Munchen ,Juni 2010
Tidak ada alasan untuk meninggalkan Munchen pada musim panas .inilah masa terbaik untuk bersepeda disekitar English garden park sambil menikmati sinar matahari yang merupakan surga tahunan bagi warga kota.ia masih ingin duduk disebuah kursi yang berada di taman itu berbekal kanvas dan alat lukis.ia mulai berkutat dengan seketsanya menggambar sebuah objek didepannya.
Sambil mengosongkan baris terakhir rak bukunya dari rak yang tergantung disamping tempat tidurnya.
Pintu dibalik punggung nya berderit pelan.
."Chirs jangan bebani kopermh dengan buku biar Granma yang kirim semua bukumu ke Seoul".
Chirs tersenyum tipis,urung membereskan buku-buku tadi.Hatinya terusik.Granma mengatakan itu seolah ia tak kan kembali ke rumah ini.
Chris Tahu saat ini ia hadir tak akan terlerakan.Hanya keajaiban yang bisa membatalkan Chris untuk pergi ke Korea. Seminggu yang lalu ia mendapat Telpon dari Mamanya,bahwa orang tuanya bertengkar hebat karena harus melepaskan putra sulungnya pergi ke Jerman untuk merawat neneknya yang hidup sendirian daripada sang nenek harus tinggal dipanti jompo karena terlalu tua untuk tinggal sendiri.
Papa khawatir Munchen akan menghidupkan anaknya untuk menjadi seorang seniman.kenapa takut?bukankah dikota ini Mama juga terlahir sebagai seniman?.Seoul,Juli 2010.............
Terlihat Cowok bertubuh mungil itu tak henti-hentinya bergerak kulitnya tersumbat earphone yang mengumandangkan musik new wave koleksi kakaknya.Dia baru saja lulus SMA satu bulan yang lalu,tapi selera musiknya seperti anak usia 15 tahun.Semua orang selalu bilang,
yang namanya Minho itu luarannya doang up-to-date, tapi
dalamannya out-of-date. Yang dikatai malah cuek cenderung
bangga. Minho tetap bersikeras bahwa musik tahun ’80, ter-
kecuali fashion-nya, sangat keren dan genius.
“Karma-karma-karma-karma-karma Chameleon ... you
come and go ... you come and gooo ...” Minho mengipas-
ngipas sebuah buku sambil menandak-nandak.ia berusaha keras tidak melihat cermin karena kelebatan bayangannya
saja sudah membuat ia ingin terpingkal-pingkal. Jelek
banget, decaknya. Terkagum-kagum sendiri.
Dari luar, adik laki-lakinya, Jisung, mengetuk-ngetuk
pintu. Setelah semenit tidak ada hasil, Jisung yang tidak
sabar mulai menggedor-gedor.Ada suara dewasa berceletuk pelan dari belakang, “Kak
Minho.” Terdengar penekanan pada kata ‘‘Kak’’.
Jisung melirik ibunya sambil melengos. Beliau tidak
bosan-bosannya mengingatkan untuk memanggil Minho de-
ngan tambahan ‘kak’. Masalahnya, kelakuan kakak laki-lakinya yang satu itu kurang layak untuk menyandang titel
‘‘kakak’’.
Pintu penuh stiker di hadapan Jisung membuka. Minho
melongok dengan sebelah earphone-nya menjuntai. Bukan-
nya buru-buru mengangkat telepon, dia malah menengok ke
ibunya dulu, “Ma, gimana kalau aku ganti nama jadi Karma?
Kan tetap dari ‘K’. Jadi nggak menyalahi aturan rumah ini.”
Jisung ikut menengok ke ibunya dengan tatapan putus
asa, “Tuh, kan, Ma? Dia aneh banget, kan?”
Ibunya hanya mengangkat bahu sambil terus membaca.
“Punya anak lima saja manggilnya suka ketukar-tukar, apa-
lagi ada yang mau ganti nama. Malas, ah. Nanti saja kalau
Mama sudah tua, sudah pikun. Jadi nggak ngaruh. Mau
Karma, kek, mau Karno ... terserah.”
Jisung dibuat melongo. Dia mulai menyadari dari mana
keanehan Minho itu berasal.
Dengan logat British yang dibuat-buat, Minho menjawab
telepon. “Karma Chameleon speaking. Who is this?”
