(21)

3.4K 276 11
                                    

Seminggu berlalu dan seminggu itu juga hari-hari gue terasa sangat berbeda, gue kehilangan sosok Mama yang selalu mengisi hari-hari gue, nggak cuma itu, gue juga kehilangan sosok Mas Zian juga, Mas Zian menjauh seperti permintaan Mama, rasa bersalah pasti membuat Mas Zian mengingat baik permintaan Mama, ini adalah akhir untuk kita berdua.

Nggak cuma kehilangan Mas Zian sama Mama, kehadiran Juna yang mendadak masuk dalam kehidupan gue sekarang juga sangat berpengaruh, ya memang gue udah kenal Juna lama tapi tetap terasa beda disaat gue melihat Juna yang sekarang.

Gue melihat Juna jauh lebih sering, kalau dulu basa basi Juna menanyakan kabar hanya sekedar becandaan tapi sekarang perhatiannya terasa sangat nyata, gimana ya gue ngejelasinnya, gue memang kehilangan sesuatu tapi gue mendapatkan sesuatu disaat yang bersamaan juga.

Gue memang kehilangan tapi sekarang gue mencoba untuk hidup dengan jauh lebih baik, gue nggak mau ada orang yang kasian dengan keadaan gue sekarang, di luar sana banyak orang yang masalahnya mungkin lebih berat, lagian kalau Mama masih ada, gue yakin Mama juga nggak mau ngeliat gue menderita seorang diri.

Mencoba bangkit dan membuka lembaran baru, gue ingin mmebahagiakan diri gue sendiri, awalnya gue sangat yakin kalau semuanya akan berjalan baik tapi hal pertama yang menjadi penyambut semangat baru gue adalah berita pernikahan Mas Zian dengan Julia.

Setelah keluarga Mas Zian tahu, memang nggak mau Mas Zian lepas tanggungjawab, apapun alasannya, Mas Zian bersalah dan tanggungjawab itu harus, kaget itu pasti tapi gue rasa itu juga yang terbaik, setelah gue pikir ulang, cukup gue yang dirugikan tapi setidaknya Julia bisa masih bisa mendapat sedikit hal yang harusnya dia dapatkan.

Apa gue akan hadir di hari pernikahannya Mas Zian sama Julia nanti? Gue nggak tahu, awalnya gue ingin menolak hadir kalau ingat gimana omongan lain seandainya melihat gue nanti tapi mengingat posisi gue sekarang, menolak hadir juga susah, gue nggak bisa kabur gitu aja.

Sebenernya menurut gue pribadi, baik gue datang atau enggak, omongan orang lain nggak akan lepas tapi gue juga nggak mau menghindar selamanya, gimanapun gue pikir, gue nggak melakukan kesalahan, batalnya pernikahan gue sama Mas Zian sebelumnya juga punya alasan yang jelas, kalau gue nggak datang, sama aka seakan gue mengakui kesalahan yang nggak pernah gue buat.

Pletuk!

Gue meraih handphone yang ada di atas ranjang dan membaca pesan chat dari Juna, dia ngabarin kalau mungkin dia nggak bisa nganterin gue tapi dia bakalan usahain untuk jemput gue di kampus, udah segitu doang.

Membalas pesan Juna dengan satu kata oke, gue bangkit dari duduk gue sekarang dan turun ke bawah untuk berangkat kuliah, ini adalah hari pertama gue balik kuliah setelah libur seminggu lebih, awalnya libur untuk pernikahan tapi jadinya malah begini.

.

"Sendirian aja, Juna mana?" Siapa lagi yang berani nanya kaya gini sama gue kalau bukan Fara, tadi Fara sempat nawarin untuk jemput tapi gue tolak, gue bukan anak kecil yang nggak bisa berangkat sendiri.

"Kalau udah tahu ngapain lo tanya, Juna pasti sibuk dirumahnya, besokkan acara nikahannya Mas Zian." Jawab gue memaksakan sedikit senyuman, gue nggak mau kelihatan canggung tapi kayanya tetap nggak bisa, perasaan nggak akan bisa berubah secepat itu.

"Lo bakalan dateng? Nggak bisa nolak juga." Fara nanya sendiri dan jawab sendiri juga, luar biasa memang.

