Ketika ilmu agama hanya di telan sampai tenggorokan. Ketika tingginya ilmu tidaklah menjamin akhlaq seseorang. Ketika cinta tidak diletakkan pada tempatnya. Ketika nafsu lebih diutamakan dibanding akal. Di sanalah syaithan ikut berperan.
************************************************************
Tok! Tok! Tok!
“Jihan! Abang boleh masuk?” Terdengar ketukan pintu dan suara Amran di balik pintu kamar yang sengaja kukunci.
Aku tak menjawab. Mencoba mengabaikan panggilannya. Terus saja menarikan jari-jariku di atas keyboard laptop.
“Jihan! Abang minta maaf kalau abang salah, semua bisa kita bicarakan baik-baik,”
Kuhela napas perlahan. Mencoba berpikir jernih atas semua kejadian ini. Sebenarnya memang bukan salah Amran, tapi cara dia memberikan jawaban pada ustaadz Zainal itu yang membuatku kesal. Seolah dia memberi harapan untuk perempuan itu. Bukannya menentang poligami, hanya saja aku belum siap dan belum mampu untuk menjalankan syariat yang satu itu. Aku tidak siap berbagi cinta.
“Jihaaan...,” Amran masih saja tidak menyerah.
Bangkit dari duduk, menuju ke arah pintu, memutar kunci dan menguak pintu berukuran cukup besar itu. Kutemukan raut wajah lelaki yang tengah gundah di sana. Senyumnya mengembang saat ia melihatku.
“Jihan?”
Aku memalingkan wajahku darinya. “Abang pulang saja, biar aku yang menginap di sini sendiri.”
Senyumnya surut, lalu tangannya menggapai jemariku. Kubiarkan ia menggenggamnya.
“Jihan, kamu salah paham. Sungguh tidak ada niat sedikit pun di hati abang untuk membawa wanita lain dalam kehidupan kita. Mendidik seorang istri itu penuh tanggung jawab besar, sebab itulah abang tidak mampu untuk berpoligami. Satu istri saja belum tentu mampu abang pertanggungjawabkan,” jelasnya.
Aku masih bergeming.
“Apalagi pernikahan kita baru beberapa bulan, ini hanya ujian Jihan. Jangan kalah dengan ujian kecil seperti ini. Sudah abang bilang bukan, percaya pada abang!”
Kutepis tangannya dengan halus. “Aku sedang ingin sendiri,”
Amran menghela napas lalu ia mencoba tersenyum. Senyuman itu selalu terlihat tulus dalam kondisi apa pun.
“Baiklah kalau begitu maumu. Tapi besok sore abang jemput ya?”
Aku tak menjawab.
“Abang pulang dulu. Jangan lupa untuk shalat tepat waktu, tilawah dan murajaah. Meskipun abang tidak di sini hapalanmu harus tetap ditambah.” Pesannya.
Lelaki itu membalikkan tubuhnya, berjalan gontai menuruni anak tangga. Hanya mampu kutatap hingga punggungnya tidak lagi kelihatan. Ego wanita mengalahkan segalanya.
Baru saja aku hendak menutup pintu kembali, Umi datang tergopoh dari ujung tangga.
“Jihan!” Panggilnya.
Kuurungkan niat untuk menutup pintu. “Ada apa, Mi?”
“Umi mau bicara sebentar, kita duduk di balkon yuk!”
Aku mengangguk dan mengekori beliau. Lalu kami sama-sama mendaratkan tubuh di sofa berwarna coklat tua itu.
“Mau bicara apa sih, Mi? Kayaknya penting banget ya?” Tanyaku penasaran.
Umi tersenyum, lalu menatap lekat mata bermanik coklat muda milikku.
“Apapun masalahmu, jangan pernah menjauh dari suami. Kamu harus tetap berada di sisinya,”