Ada beberapa detik kosong sampai terdengar jawaban
dari ujung telepon. “Ho? Seungmin, nih. Emang lu sangka siapa yang nelpon?ratu Inggris?."Mendengar suara Seungmin, mata Minho langsung berbinar. Seungmin adalah sahabatnya sejak kecil. Dialah orang yang pa-
ling menunggu-nunggu Minho selesai berkemas supaya bisa
langsung cabut ke Busan. Seungmin juga orang yang paling
repot, persis seperti panitia penyambutan di kampung yang
mau kedatangan pejabat tinggi. Dia yang mencarikan tempat
kos bagi Minho, menyiapkan jemputan, bahkan menyusun
daftar acara mereka selama seminggu pertama. Singkatnya,
Seungmin adalah seksi sibuknya.
“Jadi ke sini, nggak? Entar kamar kos lu keburu gua legokontras menggantikan suara Boy George yang halus dari ku-
ping Minho.
“Santailah sedikit, Bu Seungmin. Legalisasi Izajah ke sekolah
aja gua belum sempat ....”
“HA? Orang lain tuh sudah dari berabad-abad yang lalu
“Itu jelas nggak mungkin. Yang namanya Izajah baru ada
waktu angkatan Kakak aku sekolah ....”
“Kapan mulai beres-beres, Ho? Buku-buku kamu yang ba-
nyak banget itu dipaket aja ke Busan, nggak usah bawa
sendiri. Bagasi mobilnya kan kecil, nanti nggak bakal
muat. Kamu bawa baju-baju aja, ya? Tiket kereta api udah pe-
san, belum? Lagi penuh lho. Ntar terpaksa beli di calo. Sa-
yang duit.”
“Min, kamu tuh lebih cerewet dari tiga Mama Aku dijadiin
satu. Serius.”
“Minggu depan, pokoknya nggak mau tahu, lu harus
udah sampai di Busan. Mobil udah aku suruh masuk
bengkel dulu biar nggak mogok pas ngejemput kamu ke stasiun.
Habis itu kita langsung keliling buat belanja kebutuhan kamu .
Kamar kamu udah aku sapu-sapu dari kemarin. Pokoknya tahu
beres, deh.”
Saat pembicaraan telepon itu usai, Minho terkikik-kikik
sendiri. Sahabatnya yang satu itu memang luar Biasa.keluarga nya sendiri bahkan tidak usah repot mengurus ini-itu
ketika Minho harus bersiap kuliah di Busan. seungmin membereskan hampir segala persiapan Minho dengan baik dan
sukarela. Dari mereka kecil memang selalu begitu. Orang-
orang bilang, Seungmin seperti mengasuh adik, padahal mereka
seumuran.
Seungmin yang anak tunggal dan Minho yang dari keluarga besar adalah sahabat karib yang saling melengkapi sejak TK.
Kedua ayah mereka sama-sama merintis karier di perusahaan yang sama, dan hubungan kedua keluarga itu terjalin
akrab semenjak hari pertama mereka berjumpa. Seperti disengaja, kedua ayah mereka pun selalu ditugaskan ber- barengan.
Seungmin dan Minho tumbuh besar bersama, selalu tinggal di
kompleks perumahan yang sama, pindah dari satu kota ke
kota lain hampir selalu bersamaan: Daegu, , Busan, dan berakhir di Seoul saat mereka kelas
1 SMP. Pada tahun itu, untuk pertama kalinya mereka ber-
pisah. Ayah Seungmin yang duluan pensiun, memilih tinggal di
Seoul untuk menghabiskan hari tuanya, dan Seungmin kemu-
dian disekolahkan di Daegu. Sementara ayah Minho tetap
tinggal di Daegu bersama keluarganya.
Meski Seungmin selalu tampak lebih dewasa dan teratur ketim-
bang Minho yang serampangan, sesungguhnya Minho memiliki
keteguhan yang tidak dimiliki Seungmin. Sejak kecil, Minho tahu
apa yang dimau, dan untuk hal yang ia suka, Minho seolah-olah bertransformasi menjadi sosok yang sama sekali ber- beda.
Pilihannya mengambil jurusan Sastra adalah buah dari
cita-citanya yang ingin jadi penulis dongeng. Pilihannya
kuliah di kota lain adalah buah dari khayalannya untuk hi-
dup mandiri. Di luar dari perilakunya yang serba spontan,
Minho merencanakan dengan matang perjalanan hidupnya.Tbc..........
KAMU SEDANG MEMBACA
Nanti kita Cerita Tentang Hari Ini
FanfictionHarapan telah membatu sebab entah kemana cinta berlabuh. Cinta apa yang kau tawarkan? Yang berakhir pada duka? Atau yang bermuara di kedalaman jiwa? Selamat datang luka.