"Lo sendiri gimana? Datengkan? Di undang pasti, nggak mungkin enggak." Tanya gue balik dan gue jawab sendiri juga, harusnya Fara dapat undangan, secara dia sahabat gue dan udah kenal dekat juga sama keluarga Mas Zian.

"Jujur aja gue nggak berencana dateng sama sekali tapi kalau gue nggak dateng, lo mau masuk ke medan perang bareng siapa? Bareng Juna? Tu anak kan udah disana, itu rumahnya." Fara menghela nafas jengah sembari menggandeng lengan gue jalan bareng.

"Medan perang pula bahas lo, lagian Juna juga nggak mungkin jadi tameng gue selamanya, gue tetap harus berdiri dengan kaki gue sendiri." Gue harus bisa, gue nggak mau bergantung sama Juna untuk semua hal, dia udah sangat membantu bahkan kesusahan untuk gue sekarang.

"Lah jadi selama ini lo kalau nggak berdiri dengan kaki sendiri, lo berdiri pake kaki siapa? Kaki ayam? Kacau lo." Fara malah ngelawak disaat gue lagi serius.

"Kampret banget lo, beneran." Kalau nggak ingat sayang, udah gue ceburin ni anak ke empang sebelah rumah.

"Ah pokoknya, besok lo harus dandan abis-abisan, gue nggak mau tahu, saingan lo pengantin Mas Zian besok, berat." Fara udah menggepalkan tangan untuk menyemangati dan gue sendiri udah tersenyum kecil tapi yang gue pikirkan sekarang, apa iya saingan gue besok itu istrinya Mas Zian?

.

"Kak, Rana mana?" Gue yang mendengar nama gue disebut udah menengadah memperhatikan ke arah pintu masuk kelas, Juna yang dateng.

"Noh, udah gue ajak pulang dari tadi tapi orangnya nggak mau, susah dibilangin." Jelas Fara menunjuk gue dengan dagunya, hembusan nafas gue terasa berat tapi gue tetap berusaha bangkit dari duduk gue sekarang.

"Kalau gampang dibilangin, bukan Kirana namanya, Kak." Juna berlari cepat membantu gue jalan setelah ngomong kaya tadi, tadi setelah kelas pertama, mendadak kepala gue pusing, badan gue terasa panas, harusnya sih demam.

"Demam doang, lo aja yang berlebihan." Gue siap menggepalkan tangan untuk nimpukin Fra tapi malah gue yang di jitak duluan.

"Udah sakit tapi masih bisa protes, kalau nggak ada Kak Fara yang ngabarin, kamu mau duduk disitu berapa lama lagi?" Balas Juna yang membuat Fara menyunggingkan senyuman, nggak mau memperpanjang perdebatan, gue sama Juna pamit pulang lebih dulu sedangkan Fara masih harus ngikutin kelas terakhir.

"Kenapa nggak ngabarin aku kalau sakit?" Tanya Juna yang sekarang fokus dengan kemudinya, cuma tatapan Juna sesekali melirik ke arah gue duduk.

"Di rumah kamu pasti lagi banyak kerjaankan? Lagian beneran cuma demam, aku nggak mau ngerepotin." Gue memaksakan sedikit senyuman, bukannya ikut tersenyum, Juna malah menatap gue tajam, dia seakan nggak setuju dengan jawaban gue barusan.

"Kamu juga mikir kaya gini setiap kali nggak mau ngasih tahu Mama apapun, nggak ada yang mikir kalau kamu itu ngerepotin, malah kalau kamu nggak ngabarin apapun, itu yang bikin khawatir, apa sampai hal kaya gini harus aku kasih tahu juga? Jangan kaya anak kecil Ran." Juna nggak lagi ngemarahin guekan?

"Kalau kamu cuma mau marah-marah, mending turunin aku sekarang, aku bisa pulang pakai taksi." Kepala gue udah cukup pusing sekarang jadi kalau Juna cuma mau ngomel sama protes ke gue, mending biarin gue pulang sendiri.

"Aku bukannya marah tapi aku khawatir, kamu paham nggak?" Juna menepikan mobilnya dan menatap gue cukup lama, masih gue diam nggak mau merespon, suara deringan handphone Juna memecah keheningan diantara kita berdua.

"Nggak diangkat? Aku nggak mau Dewi salah paham lagi." Gue mengingatkan.

My Little HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang