"Si neng Kinan katanya teh mau ngamar nyak?"
"Ngelamar Ambu, ngamar ngamar, dikira teh Losmen?"
"Ah iya eta maksudna, nge-la-mar jadi guru?"
"Iya guru komputer, katanya cari pengalaman."
"Pasti murid-muridnya teh pada semangat atuh, gurunya mah geulis pisan."
"Pastinya, semoga apa yang diharapkan pak Kevin terwujud ya Ambu."
"Amiinn, a'. Kinan sebenarnya anaknya baik, mungkin karena faktor pergaulan nyak?"
"Sepertinya begitu,—"
"KAAAFFIIEEE YUHUUUU."
"Panjang umur si eneng, sok temuin sana, Ambu lanjut masak dulu."
Aku meninggalkan Ambu di dapur dan langsung menghampiri Kinanti yang ternyata sudah siap dengan pakaian santainya. Melihat dia yang begitu cantik pagi ini, benar-benar membuatku tak kuasa menahan senyum. Kinanti cantik, sangat cantik aku mengakui itu, tak hanya fisik tapi juga hatinya. Dia bahkan tak mempermasalahkan gaji yang nantinya dia dapatkan, karena baginya, guru adalah seorang pahlawan tanpa tanda jasa, suatu pekerjaan mulia yang pernah dia impikan.
Pagi ini, aku sudah berjanji akan mengantarkan Kinanti ke kota untuk mengambil dokumen yang di kirim pak Kevin untuknya. Ekspedisinya hanya sampai di kota, tidak masuk ke desa. Kinanti juga katanya mau membeli beberapa kemeja sementar untuk pakaian mengajar, sebelum nanti mendapatkan seragam dari sekolah.
Kinanti seperti mentari pagi yang cerah dan hangat, memberikan energi positif untuk orang di sekitarnya. Aku juga merasakan hal itu, berkat semangat dan dorongannya, aku mendapatkan semangat untuk menjalani hidup. Dulu, aku selalu pesimis hanya karena ekonomi keluarga dan juga karena tidak bisa melanjutkan kuliah. Berkat ucapannya, aku akhirnya menjadi semangat untuk menjalani pekerjaanku sekarang.
"Kenapa elo pingin jadi dokter, Kaf?" tanya dia tiba-tiba
"Karena aku ingin menjadi penolong orang yang sakit."
"Emang harus banget jadi dokter, ya?"
"Ya untuk tau penanganan medis yang harus dilakukan seperti apa."
"Daripada jadi dokter rumah sakit, jadi dokter di rumah tangga kita aja, gimana?"
Tapi, Kinanti adalah Kinanti, dia selalu saja memberikan tanggapan bahkan penawaran tak masuk akal. Hah, rumah tangga? Apa dia tidak berkaca, dia itu siapa dan aku siapa. Bukan minder, hanya sadar diri bahwa aku tidak pantas untuk dia. Siapalah aku yang bermimpi untuk memiliki permata se-berkilau dia.
"Kalau gue potong rambut, bagus nggak ya?"
"Boleh aku kasih saran?"
"Gimana?"
"Potong rambut, terus di warna hitam." Dia nampak berpikir sejenak. "Kamu mau jadi guru 'kan? Kasih contoh yang baik buat muridnya, kalo kamu rambutnya aja di warna, murid-muridmu pasti ikut-ikutan nanti." Aku mencoba memberikan pengertian padanya.
"Bagusnya di potong gimana, ya?"
"Gundul aja." Jawabku sambil tertawa.
***
"KAFIE!!" Pekikkan itu membuatku tersadar dari lamunanku.
Hampir dua jam aku menunggu Kinanti yang katanya me time di salon, jadi aku memutuskan untuk duduk di warung dekat salon sambil menikmati ketan bakar dan kopir nyess. Dan setelah dua jam menunggu, aku benar-benar tercengang melihat Kinanti yang keluar dari salon.
KAMU SEDANG MEMBACA
EDELWEIS
Hayran KurguKinanti harus menerima kenyataan bahwa perusahaan milik orangtuanya gulung tikar. Dia yang selama ini tidak tau apa-apa tentang perusahaan dan hanya berfoya-foya saja, terpaksa menjalani hidup sederhana bersama sahabat Papanya di desa. Akankah Kinan...