Bab 3

10 0 0
                                    

Suasana pemakaman sudah sepi, para pelayat sudah kembali ke rumah masing-masing termasuk Paklek sama Bulek yang memang aku minta untuk pulang dulu. Hanya tinggal aku disini bersama seseorang yang meski ku paksa untuk pergi namun bersikeras tetap disini, akhirnya aku mengalah, ku biarkan dia menungguku.
Aku bersimpuh disamping batu nisan ayah, tidak aku tidak menangis, meski masih belum percaya tapi hatiku sudah ikhlas.

"Langit sudah mulai gelap Jelita, kamu harus istirahat" suara pria yang beberapa jam lalu sudah menjadi suamiku.

Aku masih bergeming, ku tatap lagi gundukan tanah yang masih basah itu, diatasanya bertaburan bunga yang masih segar. Rasanya cepat sekali ayahnya pergi, seperti baru kemarin ayah mengangkatku diatas pundaknya lalu membawaku berlari kesana kemari. Hahh... Aku menghela nafas, mencoba melonggarkan sesak di dadaku, aku sudah berjanji untuk bahagia, Bissmillah... Ucapku dalam hati.

"Ayo kita pulang,, M-mas" ragu-ragu aku memanggilnya, aku bingung harus memanggilnya apa, hingga panggilan mas lah yang lebih enak didengar.
Dia mengangguk lalu menggandeng tanganku dan mengajak ku beranjak dari sana... Ada desir aneh yang kurasakan, jantungku berdetak lebih cepat, aku gugup... Perasaan apa ini??

Hahhh...
Aku menghembuskan nafas saat ku pandangi rumah mewah bak istana yang ada di depan mataku saat ini.
Ya ini adalah rumah Mas Satria, rumah yang akan selalu menjadi tempat ku pulang kelak.
Mas Satria memboyongku ke rumahnya, setelah 7hari kematian ayah. Yaa... Akhirnya aku yang mengalah untuk mengikuti suamiku meskipun hatinya begitu berat meninggalkan rumah ayah. Selain lebih dekat dengan kantor, bukannya memang seharusnya dirumah suami lah istri berada? Lagi pula ada Bulek sama Paklek yang menjaga rumah ayah. Nanti kalau aku rindu aku bisa minta ijin Mas Satria jika ingin mengunjungi.

"Ayo" suara Mas Satria memaksaku kembali ke dunia nyata nan fana ini.
Aku mengangguk, lalu ragu-ragu mengikuti Mas Satria yang lebih dulu masuk.
Aku mengedarkan pandanganku keseluruh penjuru rumah, tempat pertama yang bisa ku prediksi adalah ruang tamu mewah bergaya eropa dengan cat dinding yang didominasi warna putih, tidak banyak benda disini, hanya beberapa lukisan serta guci antik. Mas Satria berbelok ke arah kanan, aku mengerutkan kening karena disana aku menemukan seperti ruang tamu lagi tapi terlihat lebih santai, sama mewahnya dengan ruang tamu didepan tadi hanya saja disini lebih banyak foto Mas Satria dan foto keluarga, ah ya ruangan ini full kaca sehingga bisa dengan leluasa melihat taman kecil disamping rumah, tunggu bukan taman kecil tapi kolam renang besar yang dikelilingi taman dengan gaya vertikal.
Disebelah kiri ada 2 pintu tertutup, mungkin kamar tamu pikirku.
Aku masih mengikuti langkah Mas Satria sambil menjelajahi rumah ini dengan mataku, hingga tanpa kusadari

Brugh
Aku tidak tahu sejak kapan Mas Satria berdiri didepanku, hingga aku menubruk punggung bidangnya.

"M-maaf" ucapku cepat. Mas Satria tidak menjawab, masih sibuk dengan handphone nya entah sedang chat dengan siapa,, kenapa tiba-tiba aku jadi kesal?

"Kamu naik aja keatas, pintu sebelah kanan adalah kamarku, dan puntu yang tepat didepan tangga itu kamarmu,, yang dipojok itu ruang kerjaku"jelasnya tanpa dia sadari alisku bertaut semakin dalam tak mengerti.
"Aku akan ke kantor, ada pekerjaan mendadak, mungkin aku pulang sore, setelah aku pulang kita bicara", lanjutnya lagi. Aku hanya mengangguk, rasanya aku masih syok. Bagaimana bisa kami tidur dikamar terpisah? Kami suami istri, ya meskipun pernikahan kami bukan semata-mata keinginan kami. Entahlah... Aku terlalu lelah memikirkan semua ini, lalu tanpa babibu ku langkahkan kakiku menuju kamarku, aku ingin tidur sejenak.
Kurebahkan tubuhku pada kasur berukuran queen size, ku coba memejamkan mata namun nyatanya kantuk yang beberapa waktu lalu singgah kini sudah menguap entah kemana.
Jika di ingat-ingat selama tinggal dirumah ayah, Mas Satria memang tidak pernah tidur dikamarku. Entah tidur dimana dia, bahkan aku tak pernah mendapatinya tertidur, mungkin karena aku masih merasa kehilangan.
Apakah pria itu belum siap menikah, sama sepertiku? Entahlah... Mungkin dia hanya menghargai dan menghormatiku.
Entah sudah berapa lama pikiranku melayang entah kemana, hingga aku terlelap dalam tidurku.

Sehangat JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang