rapi di kedua sisi dahinya--menampilkan dengan jelas kening putih tanpa noda. Warnanya senada dengan iris coklatnya. Sangat cocok.

Terakhir, seringai seksi yang membuat garis rahangnya yang tajam bergerak kecil.

Orang ini terlalu sempurna. Dia bisa saja lulus jadi aktor atau model tanpa tes. Benar apa yang dikatakan teman-temannya. Pak Wendy itu ganteng banget.

Untuk sesaat, Irene mengakui kalau dia sempat kepincut. Tapi ketika pikirannya berteriak akan kejadian memalukan beberapa hari lalu--dan mungkin sedikit kurang ajar--rasa kagum itu hilang secepat debu ditiup angin.

Irene sedikit menyesali keputusannya menemui Seulgi pagi ini untuk mengabarkan lelaki itu, bahwa Irene bersedia mengisi posisi sekretaris untuk pak CEO.

Mati aku, 

selamat tinggal dunia..

TBC

Awokowkowkwkwkwk Irene dah ketemu Wendy nih, jadi gimana kisah mereka kedepannya?

jangan kemana-mana, karena kita akan segera kembali.

stay tune.

Mr. ArrogantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang