BRAK!
Bunyi Gedebum itu menggores keheningan di tengah malam. Suara ringisan berulang kali bersahutan. Menyatakan mereka kesakitan. Sekujur tubuh mereka luka. Mencoba meminta belas kasih pada orang di depannya.
"Kalian buang-buang tenaga tau tidak?" Seru gadis itu. Ia menyingkirkan helaian rambutnya yang menempel pada sekeliling wajah. Keringat bagaikan magnet yang membawa rambutnya tak ingin kembali pada kumpulannya. Ah, dimana juga ikat rambutnya? Ia yakin tadi mengenakannya. Matanya berkeliling. Disana! Tergeletak diantara lelaki itu.
Ia melangkah mengambil ikat rambutnya. Kedua lelaki tadi beringsut menjauh. Berusaha menyelamatkan tubuh mereka dari lebam lebih banyak. Gadis itu mengernyit. Kemudian tertawa geli.
"Kalian takut sama aku?" Keduanya mengangguk. Ia semakin terbahak. "Ya ampun, tadi siapa dulu ya .... yang nampar aku?" ejeknya.
Kedua lelaki itu tersenyum kecut. Menyadari kesalahan mereka yang mencoba melecehkan perempuan mungil itu. "Maaf, kami hanya iseng," ujar salah satu dari mereka. Ia bersimpuh memegangi perutnya---bekas tendangan perempuan itu.
"Iseng? Nggak lucu! Mana ada iseng sampai nampar dan jambak rambut. Sama perempuan lagi!" Gadis itu terkekeh sendiri. Sementara dua orang itu semakin tertunduk malu. Mereka masih tak percaya, gadis sekecil ini bisa menghabisi mereka berdua? Memalukan!
"Kalau masih pengen iseng kayak gitu, sini biar aku tuntaskan sekalian!" Keduanya kompak menggeleng. Sudah cukup tulang mereka terasa remuk. Perempuan itu memungut tas slempangnya. Mengambil beberapa lembar uang kemudian menyerahkannya pada mereka. Ia tersenyum lebar. "Ini, buat berobat. Meskipun kalian salah, tetapi tetap saja aku yang melukai kalian. Aku akan bertanggung jawab.
Mereka terkejut. Tak pernah menyangka akan mendapatkan pertanggung jawaban. Sebenarnya luka seperti itu sudah terbiasa mereka dapatkan. Dan sudah pasti akan sembuh sendiri tanpa pengobatan. Keduanya saling berpandangan sebelum menatap gadis di depan mereka. Ia masih tersenyum.
"Udah, terima saja. Aku tahu kok, selain ingin melecehkan kalian juga ingin merampokku, bukan?" Ia meletakkan uangnya pada salah seorang dari mereka. "Terserah mau dipakai apa, yang jelas aku sudah tanggung jawab. Dadah." Ia melambaikan tangan dengan ceria. Terasa kram. Sepertinya ia ingin dipijat pulang nanti.
"Tunggu!" Merasa dipanggil, ia menoleh. Mendapati kedua orang tadi tengah berusaha berdiri. Susah payah. Ia meringis. Itu pasti sakit sekali. Tadi ia menendang tulang kering mereka lebih dari tiga kali. "Iya?"
"Siapa namamu?"
Ia mengernyit, "untuk apa?"
"Saya ingin memberitahukan kepada kawan-kawan supaya tidak mengganggumu," jawab seorang yang menerima--dipaksa--uangnya tadi.
Ia mengangguk mengerti. "Yumna. Ingat nama itu! Y.U.M.N.A!"Yumna menekan kata terakhir. Mengeja huruf per huruf. Takut mereka salah dengar. Kemudian kembali melangkah menjauhi lorong. Di pertengahan jalan ia mendongkak. Menatap langit penuh bintang itu. Ia mengembuskan napas berat. Sudah tak ada senyum ceria. Sorot matanya terlalu dalam untuk dijangkau. Tangannya terangkat ingin menggapai bintang yang ia lihat.
Kali ini tak apa, bukan?
*****
Yumna berjingkat ketika mendapati seseorang bersila di atas kasurnya. Melihat wajah itu, ia menelan ludah. Kenapa rasanya sangat susah? Ia berteriak dalam hati. Berusaha santai meski telah mendapati malaikat maut tampan diatas ranjangannya. Dalam hati ia berdo'a. Semoga malaikat itu sekarang tengah berbunga-bunga hingga ia akan lolos dari interogasi dengan mudah.
"Dari mana?" Angannya mengabur. Ia memejamkan mata. Sial! Ia yakin pasti kan terkena hukuman kembali.
"Dari .... belajar." Yumna mengutuk suaranya yang melemah diakhir. Jelas sudah jika ia berbohong.
Suara langkah kaki mendekat. Yumna memandang kakaknya yang berjalan dengan bersedekap dada. Jangan lupakan wajah bengis seakan telah mendapatkan mangsa untuk dicabik. Aduh, Yumna dipastikan akan habis malam ini.
"Belajar menghajar preman didekat gang rumah Frada?"
Yumna mendelik kaget. Secepat kilat ia kembalikan ekspresi wajah biasa saja. Paling tidak agar kakaknya tak semakin menambah kesan horor pada wajahnya. "Buat apa nanya kalau sudah tahu?"
"Kakak ingin memastikan. Kamu bohong lagi atau tidak."
Lagi? Jadi Kakaknya sudah tahu? Apa dia benar-benar sudah tamat sekarang? Tapi ... sejak kapan Kakaknya tahu? Lalu, kenapa dia memilih diam? Oke. Yumna tak akan tanya darimana Kakaknya tahu, karena ia sudah terbiasa dengan pengawasan tersembunyi yang pasti dilakukan Kakaknya.
Yumna gelagapan, "Kak ... Noval. sejak kapan tahu?" suaranya terdengar bergetar.
Noval terdiam sejenak. Menatap dalam pada mata adiknya. "Dua bulan ... maybe?" Noval mengendikan bahunya. Yumna terperangah. Itu sudah sangat lama berarti? Lantas kenapa hanya diam?
"Kamu harus mengompres bibirmu ini. Terlihat bengkak. Dan tanganmu ... sebaiknya perban saja." Noval mengelus wajah Yumna. Ekspresinya terlihat cemas. Yumna mengangguk patuh. Bersiap membersihkan diri. Sebaiknya aku memendam rasa penasaranku sampai besok. Sepertinya Kakakku ini tengah berbaik hati.
"Tidak usah mandi. Ganti baju saja dan basuh bagian tubuh yang kotor. Ini sudah tengah malam. Tidak baik untuk kesehatan. Biar kakak nanti yang mengobati lukanya." Yumna terperangah.
***
"Aduh!" Yumna meringis ketika Noval menekan lukanya. Ia menatap kesal pada Kakaknya karena Noval seperti menyengaja. Tak ada ekspresi menyesal. Wajahnya flat tanpa dosa. Argh! Yumna kesal sendiri. "Kalau nggak bisa, biar aku sendiri," geramnya. Ia mencoba merebut handuk itu dari Kakaknya, tetapi Noval dengan cepat menjauhkannya dari jangkauan adiknya. Yumna mendengkus.
"Diam. Kamu tahu, aku juga sedang menahan marah saat ini!" lirih Noval kejam.
"Marah saja!" balas Yumna angkuh. Lebih baik Noval memarahinya habis-habisan dari pada harus menyiksanya seperti ini.
Noval melipat senyuman. Terlihat meremehkan. "Percuma. Kamu tidak mendengarnya. Jadi?" Noval memulai. Yumna gelagapan. Ia masih ingin berkelit.
"Dimana Kak Lisa?" Matanya mencari-cari. Seolah orang yang dicarinya ada disana sejak awal. Ia harusnya tahu, kakaknya yang itu pasti sudah terbaring cantik di kamarnya.
"Tidur. Kamu kira jam berapa sekarang? Sudah, jangan mengalihkan pembicaraan!" Yumna meringis menyadari kebodohannya. Ia tak punya alasan lain jadi ia mencoba mengalihkan topik dan entah mengapa hanya kakak cantiknya yang terlintas. Haduh! Sekarang ia ingin memaki otaknya yang biasanya encer dan kini Malah nyandet ketika di butuhkan. "Aku masih menunggu jawaban, Yumna."
Glek!
Kenapa tiba-tiba atmosfer menjadi dingin? Juga mengapa kakaknya malah tak melanjutkan mengompres lukanya. Ah, Yumna tak bisa berkutik. Ia memejamkan mata. Mengembuskan napasnya pelan. Kemudian terbuka dan menatap mata Kakaknya yakin.
"Tadi, aku nyaris dirampok dan dilecehkan."
"Apa?!"
****
Cerita ini sedang dalam proses ikut lomba AMB_publisher dalam rangka ulang tahunnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yumna's Secret
Fiksi Remaja"Cerita ini telah diikut sertakan dalam kompetisi ODWC menyambut Anniversary AMB Publisher tahun kedua." Yumna Khaura Adriyani. Putri terakhir dari keluarga Adriyansyah. Bersifat cuek--pada selain keluarga, suka beradu kekuatan terutama bagi yang me...