Never Same Before

508 83 21
                                    

Perasaan ini adalah kejujuran. Jauh di lubuk hatiku yang paling dalam. Aku tidak membeci sekolah. Sungguh. Untuk apa aku membenci hal yang menguntungkan.

Aku hanya malas.

Bukan malas pada materi yang aku pelajari. Tapi pada orang-orang itu. Katakanlah siswa-siswa yang tidak bisa kuanggap sebagai teman. Ataupun guru-guru yang mengajar disana.

Di sekolah lama, aku memang masih memiliki teman dekat. Kuanggap itu sebuah keajaiban. Walaupun lebih dari satu namun tidak bisa dikatakan banyak. Mereka adalah Farlan dan Isabel. Entah dengan cara apa kami bisa berteman dekat dalam kurun satu tahun. Secara teknis hanya mereka yang tahan dengan kepribadianku yang sinis dan skeptis. Mungkin hal itu yang membuatku nyaman pada mereka.

Ya, mungkin seperti itu.

Yang lainnya?

Mereka menjauhiku seperti sedang melihat orang aneh. Padahal aku tidak bersikap seperti yang mereka pikirkan. Aku hanya berperilaku normal. Berbicara seperlunya. Dan tidak bergerak hiperaktif. Benar-benar siswa pindahan normal. Setidaknya itu menurutku.

Aku tidak terlalu suka dengan tipe manusia seperti itu. Memandang orang sebelah mata dan menilai dari penampilannya saja. Tanpa ingin melihat kepribadiannya. Oleh karena itu, sebisa mungkin aku menghindari bertemu orang baru. Atau berpindah tempat tinggal yang mengharuskanku bersosialisai dengan orang baru. 

Sialnya, aku ini memang ditakdirkan untuk menderita. Karena tuntutan pekerjaan orang tua, kami diharuskan untuk berpindah tempat tinggal beberapa tahun sekali. Mengikuti tempat dimana orang tua ku ditugaskan.

Sungguh merepotkan.

Aku menekuk alis ketika pandanganku menangkap jejeran gedung yang merupakan sekolah baruku. Sepertinya sekolah elit. Aku tidak tahu alasan kenapa aku dipindahkan ke sekolah ini. Biasanya, aku dipindahkan kesekolah biasa dan tidak sebagus ini.

Apa hanya perasaanku? Karena aku selalu memandang semua sekolah yang pernah kusinggahi dengan tatapan bosan.

"Semoga hari pertamamu disekolah baik."

Aku menoleh kemudian mengangguk pelan pada sosok wanita dibelakang kemudi mobil. Bibirnya tersenyum hangat. Namun masih belum cukup untuk menyembunyikan rasa lelahnya karena pekerjaan. "Ibu juga. Sampai jumpa."

Aku membuka pintu mobil. Keluar dengan segera kemudian menutupnya setelah tubuhku sepenuhnya keluar. Mobil itu berderum sejenak sebelum melaju meninggalkanku. Mataku masih mengekor pada mobil milik ibuku. Begitu sedan hitam itu hilang dari pandanganku, aku membalikkan badan. Sebuah helaan napas meluncur bebas dari mulutku.

Aku sudah bosan dengan kemonotonan ini.

Aku memandang secarik kertas digenggamanku. Kelas 1-A, ditulis dengan huruf kapital. Dicetak rapi menggunakan komputer. Dibawahnya, terdapat sebuah tulisan tambahan berupa catatan kecil yang ditulis oleh pena. Ruangan itu berada disebelah perpustakaan. Aku mendengus pelan membacanya. Petunjuk dari kepala sekolah itu sama sekali tidak berguna. Perpustakaan yang dimaksudkan saja aku tidak tahu letakkan dimana.

Aku menundukkan kepala kemudian mendongak kembali. Mencoba mengurutkan papan nama kelas-kelas yang tertera dengan nama kelas yang tertulis dikertas.

"Oi! Eren! Armin! Jangan main kabur saja!"

Bruk!

Sialan...

Tubuhku tiba-tiba ditabrak. Oleh kedua anak yang berlarian di lorong. Kertasku terbang kabur dari tanganku, melayang tertiup hembusan angin. Pandanganku terarah pada kedua anak didepanku yang tampak pusing. Mereka berdiri sempoyongan. Hampir terjatuh jika aku tidak menahannya. Sebenarnya, hanya anak yang berambut pirang yang kutahan. Anak yang berambut cokelat mau tak mau kubiarkan tersungkur.

Never Same BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang