Nur Lela

547 11 0
                                    

Senja lahir diufuk barat, tengah anggun memamerkan sang jingga kepada sesiapa saja. Membentuk bayangan lekuk tubuh bak gitar spayol yang tengah memanjat tangga bambu, ia sandarkan pada dinding kamar mandi. Tangannya lihai memaku sebuah triplek diventilasi kamar mandi. Sembari tangannya bekerja mulutnya tak henti mengupat.

"Memang banjingan-bajingan, mata keranjang! tak punya otak!!!"

Tak ada seperempat jam, ventilasi telah tertutup sempurna. Cekatannya memang luar biasa, hasil dari tirakatnya hidup sebatang kara. Ia turun dengan anggun tanpa keraguan sedikitpun.

" Nur Lela kau baru menambal lubang di kamar mandimu lagi?" Teriak Mak Sedah, tetangga sebelah.

"Iya mak"

"Tak habis-habisnya pemuda-pemuda nakal itu mengusikmu." Mak Sedah menggeleng-geleng kepala pelan sembari berjalan mendekat. "Sepertinya kamar mandimu memang perlu dibenahi total, lihat! genting-gentingnya saja sudah lelah kehujanan."

"Sementara begini saja cukup mak"

Mak Sedah menarik nafas panjang "Kenapa dulu kau tolak lamaran Baoa, andai dulu kau terima lamarannya. Kini kau pasti sudah hidup enak, rumah besar, baju bagus, mobil mewah apalagi jika hanya sebuah kamar mandi."

"Dari pada dengan duda berumur 60 tahun yang senang main perempuan aku lebih baik begini mak" Lela tersenyum tegar.

"Kau ini! semua lelaki kau tolak, bahkan mungkin lelaki satu kampung ini pernah makan penolakanmu" Mak Sedah menepuk pundak Lela pelan, sembari berjalan meninggalkan. Sedangkan Lela memilih bungkam.

***

Senja dimakan habis sang petang. Malam timbul dilayar Tuhan. Desa terpencil bernama Desa Wungu ini berganti sunyi. Tak ada yang mau keluar rumah jika tak ada kepentingan. Jalanan desa remang-remang, disepanjang jalan hanya diterangi oncor-oncor bambu berjejeran. Lampu listrik hanya mampu dinyalakan orang-orang berpunya. Sedangkan bagi Nur Lela lampu petromak sudah lebih dari cukup untuk rumahnya yang sempit dan hanya untuk dia seorang.

Ia pandangi api dilampu petromak yang menari-nari diiringi nyanyian si jangkrik. Matanya menatap syahdu tapi pikirannya pergi kelain waktu. Kekosongan yang sesungguhnya bukan ada pada ruangan sepetak ini, tapi pada dirinya, pada jiwanya. Tangannya memeluk kaki yang dilipat. seperti seorang remaja yang tengah patah hati. Tapi ia sudah terlalu jauh untuk dikatakan masa pubertas.

Diusianya yang kini telah berkepala tiga, dan belum menikah. Perihal urusan asmara ia sudah lelah. Tapi dengan kecantikannya yang amat mashur. Berbagai macam lelaki sudah ia tolak mentah-mentah.

MaharTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang