Lidya mengerjapkan matanya pelan karena sentuhan tangan itu. Ia mendapati seseorang tengah berdiri sambil menatapnya bingung.
"Lo? Kapan lo pulang?" tanya Lidya lalu langsung duduk. Lelaki itu adalah Gio dan duduk di sebelah Lidya. Wajah Gio terlihat memucat sedikit, Lidya mendengar rintikan hujan di atap seng yang berada di depan kafe. Heningnya malam mampu membuat Lidya mendengar tetesan hujan tersebut.
"Kenapa wajah lo pucat? Lo kehujanan?" desak Lidya khawatir. Ditambah lagi ia mengetahui jika Gio tidak bisa terkena hujan walaupun hanya sedikitpun.
"Eh? Anginnya terlalu dingin. Lo ga perlu khawatir. Diusir Oxy?" selidik Gio tengah menerka.
"Lo tau?" curiga Lidya. Ia ingat jika dia belum memberitahukan hal ini kepada Gio.
"Gue liat mobil Aluna tadi jalan di jalan yang sama berulang-ulang dan akhirnya dia nemuin gue terus nanyain lo. Sayang, gue jawab ga tau," tutur Gio sambil menyenderkan tubuhnya dengan rileks.
"Lo kenapa tidur disini? Mereka segitunya sampe ga nyaranin lo buat istirahat di kamar gue?" terka Gio. Lidya menggeleng singkat.
"Gue emang maunya disini," tukas Lidya tenang.
"Pindah ke kamar gue. Lo itu cewek ga baik tidur disini. Masuk dan kunci pintunya dari dalem," ujar Gio sambil menunjuk ke arah tangga.
"Lo serius?" tanya Lidya memastikan.
"Lebih dari serius," jawab Gio dengan yakin. Dengan ragu Lidya langsung berdiri dan secepat kilat Gio langsung berbaring menggantikan posisi Lidya.
"Apa bener dia baik-baik aja?" pikir Lidya, wajah Gio tidak bisa dikatakan baik.
Lidya langsung menaiki tangga dan mengamati Gio yang telah tertidur terlelap di sofa tempat ia tidur sebelumnya. Lidya meneruskan langkahnya lalu masuk ke dalam kamar Gio dan menguncinya dari dalam seperti yang telah dipesankan oleh Gio barusan.
Kamarnya terlihat lebih rapi daripada waktu sore ketika Lidya masuk bersama Gio. Rasa kantuk lebih mendalam, namun ia dapat melihat beberapa novel tertata rapi di sudut kamar itu. "Pecinta novel?"
Lidya terkekeh lalu membaringkan tubuhnya ke kasur empuk itu dan melanjutkan penjelajahannya dalam dunia mimpi yang sempat tertunda.
***
"GAWAT!! Kalian harus bangun!" teriak Rudi heboh di lorong kamar mereka. Lidya terkejut dan dengan spontan membuka matanya serta jantungnya berdegup lebih cepat. Ia bisa menduga jika matanya kini berwarna merah namun ia tidak punya banyak waktu untuk memperhatikan matanya.
Ia langsung berdiri dan membuka kuncian pintu tersebut. Ia keluar seraya mengucek matanya seperti yang lainnya.
"Ada apa rud?" geram Exel.
"Gio... Gio.." gagap Rudi tiba-tiba. Serentak mereka mengerenyitkan dahi serentak.
"Gio kenapa?" cemas Lidya tidak mengerti.
"Gio!! Wafat!!" teriak Rudi histeris. Mereka langsung membuka matanya lebih lebar dan menatap Rudi tidak percaya.
"Gak mungkin!"
Lidya dan yang lainnya langsung menuruni tangga dengan lekas dan mendapati cairan merah mengalir dari mulut Gio. Wajahnya lebih pucat dari semalam. Ia kini terbaring dengan kaku di sofa tempat ia tidur.
Lidya menatapnya ragu sekaligus tidak percaya. Ia tidak merelakan kepergian teman barunya.
Exel lalu merentangkan jarinya ke hidung Gio, tidak ada aliran nafas apapun. Tidak sengaja kulit Exel tertempel di kulit wajah Gio terasa teramat dingin.
"Udah ga bernafas lagi," lirih Exel berduka sambil menatapi Gio dengan tatapan yang teramat iba.
"Gak mungkin!! Gio, lo ga boleh mati! Entar siapa yang bakal debat receh sama gue lagi? Gue gak relain lo mati! Gue bakal bantuin ngerjain tugas kuliah lo! Asalkan lo hidup lagi," teriak Dimas dengan isak tangis yang menggema di ruangan kafe yang sepi tersebut.
"Gue juga Gio.. Kalo lo pergi siapa yang bakal marahin gue karena kemalasan gue? Gue janji sama lo gue bakal lebih rajin deh sekalian baju lo gue cuci! Gue minta kematian lo ditunda aja!" perintah Sadam melanjutkan ujaran Dimas.
"Lo kawan yang baik Gio, sepi ga ada lo sikap misterius lo itu. Lo serius mau ninggalin kita? Gue bakal nurutin perkataan lo," lirih Rudi. Exel hanya memandangi Gio sedangkan Lidya tengah menghapus titik air matanya kian memandangi perban yang masih melekat. Kini orang yang telah memasangnya telah tiada. "Semuanya karena gue."
Gio langsung membuka matanya dan beralih duduk lalu mengambil segelas minuman di bawah meja yang berwarna merah dan menenggaknya. "Permintaan diterima."
Dimas menatapnya datar dan dengan tatapan tidak percaya. "Ini skenario lo?"
"Gak. Gue kesel aja orang lagi nyantai dipercikin air kek gitu. Yaudah, selamat termakan dengan jebakan gue. Dan janji kalian bakal gue ingetin." Gio melanjutkan meminum minumannya lagi.
"Wajah pucet? Dan darah itu jangan bilang minuman ini?" duga Sadam dengan datar. Ingin saja ia kembali menarik kata-katanya, namun ia tidak bisa. Nasi telah menjadi bubur dan ucapan telah menjadi janji.
"Yap, lo bener. Gue keselek pas gue denger kalo gue dibilang wafat oleh Rudi dan kenapa kulit gue pucet? Gue barusan mandi," jelas Gio merasa tidak bersalah dalam hal apapun.
"Gue kira lo bener-bener mati," lega Lidya. Gio hanya terkekeh mendengar pernyataan Lidya.
Mereka serentak duduk dengan tenang dan bernafas lega.
"Jadi sudah ini lo mau kemana?" tanya Sadam mengawali.
"Gue gak tau," lirih Lidya. Ia membingung.
"Kalian ada yang bisa nyervis hp?" sambung Lidya bertanya. Ia hanya punya benda itu sebagai jalan keluarnya kali ini.
"Gue bisa tapi agak lama," jawab Dimas tiba-tiba.
"Ada apa emangnya?" tanya Rudi heran.
"Semua jalan keluar gue ada di hp itu, gue bisa ngehubungi salah seorang dari mereka ditambah lagi banyak riwayat harian tentang gue di hp itu dan sekarang benda itu udah pecah dan ga bisa hidup lagi," jelas Lidya melirih.
"Untuk sementara itu lo ga perlu kemana-mana, lo bisa tinggal disini dan kerja ngebantuin kami disini," usul Exel dengan wajah cemerlang.
"Lo serius?" tanya Lidya gembira. Sedikit kelegaan.
"Ya meskipun gue ga bisa bayar gaji lo mahal. Lo jadi pindah kuliah? Kuliah aja, kami yang bakal bantu bayar," usul Exel lagi.
"Gue bener-bener ngerepotin kalian. Gue gatau gimana caranya ngebales jasa kalian," haru Lidya tak henti.
"Gak ada yang perlu dibales, toh kita juga seneng karena kelompok kita bakal tambah satu," timpal Rudi. Mereka saling menatap dan tersenyum.
"Gue punya satu motor yang ga kepake, lo bisa pake motor itu kalo lagi ga sama kita," ujar Gio tanpa diminta. Lidya mengangguk senang.
Pintu kafe diketuk dari luar. "Siapa itu sepagi ini dateng?"
Exel lalu melangkah menuju pintu dan membukanya dengan cepat. "Pergi dari sini!"
KAMU SEDANG MEMBACA
I'll Do Anything For You [Lathfierg Series]✔
Teen FictionBook 2 of Lathfierg series Wajib baca 'Just Cause You, Just For You' terlebih dahulu! "Ini bukanlah akhir dari segalanya." Kalimat yang sering Lidya rapalkan ketika ia terpuruk jatuh, hingga ia mencoba untuk bangkit lagi dan berdiri tegap dengan men...